Luna buru-buru menggeleng, meski jantungnya berdegup kencang. “Oh, tidak perlu, Tuan. Saya nggak enak. Lagipula benar kata Axel, apartemen saya dekat.”
Hayes tetap menatap, matanya tenang tapi tegas. “Saya tidak bisa membiarkan seorang tamu—apalagi gadis muda—pulang sendirian. Kamu tunggu sebentar. Saya akan panggilkan sopir.”
Nada itu bukan permintaan, melainkan keputusan. Luna hanya bisa terdiam, lalu mengangguk pelan. “Baik, Tuan.”
Axel, yang sejak tadi tampak santai, menjatuhkan tubuhnya ke sofa. “Lihat, kan? Papa emang nggak pernah bisa ditawar kalau udah ngomong gitu.” Ia menguap. “Aku ke kamar dulu deh. Capek banget.”
Begitu Axel meninggalkan ruangan, suasana mendadak berbeda. Hening, seakan ada lapisan udara tipis yang menyelimuti keduanya. Hayes berdiri, tinggi menjulang, lalu menekan tombol kecil di dinding. Tak lama, seorang pelayan masuk. Hayes memberi instruksi singkat:
“Panggilkan Herman. Suruh dia antar Nona Luna pulang ke apartemennya. Pastikan tunggu sampai dia masuk ke dalam.”
Pelayan itu mengangguk, lalu berlalu.
Hayes kembali menoleh ke arah Luna. “Silakan duduk sebentar. Sopirku akan segera datang.”
Luna menelan ludah, lalu menuruti dengan hati-hati. Ia duduk di sofa berhadapan dengannya, tas di pangkuan. Perasaannya kacau—antara canggung, gugup, dan entah kenapa ada sedikit rasa aman dari nada perintah pria itu.
“Terima kasih, Tuan Ludwig. Saya sebenarnya nggak apa-apa pulang sendiri.”
Hayes hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit, bukan senyum penuh tapi cukup membuat wajahnya terlihat lebih lembut. “Saya tidak suka membiarkan hal-hal berisiko. Itu kebiasaan buruk sebagai ayah … dan sebagai seorang pemimpin perusahaan.”
Luna mengangguk kecil, tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa menunduk, menatap jemari tangannya yang saling menggenggam erat.
Hayes memperhatikan gadis itu beberapa saat, lalu membuka suara lagi. “Kamu sudah lama berteman dengan Axel?”
Pertanyaan itu terdengar netral, tapi entah kenapa, d**a Luna berdebar. “Sejak semester awal, Tuan. Kami sering kerja kelompok, jadi lumayan dekat.”
“Mm.” Hayes mengangguk pelan, lalu kembali meneguk bourbonnya. “Kedekatan itu hal yang bagus. Tapi jangan sampai membuatmu kehilangan fokus pada tujuanmu sendiri.”
Kata-kata itu menusuk dengan cara yang aneh, seolah lebih dari sekadar nasihat orang tua. Luna hanya bisa tersenyum sopan, meski hatinya kembali bergetar.
Tak lama, suara mesin mobil terdengar dari halaman depan. Pelayan kembali masuk, memberi tahu bahwa Herman sudah siap.
Hayes berdiri, tangannya terulur. “Terima kasih sudah datang, Luna. Semoga belajarmu bersama Axel bermanfaat.”
Luna bangkit, menyambut uluran tangannya. Telapak tangan Hayes hangat, jari-jarinya besar dan kokoh. Sentuhan singkat itu membuat aliran listrik kecil menjalari lengan Luna. Ia buru-buru melepaskannya, takut wajahnya memerah.
“Saya yang berterima kasih, Tuan,” ucapnya dengan suara pelan.
Hayes menatapnya sejenak, sorot matanya berat namun dalam. “Hati-hati di jalan.”
Luna mengangguk, lalu berjalan cepat menuju pintu, mencoba menutupi kegugupannya. Dari ujung matanya, ia masih bisa merasakan tatapan Hayes yang mengikuti setiap langkahnya.
Di teras rumah Ludwig, mobil hitam mengilap sudah menunggu. Sopir pribadi, Herman, membuka pintu dengan sopan. Luna masuk, duduk di kursi belakang. Mobil meluncur perlahan keluar dari halaman, melewati gerbang besi besar yang otomatis terbuka.
Luna bersandar, menghela napas panjang. Baru kali ini ia merasa berada dalam pusaran yang aneh. Bukan hanya soal Axel atau skripsi, melainkan tatapan dan suara ayahnya.
“Hayes Ludwig,” bisiknya pelan, namanya terasa asing sekaligus berbahaya di bibirnya.
Jalanan mulai ramai dengan lampu-lampu kota. Herman menyetir tenang, tak banyak bicara, seakan mengerti tuannya tidak suka sopirnya berlebihan. Itu membuat Luna bisa tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Gambaran wajah Hayes kembali muncul—rahang tegas, sorot mata dalam, suara berat yang mampu membuat udara bergetar. Ia menekan keningnya dengan jemari, berusaha mengusir pikiran itu. Apa yang salah denganku? Kenapa aku malah mengingatnya, bukan Axel?
Mobil terus melaju, dan Luna tahu, meski ia mencoba menepis, benih sesuatu sudah tertanam. Entah apa bentuknya nanti, tapi ia bisa merasakannya.
***
Pintu apartemen sederhana itu menutup dengan bunyi klik halus. Luna menempelkan punggungnya ke daun pintu, menarik napas panjang yang terasa berat. Rasanya baru saja ia melangkah keluar dari dunia lain—dunia yang penuh dengan aura berkelas, mewah, dan … berbahaya. Dunia keluarga Ludwig.
Ia melepaskan sepatunya, menaruh tas di atas meja dekat pintu, lalu berjalan gontai ke kamar. Lampu ruang tamu yang redup menambah kesan sepi. Apartemen ini tidak besar, tapi cukup untuk dirinya seorang. Biasanya, ia selalu merasa nyaman berada di sini. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Sunyi itu seperti ikut menggemakan debaran jantungnya.
Di kamar, ia menjatuhkan tubuh ke atas ranjang. Sprei biru muda menyambut kulitnya yang masih hangat setelah perjalanan pulang. Luna menatap langit-langit yang diterangi lampu temaram. Harusnya otaknya masih dipenuhi materi skripsi yang baru saja ia diskusikan dengan Axel—teori manajemen, strategi pemasaran, rencana penelitian.
Tapi tidak. Sama sekali tidak.
Yang muncul justru wajah itu. Sorot mata yang menembus. Senyum tipis yang seolah mengandung rahasia. Suara bariton yang dalam dan menggetarkan.
Hayes Ludwig.
Nama itu terlintas seperti mantra yang sulit diusir.
Luna meraih bantal, menekapkannya ke wajah. Suaranya keluar tertahan. “Ya Tuhan … apa-apaan sih ini .…”
Hatinya berdebar lebih cepat. Ada rasa malu—karena berani-beraninya ia memikirkan ayah dari sahabatnya sendiri. Ada rasa takut—karena jelas ini bukan hal yang bisa dianggap wajar. Tapi di sela-sela itu, ada pula sesuatu yang berbahaya: rasa penasaran, bahkan mungkin ketertarikan.
Ia berguling ke sisi ranjang, menatap jendela kamar. Tirai tipis berkibar pelan diterpa angin malam dari celah kecil yang terbuka. Dari luar, lampu-lampu kota Jakarta berkelip, seakan ikut mengintip isi hatinya yang kacau.
“Kenapa bukan Axel yang aku pikirkan?” bisiknya. “Padahal seharian aku sama dia. Tapi … yang muncul malah Papanya.”
Luna memejamkan mata, mencoba mengingat ulang.
Cara Hayes menyalaminya—telapak tangan hangat, genggaman mantap. Cara dia menyebut namanya dengan begitu tenang, tanpa embel-embel, tapi justru terasa sangat pribadi. “Hati-hati di jalan, Luna.” Hanya lima kata sederhana, namun entah kenapa suaranya seakan berulang-ulang di telinga.
Ia menekuk lutut, memeluknya di atas ranjang. Pipinya terasa panas. “Gila. Aku bahkan masih bisa dengar nada suaranya. Kenapa aku kayak gini?”
Bayangan tatapan Hayes kembali hadir. Tatapan yang tidak bisa ia artikan—apakah hanya perhatian seorang ayah? Atau ada sesuatu di balik itu? Tatapan itu terlalu lama, terlalu intens, untuk sekadar basa-basi.
Luna menggigit bibirnya. Ia tahu ia tidak boleh mengasumsikan macam-macam. Hayes adalah pria berusia 45 tahun, CEO perusahaan otomotif besar, seorang ayah, seorang figur publik. Sementara dirinya? Hanya mahasiswa tingkat akhir, sahabat anaknya, dengan hidup yang sederhana. Tidak seimbang. Mustahil.
Namun hati manusia tidak bisa diatur logika. Dan malam ini, hatinya seolah dikuasai oleh sesuatu yang bukan dirinya sendiri.