Tatapan yang Sulit Diabaikan.

1410 Kata
Suasana sore di rumah keluarga Ludwig terasa hening, hanya terdengar suara burung di halaman belakang dan desiran angin yang masuk dari jendela besar. Ruang belajar itu kini dipenuhi kertas-kertas, laptop, dan catatan tebal yang berserakan di atas meja rendah. Axel duduk di sofa dengan laptop terbuka, wajahnya serius meski matanya sesekali melirik layar ponsel. “Oke, jadi bagian metodologi kamu yang garap, Na. Aku fokus ke bab analisis data.” Luna mengangguk sambil menatap buku catatan di pangkuannya. Rambutnya yang diikat setengah jatuh ke bahu, memberi kesan santai namun tetap rapi. “Siap. Tapi aku perlu cek beberapa literatur tambahan. Ada di folder email, nanti aku buka.” “Ya udah, santai aja. Kita kerjain bareng, toh deadline masih seminggu,” jawab Axel, lalu terkekeh kecil. “Tapi aku nggak mau nunda lagi, nanti malah keburu panik.” Luna tersenyum tipis, berusaha fokus pada catatannya. Namun di sudut pikirannya, ia masih bisa merasakan sisa kejanggalan dari pertemuan terakhir dengan Hayes di ruang kerja. Tatapan pria itu, sentuhan jemari di punggung tangannya—semuanya masih melekat. Dan kini, ia berada di rumah yang sama. Dengan jarak yang begitu dekat. Pintu samping ruang tamu terbuka pelan. Luna menoleh sekilas—dan jantungnya langsung berdebar lebih cepat. Hayes berjalan melewati ruangan, mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku, ditambah celana hitam kasual. Tanpa jas, tanpa dasi, tapi justru terlihat lebih berbahaya. Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya berjalan tenang sambil membawa sebuah berkas di tangan. Namun, sebelum menghilang di balik koridor, matanya sempat singgah ke arah Luna. Hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat gadis itu buru-buru menunduk, pura-pura sibuk menulis. “Eh, kamu kenapa?” tanya Axel, menoleh dengan alis terangkat. “Nggak, nggak apa-apa,” sahut Luna cepat, berusaha terdengar biasa. Ia menuliskan sesuatu di kertas meski tulisannya berantakan. Axel mengangkat bahu, kembali menatap layar laptop. “Kamu kayak lagi gugup gitu.” Luna hanya menggeleng, menahan napas dalam-dalam. Beberapa menit berlalu, Axel sibuk mengetik cepat. Luna mulai tenggelam dalam literatur yang dibacanya, tapi pikirannya terus terusik. Setiap kali terdengar suara langkah dari arah dapur atau koridor, ia otomatis menoleh, berharap sekaligus takut melihat Hayes. Dan benar saja. Kali ini Hayes muncul lagi, tanpa sengaja lewat di belakangnya. Ia menaruh buku di meja kecil dekat jendela. Tatapannya sekali lagi menyapu ruangan, lalu berhenti sesaat di Luna. Mata mereka beradu. Singkat. Intens. Luna buru-buru menunduk, pipinya panas. Kenapa dia terus menatapku begitu? hatinya menjerit. Apakah dia sengaja? Atau hanya perasaanku saja? Sementara itu, Axel sama sekali tidak menyadari apapun. Ia terus mengetik sambil bersenandung kecil. Waktu berlalu hampir satu jam. Tumpukan catatan di meja semakin banyak. Luna mengambil bolpoin yang jatuh ke lantai, tapi ketika ia mendongak lagi, ia terperangah. Hayes berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahu ke kusen, dengan tangan bersedekap. Tatapannya lurus, dingin sekaligus penuh sesuatu yang tidak bisa didefinisikan. Luna tercekat, jari-jarinya berhenti bergerak. Seolah hanya mereka berdua di ruangan itu, meski Axel duduk tak jauh darinya. “Pa, ada apa?” Axel akhirnya menyadari, menoleh ke arah ayahnya. Hayes menggeleng pelan. “Tidak, hanya lewat.” Suaranya berat, datar, tapi matanya masih bertahan pada Luna sebelum akhirnya beranjak pergi. Luna menelan ludah, menyembunyikan kegugupannya dengan pura-pura membolak-balik buku catatan. Tapi jantungnya berdetak terlalu keras, seakan bisa terdengar jelas oleh Axel. *** Menjelang senja, cahaya oranye dari jendela besar ruang belajar Axel menyusup masuk, menebarkan nuansa hangat sekaligus sendu. Debu-debu tipis beterbangan di udara, seolah menari mengikuti sorotan sinar matahari yang kian condong. Di meja, tumpukan kertas, laptop terbuka, dan pulpen yang tak henti-henti digulirkan oleh jari Luna menjadi saksi betapa panjang siang itu. Axel bangkit sambil menguap lebar, kemudian merentangkan tubuh dengan malas. “Laper banget, Na. Aku mau cari makanan di dapur. Kamu mau ikut?” tanyanya sambil mengusap perutnya yang keroncongan. Luna buru-buru menggeleng, meski perutnya sendiri juga mulai bersuara. “Nggak usah, Xel. Aku masih mau beresin bagian ini. Nanti aja.” Axel menatapnya sebentar, lalu tertawa kecil. “Ya udah. Jangan kelamaan, ntar kamu pusing sendiri. Kalau mau minum tinggal bilang sama Mbak Wati ya.” Lalu ia keluar sambil bersiul kecil, langkahnya ringan, meninggalkan Luna seorang diri. Ruangan mendadak sunyi. Hanya terdengar detak jam dinding yang lambat, diselingi desis lembut AC. Namun kesunyian itu justru menambah beban di d**a Luna. Ia tahu, seharusnya ia merasa lega Axel pergi sebentar—lebih banyak ruang untuk fokus pada metodologi yang masih berantakan. Tapi anehnya, keheningan itu justru membuatnya gelisah. Jemarinya tak berhenti menggulir pena. Menulis beberapa kata, lalu mencoret. Membolak-balik halaman. Menarik napas pendek. Ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang, seakan ruangan itu tak lagi sekadar ruang belajar, melainkan semacam arena yang menunggu sesuatu pecah. Dan benar saja. Beberapa menit kemudian, suara langkah berat terdengar dari arah lorong. Langkah itu berbeda dengan langkah Axel yang ringan dan terburu-buru. Ini lebih tenang, berat, seolah tiap hentakan sepatu mengirimkan getaran ke d**a Luna. Napas Luna tercekat. Ia mengangkat kepala dengan ragu, dan di ambang pintu—berdiri Hayes. Kali ini ia tidak berusaha menyamarkan kehadirannya. Tidak ada alasan pura-pura mencari dokumen, tidak ada basa-basi. Tubuh tegap itu bersandar sebentar pada kusen pintu, siluetnya dipeluk cahaya senja dari lorong. Kemeja abu-abu yang dikenakannya tampak pas di tubuh bidangnya, lengan digulung hingga siku, memperlihatkan urat-urat yang jelas di lengannya. Rambutnya tersisir rapi, tapi ada sedikit helai yang jatuh, membuatnya terlihat jauh lebih manusiawi—dan berbahaya. “Sedang sibuk?” tanyanya, suaranya rendah dan dalam, nyaris bergema di ruang yang sunyi itu. Luna terlonjak kecil. “Eh, a-anu … iya, Tuan. Aku lagi ngerjain metodologi,” jawabnya terbata, sambil berusaha mengalihkan pandangannya ke kertas. Hayes melangkah masuk, perlahan, setiap langkahnya membuat d**a Luna semakin sesak. Ia berhenti di sisi meja, cukup dekat hingga aroma khas tubuhnya—paduan kayu manis, cedar, dan alkohol halus—menyergap indera penciuman Luna. Matanya menelusuri catatan-catatan di atas meja, lalu berpindah, berhenti terlalu lama pada wajah gadis itu. Tatapan itu tajam, penuh tekanan, tapi juga ada sesuatu yang samar: rasa ingin tahu, rasa lapar, dan sesuatu yang tidak boleh disebut. “Kamu rajin,” gumam Hayes akhirnya. Luna mencoba tersenyum canggung, lalu menunduk, pura-pura fokus pada catatannya. “Aku … aku harus fokus, Tuan. Kalau nggak, nanti Axel marah.” Kalimat itu terdengar konyol begitu keluar dari mulutnya. Ia tahu, Axel tidak akan pernah benar-benar marah padanya. Tapi ia butuh sesuatu untuk menutup kejanggalan suasana ini. Hayes tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap, lama sekali, membuat waktu seolah berhenti. Kemudian, tanpa berkata apa pun, ia mengulurkan tangan. Tangannya meraih satu lembar kertas yang tergeletak di meja, tapi dalam gerakan itu, ujung jarinya menyentuh punggung tangan Luna. Sekilas. Begitu ringan. Tapi cukup untuk membuat seluruh tubuh Luna seakan dialiri arus listrik. Ia terdiam, napasnya tercekat. Pulpen di tangannya hampir terlepas. “Kerja bagus,” ucap Hayes singkat. Dua kata sederhana itu justru terasa lebih berat daripada sebuah pengakuan. Suaranya rendah, nyaris intim, seolah kalimat itu hanya ditujukan pada Luna—bukan sekadar penilaian pekerjaan, melainkan sesuatu yang lebih pribadi. Hayes meletakkan kertas itu kembali ke meja, lalu melangkah mundur, meninggalkan ruangan tanpa suara tambahan. Pintu menutup pelan. Tapi bagi Luna, seakan pintu itu mengurung napasnya. Tubuhnya masih kaku, jantungnya berpacu tak karuan. Ia menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Hayes, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. Namun, yang tersisa justru lebih mengganggu. Bau parfum maskulin Hayes masih tertinggal di udara, berbaur dengan aroma kertas dan tinta. Sentuhan singkat itu masih membekas di kulit tangannya, seakan tubuhnya sendiri menolak melupakan. Luna menekan punggung tangannya ke d**a, mencoba menenangkan degup jantung yang kacau. “Astaga, kenapa aku ini …,” bisiknya, hampir tak terdengar. Ia mencoba kembali menunduk ke catatan, tapi huruf-huruf di hadapannya kabur. Bukan karena lampu, bukan karena lelah, melainkan karena pikirannya dipenuhi oleh satu sosok—Hayes Ludwig. Beberapa menit kemudian, Axel kembali dengan sebungkus besar camilan dan dua gelas jus. “Na, aku bawa keripik sama jus jeruk. Eh, kamu kenapa? Mukamu merah.” Luna tersentak, buru-buru mengibas-ngibaskan tangan. “Nggak apa-apa. AC-nya kayaknya panas.” Axel menoleh sebentar ke arah remote AC, lalu terkekeh. “Padahal ini dingin banget. Kamu jangan kebanyakan mikir, Na. Bisa pingsan nanti.” Luna hanya mengangguk, memaksakan senyum. Tapi tangannya di bawah meja menggenggam kuat-kuat rok yang dikenakannya. Ia butuh sesuatu untuk menahan gejolak yang tak boleh diketahui Axel. Dan saat Axel mengoceh tentang skripsi sambil membuka bungkus keripik, Luna tahu—hari ini, ada sesuatu yang telah berubah. Sesuatu yang membara, meski tidak diucapkan. Bara yang menyala diam-diam, menunggu waktu untuk benar-benar menyulut api besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN