Bab 1. Hancur

1525 Kata
Selama 25 tahun hidup di dunia, ini pertama kalinya Kaia masuk ke kelab malam. Meski penampilannya sangat bertolak belakang dengan para pengunjung kelab malam yang berdandan dan berpakaian seksi, ia tak peduli. Tujuannya hanya satu, mencari pria bernama Farel. Lima menit mencari, tatapan Kaia jatuh pada satu titik di pojok ruangan. Di sebuah sofa panjang yang sepertinya dipesan khusus oleh seorang pria yang amat ia kenal. Farel, kekasih Kaia selama setahun terakhir ini duduk di sana sambil memangku seorang wanita berpakaian seksi. Darah Kaia mendidih, naik ke ubun-ubun. Ia melangkah cepat ke arah keduanya. Bukan hanya posisi intim mereka yang membuat Kaia marah, tapi juga apa yang mereka lakukan sekarang. Suara mereka berciuman mulai terdengar saat Kaia semakin mendekati kekasihnya yang sedang b******u mesra dengan wanita lain. Tangan Farel meraba dan meremas tubuh si wanita dengan begitu agresif. Kaia kehilangan akal sehat melihat pemandangan itu. Maka tanpa sepatah kata pun, ia menyambar minuman di atas meja dan menyiramnya ke arah dua manusia itu. “Apa-apaan ini!?” Wanita berpakaian seksi itu berseru marah sambil turun dari pangkuan Farel. “Kaia!?” Farel berdiri, menatap Kaia seperti melihat hantu. “Menjijikkan!” Kaia meludah tepat di kaki Farel. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya, ia menahan diri agar tak menangis meski dadanya nyeri luar biasa sekarang. “Begini kelakuan lo di belakang gue?” Farel menyugar rambutnya kesal, lantas tertawa mengejek. “Ini salah lo, Kai! Lo yang sok suci, segala nggak mau lebih dari ciuman. Kita pacaran udah dewasa, Kai, bukan anak TK!” “Lo nggak tahu seberapa berharganya keperawanan buat perempuan, Rel.” Kaia bicara dengan suara bergetar. Ia tak menyangka Farel tega mengkhianatinya hanya karena ia menolak berhubungan badan. “Tapi lo pacar gue, Kai. Gue punya hak buat nikmatin badan lo. Tapi lo selalu nolak, gue muak, Kai!” “Lo bukan pacar gue lagi sekarang, b******n!” Kaia menyambar botol saos di atas meja dan menuangkan isinya di atas kepala Farel. “Lo apa-apaan, Kaia?!” Farel berteriak murka, nyaris mencengkram tangan Kaia, namun gadis itu sudah lebih dulu menarik tangannya mundur. “Lo barbar banget sih?!” Wanita yang tadi bermesraan dengan Farel langsung membantu Farel membersihkan rambutnya. “Pantes aja Farel nggak betah sama lo, selain sok suci kelakuan lo juga kayak orang nggak disekolahin!” “Kelakuan kalian lebih busuk daripada orang nggak sekolah!” balas Kaia tajam. Wanita yang bersama Farel itu berbalik menatap Kaia sambil menyeringai puas. “Bagus lo dateng ke sini, sekalian gue kasih tahu semuanya!” “Sudah, Freya.” Farel menegur, masih sibuk membersihkan rambutnya dari saus, malas membuat keributan lebih heboh lagi. Wanita yang dipanggil Freya itu tak menggubris, ia terus memangkas jarak dengan Kaia hingga berdiri tepat di hadapan Kaia. Ia mengacungkan tangannya, menunjuk jari manisnya yang dilingkari sebuah cincin. “Gue udah tunangan sama Farel dan bakal nikah minggu depan. Bukan cuma itu ….” Freya menunduk, berbisik di telinga Kaia dengan nada bangga sekaligus mengejek. “Gue lagi hamil dan ini anak gue sama Farel.” Langit di atas kepala Kaia runtuh seketika. Air mata yang sejak tadi ia tahan berebutan ingin meluncur jatuh. Tapi tidak, ia takkan membiarkan dua orang itu melihatnya dalam kondisi lemah. Ia takkan membiarkan mereka tertawa saat dirinya menangis. Kaia menarik nafas dalam, mengenyahkan rasa tercekat di kerongkongannya. Ia tertawa sinis. “Gue kira p*****r tuh udah serendah-rendahnya perempuan,” balasnya dengan nada menghina yang amat kental. Freya mengernyit, tapi tak merespons. “Tapi ternyata mereka lebih mahal dari lo. Mereka masih dibayar buat ngenakin cowok, lo malah ngasih diri lo gratis. Lo jauh lebih murah dari p*****r!” “Kurang ajar!” Freya berteriak penuh amarah sambil melayangkan tamparan keras ke pipi Kaia. Kepala Kaia terbanting ke samping, tapi gadis itu masih bisa menyeringai. “Reaksi lo menunjukkan kalau gue bener. Dan lo, cowok mokondo.” Ia menatap Farel tajam. “Makasih karena lo udah nunjukin derajat lo di mana. Gue nggak sedih sama kejadian ini, gue bahagia luar biasa. Karena gue akhirnya tahu kalau lo cuma laki-laki b******k yang tahunya soal s**********n doang!” Kaia mendesis tajam sambil mendorong kuat-kuat tubuh Farel hingga jatuh terduduk di lantai, kemudian ia berlalu tanpa rasa bersalah dari sana. “Dasar cewek murahan!” Freya berniat mengejar Kaia, namun ditahan oleh Farel. Kaia terus melenggang pergi, tak memedulikan teriakan murka dari Freya apalagi tatapan para pengunjung kelab. Gadis itu berjalan cepat keluar dari kelab, menyusuri trotoar yang sepi. Wajahnya mengeras, matanya memerah menahan tangis. Kata siapa Kaia bahagia? Itu hanya sugestinya supaya ia tak terlalu bersedih dengan kejadian ini. Kaia menghentikan langkahnya di satu sudut trotoar yang gelap dan sepi. Kepalanya tertunduk, ia melepas ikatan rambutnya hingga helaiannya jatuh menutupi wajahnya. Gadis itu mulai tergugu, membiarkan air mata yang sejak tadi ia tahan mengalir deras membasahi wajahnya. Semakin lama, tangisannya berubah menjadi isakan keras. Tubuhnya berguncang saat tangisannya terdengar semakin memilukan. Ia terduduk di sana, berjongkok, memeluk lututnya sendiri. Menangis pilu seorang diri. Karena tetap saja, dikhianati oleh orang yang paling dipercaya rasanya amat menyakitkan. *** Menjelang tengah malam, Kaia baru pulang ke rumah dengan tubuh lelah dan wajah sembab karena menangis. Rumah yang Kaia maksud hanya berupa sepetak tempat tinggal yang dindingnya menyatu dengan dinding rumah tetangga. Ia mengernyit saat mendapati sebuah mobil mewah terparkir di gang depan rumahnya. Gang menuju rumah Kaia memang tidak bisa dilalui mobil saking sempitnya. “Mobil siapa nih?” gumamnya sambil terus melajukan motornya masuk ke dalam gang. Ia memarkir motornya di teras rumah dan membuka pintu depan yang tidak terkunci. Begitu pintu terbuka, pemandangan pertama ia lihat adalah ayahnya sedang bertekuk lutut di lantai. “Bapak ngapain!?” Kaia berlari, ikut duduk di sebelah ayahnya sambil memegang bahunya. Suhendar, ayah Kaia itu menoleh. Kemudian ia kembali menatap ke depan. “Ini anak saya, Pak. Dia masih perawan, saya jamin itu. Anaknya baik, nggak pernah macem-macem.” Kaia mengernyit bingung, mengikuti arah pandang ayahnya. “Bapak ngomong ap–” Kalimat Kaia terhenti begitu saja, ia membelalak saat melihat siapa yang duduk di hadapan mereka saat ini. Kaia mengenal pria berpakaian mahal itu. Benjamin Abraham, CEO di perusahaan tempatnya bekerja sekaligus ayah dari mantannya, kini duduk bersilang kaki di sofa butut rumahnya. Kaia ternganga, untuk sepersekian detik ia tak bisa berkata-kata meski di kepalanya muncul tanda tanya besar. Mengapa seorang Benjamin Abraham bisa ada di rumahnya? “Pak, saya mohon, lepaskan saya. Bapak bisa bawa anak saya, saya yakin dia tidak akan menolak.” Suhendar, pria yang selalu beringas di depan Kaia itu kini memohon-mohon pada Ben, nyaris bersujud di lantai. Kaia terkesiap mendengar kalimat ayahnya. “Bapak bicara apa sih? Bapak ngapain?” “Kai, kamu harus ikut orang itu supaya Bapak bisa bebas.” Untuk pertama kalinya, Kaia melihat ayahnya memelas padanya. Pria yang biasanya hanya bisa marah dan memukuli Kaia saat ia tak bisa membawa pulang uang dalam jumlah banyak, kini memasang tampang mengenaskan. Ben berdiri dari sofa butut rumah Kaia, mendekati mereka. “Siapa namamu?” tanyanya dingin. Kaia menelan ludah gugup, menunduk. “Ka-kaia, Pak.” “Kamu tahu apa yang ayahmu lakukan, Kaia?” Suara rendah Ben membawa ketegangan yang pekat di rumah sempit itu. Kaia menggeleng, masih menunduk, menatap ujung sepatu Ben yang mengkilap. Ia yakin, apa pun itu, pasti sesuatu yang buruk. “Dia menghancurkan mobilku seharga 7 miliar. Lalu dia mencuri barang-barang berhargaku dan kabur. Dan dia melakukannya tidak hanya sekali.” Kaia menggigit bibir, meremas pahanya sendiri. Ia mengutuk ayahnya dalam hati. Kaia lebih dari tahu bahwa ayahnya memang kerap bertindak gegabah saat mabuk atau kalah berjudi. Tapi ia tak menyangka ayahnya sampai mencuri. Mencuri mobil ayah mantannya pula. Kalau sampai Farel mengetahui ini, ia pasti akan semakin menghinakan Kaia. “Beruntung aku bisa menemukannya.” Ben bicara lagi, kini berjongkok di depan Kaia. Tangannya terulur, mengangkat dagu Kaia hingga tatapan mereka bertemu. “Kamu punya uang untuk membayar biaya perbaikan mobil dan barang-barangku yang dicuri ayahmu?” Tatapan Kaia menyelami mata Ben. Danau gelap itu terlihat dingin dan misterius. Ia menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, suaranya tercekat di kerongkongan. “Benar kamu masih perawan, Kaia?” tanya Ben sambil memperhatikan wajah Kaia. Kaia mengangguk lagi. Ben diam, menatap mata Kaia lurus-lurus, mencari kebohongan di sana. Namun, saat Ben tak mendapatinya, ia menyeringai tipis. “Kalau begitu bayar semua itu dengan tubuhmu.” Tubuh Kaia gemetar menahan tangis. Luka akibat pengkhianatan Farel saja masih basah dan menganga, kini ia harus mendapati hidupnya hancur sempurna. Keperawanan yang ia jaga sekuat tenaga, satu-satunya hal yang berharga di dirinya, harus ia gadaikan karena ulah ayahnya. “Kamu harus mengandung anakku dan aku akan membebaskan ayahmu,” ucap Ben tegas, seolah tak ingin dibantah. “Saya ….” Kaia mencoba bicara meski suaranya bergetar. Ia tak mau menyerahkan keperawanannya begitu saja. “Saya … akan jadi istri Bapak?” Setidaknya ia harus berstatus sebagai istri orang ini. Ben mengangkat sebelah alisnya, tak menyangka Kaia akan berani menanyakan itu. “Yah, bisa dibilang begitu.” Sebuah ide gila langsung memenuhi kepala Kaia. Ekspresi ketakutan di wajah Kaia perlahan menghilang. Sorot matanya kini tampak berkilat penuh tekad. “Kalau begitu, saya bersedia,” ucap Kaia kemudian. “Tapi saya punya permintaan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN