Bab 3. Ibu Tiri Jahat

1293 Kata
Sehari setelah resepsi pernikahan Ben dan Kaia, Ben memboyong Kaia untuk tinggal bersamanya. “Ini anakku Farel dan ini menantuku, Freya.” Ben memperkenalkan Kaia pada dua orang yang sebenarnya sudah sangat ia kenal. Kaia tersenyum manis, menyalami mereka. “Kalian juga tinggal di sini?” tanyanya polos, seolah mereka baru saling mengenal. “Iya. Rumah ini terlalu besar kalau mereka keluar dari rumah.” Ben yang menjawab. Senyum Kaia tampak semakin lebar. “Wah, bagus dong. Rumahnya jadi rame.” “Ayo masuk, ada hal penting yang harus kita bahas.” Ben berjalan lebih dulu, melewati Farel dan Freya. Kaia mengekor di belakang. Namun, langkahnya tertahan saat Farel mencengkram pergelangan tangannya. “Jangan berani macam-macam lo, Kai!” bisik Farel penuh peringatan. Kaia hanya menyeringai tipis. “Macam-macam gimana sih maksudnya? Baru aja gue dateng, belum ngapa-ngapain, udah dituduh macam-macam,” balasnya pura-pura polos. “Dasar cewek miskin!” umpat Freya kesal. “Lo nggak pantes hidup mewah di sini, tahu!” “Kalian berdua harus belajar sopan santun karena mulai sekarang gue adalah nyonya di rumah ini.” Kaia tersenyum jumawa. “Udah dulu, ya? Suami gue udah manggil tuh,” katanya saat mendengar suara Ben memanggilnya. Ia menyentak tangannya agar lepas dari cengkraman Farel dan bergegas menghampiri Ben. Meninggalkan Farel dan Freya yang masih memasang tampang kesal luar biasa. Begitu tiba di ruang kerja Ben, seorang pria seusia Ben sudah menunggu. “Ini Wahyu.” Ben memperkenalkan dengan singkat. “Dia kuasa hukum pribadiku.” Kaia mengangguk-angguk, duduk di sebelah Ben. “Wah, jackpot banget dapet perempuan yang sesuai kriteria kamu, Ben.” Ben hanya tersenyum tipis, tak menanggapi candaan Wahyu. “Langsung ke intinya aja, Yu.” “Oke.” Wahyu mengeluarkan beberapa dokumen dan laptop. “Jadi, Kaia, sesuai yang kita sepakati, kamu meminta saham di perusahaanku atas namamu sebesar 3%, betul?” Kaia mengangguk mantap. Ia memang meminta hal itu sebagai bayaran karena telah bersedia sepakat dengan syarat dari Ben. Angka 3% memang terkesan kecil. Tapi untuk ukuran perusahaan skala menengah milik Ben yang bisa menghasilkan profit hingga belasan milyar pertahun, Kaia bisa mendapat uang ratusan juta setiap tahun sebagai pendapatan pasif. “Sesuai yang aku janjikan, saham kamu di perusahaanku akan aman meski aku meninggal atau perusahaan gulung tikar. Kamu akan tetap mendapat bagian kamu dari aset perusahaan. Kesepakatan kita juga akan dimasukkan ke surat wasiatku, jadi nggak ada yang bisa mengganggu gugat. Itu kan yang kamu inginkan?” Kaia meringis dalam hati, merasa dirinya seperti wanita mata duitan. Namun, ia buru-buru mengenyahkan pikiran itu, ia sudah bertekad akan memulai hidup barunya sekarang. “Iya. Saya mau sumber passive income saya aman sampai kapanpun,” katanya penuh percaya diri. Wahyu terkekeh, geleng-geleng kepala. “Dia memerasmu, Ben,” selorohnya sambil mengetik ucapan Ben ke dalam surat wasiat klien sekaligus sahabatnya itu. “Tapi aku akan pastikan dia betulan hamil anakku,” sahut Ben dingin, seolah kalimat itu didorong oleh sakit hati dan kebencian. *** “Aduh, kamu bisa hati-hati nggak sih!?” Freya berseru kesal saat Kaia tak sengaja membenturnya sambil membawa piring berisi makanan. “Kan jadi kotor nih bajuku? Sebel banget,” gerutunya sambil membersihkan bekas noda makanan yang menempel di bajunya. Kaia mengangkat sebelah alisnya. “Memangnya kamu nggak lihat kalau ada aku di sini? Ngapain jalan mepet-mepet? Dapur luas kayak gini.” Freya mengernyit, sedikit terkejut dengan tanggapan Kaia. Ia kira Kaia akan meminta maaf dan menghindari konflik, tapi ternyata wanita itu justru membalas ucapan Freya. “Yang nggak punya mata itu kamu! Sudah tahu aku lagi jalan, malah ditabrak!” Freya naik pitam, suaranya melengking. “Kamu nggak pernah diajari sopan santun atau gimana sih? Masa begitu caramu bicara sama mertuamu?” Kaia menatap Freya sinis, nyaris merendahkan. Freya ternganga tak percaya. “Mertua, kamu bilang!?” Kaia menyeringai lebar, berjalan melewati Freya. Ia berhenti tepat di samping Freya yang kini menggeram kesal. “Jangan lupa kalau aku sekarang istri dari papa mertuamu.” Kaia berbisik tepat di telinga Freya. “Jadi di rumah ini, ratunya adalah aku, bukan kamu. Tanamkan itu di kepalamu.” Tanpa menunggu reaksi Freya, Kaia sudah melenggang meninggalkan dapur. Tubuh Freya bergetar menahan emosi yang bergejolak. “Dasar cewek miskin!” jeritnya penuh amarah. Sementara itu Kaia terus menyunggingkan senyum lebar sambil menyiapkan makan malam. Setelah kemarin ia dan Ben menuntaskan perjanjian berlandaskan hukum soal harta gono-gini, Kaia tahu ia akan tetap mendapatkan uang banyak meski kelak Ben menceraikannya. Saham itu tak bisa diubah apapun yang terjadi, belum lagi uang bulanan yang diberikan Ben padanya bisa ia kelola sesuka hati. Jadi hari ini, hatinya sedang senang bukan kepalang. Ia telah memutuskan bahwa ia akan menikmati kehidupan mewah ini sambil menimbun harta dan aset sebanyak mungkin. “Ke mana yang lain?” Ben sudah berjalan masuk ke ruang makan, ekspresinya datar seperti biasa. Kaia tersenyum menyambut sang suami. “Belum ada yang datang. Mau saya panggilkan mereka buat turun?” “Nggak usah.” Ben sudah duduk di kursi paling ujung, menunjuk kursi di sebelah kanannya. “Kamu duduk aja. Kita bisa mulai makan tanpa mereka.” Kaia sedikit tertegun. Tapi ia bisa menyimpulkan satu hal dari sikap Ben, yaitu hubungan Ben dan Farel tidak sebaik yang ia duga. Kaia menurut, duduk di sebelah kanan Ben dan mulai mengisi piring Ben dan piringnya dengan makanan. Mereka benar-benar memulai makan tanpa Farel dan Freya. “Loh, kok nggak nunggu sih, Pa?” Suara manja itu, siapa lagi kalau bukan Freya? Kaia mendongak dan terkejut bukan main saat melihat Freya hanya mengenakan tanktop dan celana pendek. Padahal tadi ia tidak memakai baju seminim itu. Apakah ia sengaja? “Kalian sudah tahu jam makan malam itu jam tujuh, jadi datanglah ke ruang makan sebelum jam tujuh.” Ben membalas dengan nada datar, bahkan tak melirik Freya sama sekali. Freya duduk di sebelah kiri Ben sementara Farel duduk di sebelahnya. “Freya, pakai pakaian yang sopan,” ucap Kaia tegas. Mendengar itu, Ben mendongak. Tatapannya jatuh pada pakaian Freya yang memang terlalu minim meski untuk dipakai di rumah. Terlebih di depannya sebagai mertua. Tapi ia tak berkomentar, karena Freya sudah lebih dulu menyambar kalimat Kaia. “Bagian mana dari bajuku yang nggak sopan? Aku emang gini kok kalau di rumah. Kalau kamu nggak biasa, ya itu urusan kamu,” balas Freya sinis. Kaia meletakkan sendoknya, menatap Freya lurus-lurus. “Dengarkan ini, Freya. Mulai hari ini, kalau kamu memang mau pake baju kurang bahan begitu, pake di kamarmu. Jangan berkeliaran dengan baju seperti itu. Begitu kamu melangkahkan kakimu keluar dari kamarmu, pakai pakaian yang lebih tertutup, minimal sebatas lutut.” “Siapa kamu berani-beraninya mengatur istriku begitu?” Giliran Farel yang menyahut. Freya tersenyum jumawa mendengar pembelaan Farel. “Siapa, kamu tanya?” Kaia mengangkat kedua alisnya. “Aku istri papamu alias mama tirimu alias nyonya rumah alias ratu di rumah ini. Jadi aku berhak menentukan peraturan di rumah ini selama tidak bertentangan dengan pendapat suamiku. Jelas?” Ruang makan itu hening seketika. Ben tersenyum tipis, ia tak menyangka Kaia akan bisa bersikap tegas dan memanfaatkan posisinya sebagai istri Ben dengan sangat baik. Ia melirik anak dan menantunya yang mengatupkan rahang kuat-kuat, menatap Kaia nyalang. “Kalian dengar?” Ben menimpali, memutuskan untuk ikut dalam permainan Kaia. “Itu peraturan tambahan di rumah ini. Selanjutnya, kalau Kaia menentukan peraturan baru, kalian wajib menaatinya seperti kalian mematuhiku.” “Tapi Papa nggak bisa dong ngebiarin orang asing ngatur-ngatur rumah kita.” Farel langsung protes. “Dia memang orang asing sebelumnya, tapi sekarang dia istriku, Farel. Yang artinya dia mamamu. Meski usianya muda, posisinya tetaplah istriku.” Kaia tertawa puas dalam hati, senang karena Ben berada di pihaknya. Meski dua orang di depannya sedang menatapnya penuh kebencian, Kaia bergeming. Mulai hari ini, ia telah memutuskan untuk menjadi pemeran antagonis di kehidupan Farel dan Freya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN