Bab 2. Pernikahan Tanpa Cinta

1626 Kata
“Jadi gini cara lo, Kai? Gagal dapetin gue, lo malah nikahin papa gue?” Farel menggeram marah di hadapan Kaia, menatap mantan kekasihnya itu dengan sorot merendahkan. Kaia, wanita yang hari ini tampak cantik dan anggun dalam balutan gaun pengantin itu menyeringai lebar. “Gimana lagi? Papa lo lebih kaya,” balasnya pedas. “Gue nggak nyangka ternyata lo mata duitan.” “Gue realistis.” Kaia menyahut santai, masih mempertahankan ekspresi tenang di depan mantan yang telah mengkhianatinya ini. “Hidup emang bukan cuma soal uang, tapi segala sesuatu butuh uang, Rel.” “Kenapa lo jadi murahan gini, Kai?” Farel mengernyit, menatap Kaia tak percaya. Kaia mengedikkan bahu tak peduli. “Gue mahal, Rel. Buktinya papa lo rela ngasih saham perusahaan yang bahkan lo aja nggak punya.” Ia tertawa sinis, mengejek Farel terang-terangan. Ya, Kaia meminta saham di perusahaan Ben sebagai bayaran atas keperawanan yang telah ia jaga sekuat tenaga selama 25 tahun hidupnya dan sebagai balasan atas kesediaannya untuk memenuhi syarat dari Ben, yaitu tidak akan menuntut untuk dicintai. Gigi-geligi Farel bergemeletuk saking kesalnya ia dengan jawaban Kaia. “Apa rencana lo, Kai? Apa yang lo lakuin sampe papa gue mau nikah sama lo?” Kaia tertawa sinis, meski miris dalam hati. “Tanya papa lo sendiri aja. Ngapain tanya gue?” “Gue nggak tahu gimana caranya lo bisa sampe nikah sama papa gue, tapi gue peringatkan, Kai, kalau lo punya rencana buat balas dendam ke gue lewat jadi istri papa gue, hentikan sekarang. Karena gue nggak akan biarin lo ngerusak keluarga gue!” ancam Farel tegas. Tanpa menunggu jawaban dari Kaia, Farel berlalu keluar dari kamar hotel Kaia, membanting pintu. Kaia menghela nafas berat, menyandarkan tubuhnya di kursi. Setetes air mata jatuh membasahi pipinya. Namun, segera ia hapus dan menarik nafas dalam, berusaha memperbaiki suasana hatinya yang tak karuan gara-gara kunjungan Farel barusan. Pintu kamar hotel Kaia kembali diketuk dari luar. “Siapa lagi sih?” gerutunya sambil bangkit dan berjalan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, seorang pria paruh baya dengan wajah lusuh dan bibir menghitam berdiri di depan pintu. Itu Suhendar, hari ini ia memakai setelan jas rapi, tapi wajahnya tetap tidak terlihat segar. Suhendar tertawa terbahak-bahak saat melihat Kaia tampak begitu cantik dalam balutan gaun pengantin mewah. Ia menepuk pundak Kaia cukup keras. “Bagus, bagus. Akhirnya kamu ada gunanya juga. Siapa sangka kamu akan menikah dengan konglomerat?” Suhendar kembali tertawa puas. “Ada gunanya juga aku membesarkanmu.” Kaia tersenyum miris. Untuk pertama kalinya Kaia melihat Suhendar tersenyum dan tertawa padanya. Tawa dan senyum itu hadir karena bagi Suhendar, sekarang Kaia bisa menghasilkan uang lebih banyak untuknya. “Nah, ayo aku antar kamu ke suamimu.” Suhendar memasukkan tangan ke dalam saku, berjalan lebih dulu. Kaia menatap tangannya yang terulur hendak menggamit lengan ayahnya. Ia tersenyum getir, namun buru-buru mengenyahkan pikiran-pikiran buruk di kepalanya. Kaia sudah bertekad, ia akan menikmati kehidupan mewah setelah menjadi istri Ben. Ia takkan peduli lagi soal tidak adanya kasih sayang dan cinta yang akan ia dapatkan dari siapapun. Bahkan dari suaminya sendiri. “Bodo amat soal cinta. Emang cinta bikin kenyang?” gerutunya sambil berjalan menuju ruangan tempat resepsi pernikahan diadakan. Rupanya Ben sudah menunggu di dekat pintu masuk, ia tampak semakin gagah dalam balutan setelan jas berpotongan fit. “Ayo cepat, tamu undangan sudah datang semua.” Ben berjalan lebih dulu, sama sekali tak merasa perlu untuk menggenggam tangan Kaia dan berjalan bersama masuk ke dalam ruangan. Kaia menarik nafas dalam. Kehidupan barunya dimulai sekarang. Ia takkan lagi mengemis cinta dari siapapun. Hidup tanpa mengenal ibunya, dikhianati oleh kekasih yang ia percaya sepenuh hati, dijual oleh ayahnya sendiri, semua itu sudah cukup untuk membuat Kaia tak lagi percaya soal cinta. Ben dan Kaia duduk di pelaminan, para tamu mulai naik bergiliran untuk memberi selamat langsung pada mempelai. Ben dan Kaia pun berdiri, menyambut tamu dengan senyum lebar. “Wah, dapet perawan ting-ting nih, Pak Ben?” goda salah seorang tamu. “Muda banget istrinya, Pak? Bagi tips dapetin gadis, Pak.” Seorang tamu lain berseloroh. “Pake pelet apa lo? Nggak dapetin anaknya malah nikahin bapaknya.” Ini komentar salah satu rekan kerja Kaia, yang hanya ditanggapi Kaia dengan tawa. Ben tak terlalu banyak menanggapi celetukan-celetukan para tamu, sementara Kaia hanya bisa tersenyum canggung. Saat para tamu yang naik untuk memberi selamat mulai berkurang, Kaia melirik Ben. “Gimana perasaan Bapak?” tanyanya hati-hati. Ben menoleh, menatap Kaia bingung. “Perasaanku soal apa?” “Nikah sama saya.” Ben kembali menatap ke depan, ekspresinya datar. “Biasa saja.” Ternyata meski sudah tahu bahwa pernikahan ini telah disepakati tanpa cinta, Kaia tetap merasa miris mendengar jawaban dingin itu. *** “Kita sudah sepakat, aku memberikan apa yang kamu minta dan kamu memberikan apa yang aku minta. Aku sudah memberimu saham atas nama kamu di perusahaanku dan sekarang giliranku menagih janjimu, betul?” Kaia menelan ludah gugup. “Tapi, Pak … saya … belum pernah begituan.” “Tidak masalah. Percayakan saja padaku,” sahut Ben santai sambil berjalan mendekati Kaia. Tanpa sadar, Kaia malah mundur. Ben mengernyit melihat Kaia justru menjauhinya. Ia melangkah semakin lebar, menyudutkan Kaia hingga punggungnya membentur dinding. “Jangan menghindar sekarang. Kamu sudah janji akan mengandung anakku, Kai.” Ben berkata dingin saat tiba di depan Kaia. Tubuhnya hanya berjarak sejengkal dari tubuh Kaia sekarang. “Kenapa? Kamu baru menyesal sekarang?” Ben menatap Kaia dingin, tak ada kehangatan sama sekali di sana. Kaia membalas tatapan itu, sedikit memelas agar Ben bisa mengerti ketakutannya. Namun, saat ia tak mendapati apa pun selain kilat tajam yang menggelap oleh hasrat, Kaia tahu ia takkan bisa lepas dari semua ini. “Sayang sekali, kamu yang memulai ini, Kai. Jadi kamu juga harus menuntaskannya sampai akhir.” Ben menunduk, berbisik mengancam di telinga Kaia. “Kamu akan mengandung anakku karena kita sudah menyepakati itu.” Tanpa menunggu respons dari Kaia, tangan Ben sudah menggapai punggungnya dan menurunkan resleting gaun yang ia kenakan. Jemari Ben bergesekan dengan kulit Kaia, membuat tubuh Kaia merespons sentuhan lembut itu. Tangan Ben kini telah menurunkan gaun itu, melewati pundak, d**a, pinggang, pinggul hingga gaun itu terjatuh di lantai. Membiarkan tubuh molek Kaia yang belum pernah dilihat siapapun terekspos di depan mata Ben. Ben membelalak, tatapan tajamnya melunak saat melihat beberapa bekas luka gores dan lebam di tubuh Kaia. “Badan kamu … kenapa?” tanya Ben tanpa menutup-nutupi keterkejutannya, tatapannya melekat di tubuh polos sang istri. Kaia menutupi tubuhnya yang polos dengan tangan. “Jangan dilihatin begitu, saya malu.” Ben mengepalkan tangan, hasrat di dalam dirinya berkecamuk dengan perasaan iba melihat pemandangan tak lazim di tubuh Kaia. Tangannya terulur, menyentuh memar di pinggang Kaia. Rasa lembut dari kulit Kaia membuat hasratnya kembali menggeliat. “Ini sakit?” tanyanya. Kaia menggeleng. “Sudah enggak.” Mata Ben menjelajahi tubuh Kaia lagi, tangannya menyentuh bekas luka memanjang di lengan sang istri. Sekali lagi, kontak kulit itu membuat gejolak hasrat Ben semakin menggelora. “Ini kenapa?” “Kena pecahan kaca.” Kaia menjawab jujur. Ia mendapatkan luka itu saat Suhendar mendorongnya keras, membuat Kaia terjatuh di lantai yang dipenuhi pecahan gelas dan piring, menggores lengannya. Pria itu menelan ludah, matanya menggelap oleh nafsu yang semakin menjadi-jadi. Bertahun-tahun tak menyentuh wanita, membuat tubuh Ben cepat bereaksi dengan pemandangan di depan matanya. “Kai, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku tidak mau menunda apa yang akan kita lakukan sekarang. Kamu mengerti?” tanya Ben dengan suara yang kental oleh gairah. Kaia mengangguk patah-patah. Ini kesepakatan mereka. Melihat anggukan Kaia, Ben langsung menggendong tubuh Kaia dan meletakkannya di atas kasur. Sementara dirinya segera melepaskan pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Kaia menggigit bibir menahan tangis saat Ben sama sekali tak memberinya waktu untuk beradaptasi. Pria itu kini telah menjelajahi tubuh Kaia dengan tangan dan bibirnya, membelai dan menciumi seluruh kulit polos itu. Perasaan menyesal bercampur menjadi satu dengan tekad bulat bahwa ia akan menikmati hidup mewah yang ditawarkan Ben padanya. Hingga di satu titik, Kaia akhirnya menyerah dan membiarkan Ben merenggut keperawanannya. “Mungkin ini harga yang harus aku bayar untuk lepas dari hidup yang menyesakkan itu,” gumamnya pasrah dalam hati. Gumaman itu segera tumpang tindih oleh desahan tertahan Kaia saat Ben memulai ritual inti permainan mereka. Gerakan Ben amat pelan, seolah ia sangat berhati-hati dan khawatir melukai Kaia. "Ah, kamu beneran perawan, sempit sekali." Ben terengah. Sementara Kaia hanya meringis menahan sakit di antara kedua pahanya. Setelah beberapa saat, Ben berbisik sambil membelai rambut Kaia lembut. “Sakit?” Kaia menatap Ben lekat, mencoba menyelami danau gelap di mata Ben. Tapi ia tak menemukan apa pun selain pekatnya hasrat yang melingkupi mereka berdua sekarang. Lengan Kaia terulur, merengkuh Ben erat. Ia membenamkan wajahnya di bahu Ben. “Udah nggak sakit,” bisiknya tertahan. Ben segera bergerak, meningkatkan ritme permainan secara bertahap. Sudah cukup ia menahan diri hanya agar Kaia tidak merasa sakit. Peningkatan ritme permainan membuat Kaia melepaskan semua suara yang tertahan. Aroma dan suara permainan panas mereka menggantung di langit-langit kamar hotel itu. Semakin intens, merangkak menuju puncak. Dan saat erangan tertahan Ben terdengar, saat itulah permainan telah melewati puncak, mencapai pelepasan yang membuat tubuh mereka menegang. Ben telah menanamkan benihnya di rahim Kaia. Kini mereka hanya perlu menyerahkannya pada takdir, apakah benih itu akan berhasil membuat Kaia hamil atau Ben harus bekerja keras lagi? Ben berguling ke samping, berbaring di sebelah Kaia yang kini meringkuk membelakangi Ben, menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Ben melirik punggung Kaia, menyadari bahwa pundak wanita itu bergetar halus. “Dia menangis?” batinnya bertanya-tanya. Tatapan Ben terus terkunci pada tubuh Kaia yang masih bergetar halus. Hingga akhirnya, ia bangkit dari kasur dan berjalan masuk ke kamar mandi. Tak memedulikan Kaia yang kini menangis sesenggukan di balik selimut, menyadari bahwa ia baru saja menjual keperawanannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN