Tatapan yang Membekas.

1142 Kata
“Senang bertemu dengan Anda juga, Tuan Ludwig,” jawabnya dengan suara lebih pelan daripada yang ia maksudkan. Hayes melepaskan tangannya perlahan, lalu memberi isyarat ke sofa. “Silakan duduk kembali.” Ruang tamu rumah keluarga Ludwig seperti museum modern: tinggi, lapang, dinding berlapis kayu oak yang dipoles licin, dan sofa kulit abu-abu tua yang tampak lebih mahal daripada keseluruhan isi apartement Luna. Ia duduk dengan hati-hati, seolah takut meninggalkan jejak tubuhnya di furnitur mewah itu. Hayes bergerak dengan tenang. Ia melirik sekilas ke arah pintu tempat pelayan tadi pergi. “Bisa bawakan minum untuk Nona Luna,” katanya datar, tapi terdengar sebagai perintah yang tak bisa ditolak. Namun Luna buru-buru menggeleng, wajahnya sedikit memerah. “Ah, tidak usah repot-repot, Tuan Ludwig. Saya hanya sebentar menunggu Axel. Tidak apa-apa.” Alis Hayes sedikit terangkat, seperti terhibur oleh penolakan halus itu. “Baiklah,” ucapnya singkat, lalu ia duduk di kursi tunggal yang menghadap sofa. Keheningan jatuh di antara mereka. Luna merasakan seluruh tubuhnya tegang. Ia bisa merasakan tatapan Hayes yang kadang jatuh padanya, meski pria itu terlihat sedang meluruskan lengan kemejanya. Ada sesuatu yang sulit didefinisikan—semacam tekanan samar yang membuat udara di ruang tamu itu lebih berat. Ia mencoba memecah suasana dengan senyum kaku. “Rumah Anda … indah sekali, Tuan Ludwig.” Hayes menoleh, pandangannya menajam, lalu sedikit melunak. “Terima kasih. Axel jarang membawa teman ke sini.” “Oh … iya,” sahut Luna. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. Hayes mengangguk tipis, lalu bersandar. Diam-diam matanya menelaah wajah muda di hadapannya. Gadis ini berbeda—ada cahaya ceria yang jarang ia lihat di sekelilingnya. Sesuatu dalam dirinya terusik, meski ia sendiri tak ingin mengakuinya. Luna menunduk, pura-pura merapikan tali tas. Tapi pikirannya melayang kacau. Kenapa tatapannya terasa … terlalu dalam? Langkah kaki terdengar menuruni tangga. Suara familiar memecah ketegangan. “Na, maaf lama banget!” Axel muncul dengan setumpuk kertas di tangannya. Ia masuk ke ruang tamu dengan senyum lebar, lalu langsung menoleh pada ayahnya. “Oh, Pa, ternyata sudah ketemu, ya?” Hayes mengangguk tenang. “Iya. Luna, ya?” Axel menaruh kertas di meja, lalu dengan bangga memperkenalkan. “Iya, ini Luna Sterling, teman sekelasku. Kita lagi ngerjain skripsi bareng.” “Sterling?” gumam Hayes dalam hati, meski bibirnya tetap datar. Ada kilasan asing dalam pikirannya—nama itu pernah berhubungan dengan masa lalunya. Tapi ia menahan diri, tak mengutarakan apa pun. Luna tersenyum sopan, sementara Axel sudah sibuk membuka catatannya. Namun Hayes masih sempat melirik sekali lagi, menyimpan sesuatu di balik ketenangan wajahnya. Hanya sesaat, tapi cukup membuat Luna kembali menunduk, jantungnya berdegup kacau. Seketika, tatapan Hayes mengeras sedikit. Nama belakang itu. Sterling. Sesuatu di dalam dirinya langsung terusik. Ia tidak langsung bereaksi, tapi dalam pikirannya mulai muncul pertanyaan-pertanyaan. Miles Sterling? Bisakah … gadis ini ada hubungannya dengan dia? Atau hanya kebetulan? Baru saja Axel hendak melangkah naik ke lantai dua, suara berat ayahnya terdengar, membelah keheningan. “Kamu kuliah jurusan apa, Luna?” Luna menoleh cepat, sedikit kaget. Ia tak menyangka langsung mendapat perhatian begitu tajam dari pria setinggi itu. “Manajemen, Tuan. Sama kayak Axel.” Hayes mengangguk pelan. Sorot matanya menelisik seolah menimbang sesuatu. “Bagus.” Cuma satu kata, tapi cara ia mengucapkannya terdengar seperti penilaian akhir ujian sidang. Luna menelan ludah. “Ya ampun, Pa,” Axel menyela, menepuk bahu Luna sambil terkekeh. “Nanti Luna jadi sungkan kalau ditanyain serius gitu.” Ia lalu menggandeng lengan Luna ringan. “Ayo, kita ke atas.” Luna berdiri, mengikutinya. Tapi sebelum kakinya menapak anak tangga pertama, ia refleks menoleh. Dan di sanalah, tatapan itu masih mengikutinya. Tidak biasa—panas, dalam, tapi entah kenapa juga menekan. Seolah-olah ia sedang dibaca, diuraikan, dan disimpan dalam benak pria itu. *** Axel membuka lemari besar yang penuh buku tebal. “Nih, ini yang kamu cari, kan? Manajemen Strategi edisi terbaru. Beratnya aja bisa bikin otot lengan.” Luna tertawa kecil, menerima buku itu. “Iya, makasih banyak, Xel.” Axel menjatuhkan tubuh ke kursi, rambutnya berantakan. “Skripsi bikin hidup sengsara, sumpah. Kalau bisa, aku maunya tulis puisi aja terus dosen kasih nilai A.” “Kalau gitu, kamu udah DO dari semester dua,” goda Luna sambil membuka halaman buku. Axel mendesah panjang, lalu sibuk dengan laptopnya. Luna tersenyum samar, tapi pikirannya masih melayang. Tatapan pria itu—Hayes Ludwig—masih segar. Cara ia berdiri tegak, suara beratnya, genggaman tangannya. Sulit diusir, padahal baru bertemu. Tanpa sadar, pertanyaan keluar dari bibirnya. “Xel, kamu sering ketemu Papa kamu di rumah?” “Hmm?” Axel mengangkat kepala, menatap heran. “Ya iyalah. Meski sibuk banget, dia masih sempat pulang kok. Kenapa?” “Enggak, cuma nanya aja,” Luna buru-buru mengalihkan pandangan ke buku. Axel mengangkat alis, tapi tak menaruh curiga. Ia terlalu sibuk mengeluh tentang dosen pembimbing yang rewel. Sementara itu, Luna berusaha menelan rasa gugup yang tak jelas datang dari mana. *** Sore sudah merayap menjadi senja. Cahaya jingga menembus kaca besar ruang belajar yang lebih mirip ruang rapat kecil keluarga Ludwig, menciptakan semburat hangat yang menari di permukaan marmer lantai. Luna merapikan buku catatannya, menyelipkan bolpoin ke dalam tas tote bag sederhana miliknya. Sudah cukup lama ia berada di rumah ini, membicarakan skripsi bersama Axel. Rasa lelah bercampur kikuk memenuhi dirinya, apalagi sejak pertama kali berhadapan dengan ayah Axel. Ia berdiri, menatap Axel yang masih sibuk menyalin beberapa catatan terakhir. “Xel, aku pulang dulu, ya. Kayaknya udah sore banget.” Axel mengangkat kepala, wajahnya sedikit lesu. “Hah? Udah? Ya udah deh. Aku juga udah pusing banget baca teori-teori itu.” Ia bangkit, berjalan bersama Luna menuju ruang tamu. Di sana, Hayes masih berada di kursi empuk dekat rak buku. Ia terlihat santai, meski jelas aura wibawanya tak pernah surut. Di tangannya ada segelas bourbon, dibiarkan hanya setengah isi. Tatapannya awalnya tertuju pada halaman dokumen, namun begitu mendengar langkah kaki, matanya otomatis mengangkat. Luna merasakan tengkuknya menegang. Ada sesuatu dari tatapan itu yang membuatnya sulit berpura-pura tenang. Ia lalu menundukkan kepala sopan. “Permisi, Tuan Ludwig. Saya pamit pulang. Terima kasih sudah mengizinkan saya belajar di sini.” Hayes menyandarkan punggungnya, suara baritonnya mengisi ruangan. “Kamu pulang sendiri?” Pertanyaan itu sederhana, tapi intonasinya seolah menyiratkan lebih dari sekadar kepedulian biasa. Luna sempat terdiam sepersekian detik, lalu melirik Axel. Sebelum sempat menjawab, Axel lebih dulu bicara, suaranya malas. “Pa, aku udah capek banget. Kayaknya aku nggak sanggup nganter Luna. Bisa nggak biarin dia pulang sendiri aja? Toh apartemennya deket kok.” Hayes mengangkat alis, tatapannya menajam ke arah putranya. “Kamu membiarkan teman mu pulang sendiri malam-malam begini?” Axel mengangkat kedua tangannya, seakan tak ingin memperpanjang perdebatan. “Ya ampun, Pa. Kan bukan malam banget juga. Masih sore.” Namun Hayes, mengalihkan tatapannya ke Luna, seolah tak menerima alasan Axel. “Aku akan suruh supir pribadi mengantarmu. Itu lebih aman.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN