Bab 4. Salah Sasaran

1151 Kata
“Sayang, kamu tuh curiga nggak sih kok bisa mantan kamu nikah sama papa kamu?” Freya tiduran menyamping sambil menatap Farel yang sedang bermain gim. Farel menoleh ke arah Freya sekilas, kemudian kembali ke layar komputer super besar di depannya. “Ya apa lagi? Pasti cuma demi duit papa,” sahutnya ketus. “Maksudku tuh, kok bisa papa kamu mau sama dia? Secara dia kan jelek, miskin, cungkring, nggak ada bagus-bagusnya. Kamu juga, kok bisa sih dulu naksir dia?” Freya bersungut-sungut. “Dulu aku buta kayaknya sih, Yang.” Farel terkekeh. “Naif sih lebih tepatnya. Kaia kan baik tuh, sama siapa aja baik, jadi naksir deh aku.” “Untung sekarang kamu ketemu aku. Aku jauh lebih cantik kan dari dia?” Freya mendekati Farel, memeluk sang suami dari belakang. Farel menghentikan permainannya sebentar lalu memutar kursi, menghadap Freya. “Kamu tuh lebih baik segalanya dari dia, Sayang. Dia nggak selevel sama kamu. Kamu cantik, seksi gini, gimana aku nggak cinta?” Bibir Freya melengkungkan senyum lebar, duduk di pangkuan Farel, kedua lengannya mengalung di leher sang suami. “Beneran?” tanyanya menggoda. “Iya dong. Dan yang paling penting, goyanganmu nikmat banget.” Farel menyeringai nakal, mencium bibir Freya sekilas. “Sampe kamu nggak bisa berhenti, minta tiap hari.” Freya bicara malu-malu, padahal ia senang sekali melihat Farel tergila-gila dengan tubuhnya. Farel tertawa senang, tangannya mulai meraba-raba tubuh Freya, meremas-remas bagian tertentu. “Ih, kamu mau lagi?” tebak Freya dengan senyum menggoda. “Gimana enggak? Salah kamu sendiri di rumah pake baju minim bahan begini.” Farel mengedarkan tatapan laparnya ke tubuh Freya yang hanya dibalut tank top dan celana super pendek. “Bikin aku pengen.” “Tapi aku lagi hamil anak kamu loh.” Freya pura-pura manyun. Melihat bibir manyun itu, Farel langsung menyambarnya, melumatnya ganas. “Ah, aku nggak tahan, Sayang.” “Ih, kasihan dedek di dalem perut,” ucap Freya manja. “Selama ini kan aman? Ayolah, Sayang, aku udah pengen banget ini.” Farel menggesekkan kejantanannya yang sudah mengeras ke paha Freya, membuat Freya menggigit bibir, mulai terangsang. “Ah, kamu nih bikin aku lemah.” Farel terkekeh senang. “Ayo ke kasur.” Ia menepuk b****g Freya pelan, mengisyaratkannya untuk turun dari pangkuannya dan berpindah ke kasur. Farel merebahkan dirinya di kasur, melepas kaos oblongnya, menyisakan celana pendek. “Sini.” Ia menepuk pahanya, meminta Freya untuk menaiki tubuhnya. Tanpa perlu diperintah dua kali Freya segera melepas seluruh pakaiannya dan merangkak naik ke tubuh Farel. Kedua tangannya mencengkram celana sang suami dan menariknya lepas. Milik Farel sudah berdiri tegak di sana. “Kamu udah siap?” goda Freya sambil merangkak ke atas tubuh Farel. “Iya dong. Makanya jangan terlalu seksi kalau di rumah, aku nggak tahan terus.” Farel mengulurkan kedua tangannya, meremas d**a sintal Freya yang membengkak karena kehamilannya. Tak perlu foreplay terlalu lama, keduanya langsung memasuki tahap inti permainan. Seperti kata Farel, goyangan Freya memang mampu membuat Farel merem-melek keenakan. Bahkan kurang dari lima menit, Farel sudah mencapai pelepasan. Freya tersenyum puas karena berhasil membuat Farel benar-benar terobsesi dengan tubuhnya. Ia turun dari atas tubuh Farel, tidur di sebelahnya. Lengan Farel segera merengkuh tubuh polos Freya. “Kamu enak banget, Yang,” lirih Farel serak sambil menciumi bahu polos Freya. Rasa bangga dan puas menyusupi d**a Freya. Namun tiba-tiba, ia kembali teringat obrolan mereka tadi. “Yang, mungkin nggak sih cewek kumuh itu godain papa kamu biar mau sama dia?” “Cewek kumuh?” Farel mengangkat kepalanya, menatap Freya bingung. “Ck, si Kaia itu loh.” “Oh.” Farel tergelak, merasa lucu dengan sebutan ‘cewek kumuh’ yang disematkan Freya untuk Kaia. “Yang, jangan ketawa. Coba jawab, kira-kira dia godain papa kamu biar mau sama dia nggak sih?” “Godain gimana maksud kamu?” “Ya godain pake badannya.” Farel tertawa lagi. “Nggak mungkin, Sayang. Kaia nggak kayak gitu.” Freya merengut tak suka. “Kok kamu jadi belain dia sih?” balasnya ketus. “Aku nggak belain dia. Aku cuma bicara fakta.” Farel menyahut santai. “Kamu belain dia, Sayang. Aku nggak suka.” Freya menyahut ketus. “Aduh, jangan manyun dong.” “Pokoknya aku nggak suka kamu bicara hal-hal baik soal dia. Dia tuh cuma cewek miskin, jelek, cungkring, badannya rata, pokoknya nggak ada baik-baiknya!” Farel terkekeh mendengar semua sebutan buruk dari Freya untuk Kaia. “Iya, iya, pokoknya kamu deh yang terbaik. Jangan manyun dong.” Bukannya berhenti manyun, Freya malah semakin memajukan bibirnya. Membuat Farel gemas dan mencubit bibir manyun Freya pelan. “Kamu mau apa biar nggak manyun lagi?” tanya Farel lembut. Mendengar pertanyaan itu, mata Freya langsung berbinar. “Aku boleh minta apa aja?” “Boleh dong. Kan kamu yang pegang kartu kredit aku. Pake aja, Sayang. Itu unlimited kok.” Freya menangkup wajah Farel dan mencium bibirnya lembut. “Makasih, Sayang.” “Nggak usah bilang makasih. Apa sih yang nggak aku lakuin buat kamu? Kamu kan istriku, ibu dari anakku,” ucap Farel manis. Wajah Freya tampak semakin berbinar mendengar gombalan maut Farel. Namun tiba-tiba, sebuah pikiran melintasi benak Freya. “Eh, Yang, kamu tuh punya saham nggak sih di perusahaan papa kamu?” Farel mengernyit bingung karena Freya tiba-tiba mengganti topik. “Kenapa tanya itu?” “Nggak ada sih, pengen tahu aja.” “Aku nggak punya. Papa yang punya.” “Apa?” Ekspresi manis Freya kini berubah jadi rengutan. “Kamu sama sekali nggak punya?” “Enggak. Kenapa sih emang?” Farel jadi ikut mengerutkan alis. “Berarti kamu tuh digaji papa kamu doang, ya? Nggak ada pemasukan pasif dari mana gitu?” Kerutan di antara kedua alis Farel tampak semakin kentara saat ia menangkap nada kecewa dan mengejek dalam suara Freya. “Ya emang gitu adanya. Aku kerja di perusahaan yang dipimpin papaku ya aku digaji sama papaku. Emang kenapa sih?” Tanpa sadar, Farel menyahut dengan nada ketus. “Kalau aset, kamu punya nggak?” “Aset apa sih maksud kamu?” Farel semakin tak suka dengan arah pembicaraan ini. “Ya kayak tanah, rumah, apartemen mungkin, mobil, ada nggak yang atas nama kamu?” “Ada tuh, mobilku.” Suara Farel terdengar semakin ketus. Freya kini terdengar seperti sedang meledeknya. “Cuma mobil? Masa papa kamu nggak beliin kamu tanah atau rumah?” “Nggak ada, buat apa? Rumah udah ada ini, tanah juga ya yang di bawah rumah ini. Buat apa beli lagi?” Jejak-jejak kepuasan setelah bercinta telah hilang dari ekspresi Farel, sahutannya ketus dan tajam. “Jadi harta kamu tuh cuma mobil itu?” Freya terdengar kecewa. “Maksud kamu dari tadi bicarain itu tuh apa sih, Fre? Bikin bad mood banget!” Farel bangkit dari kasur, berjalan ke kamar mandi sambil menggerutu. Freya berdecak kesal saat melihat Farel membanting pintu kamar mandi. “Ck, tahu gini harusnya gue nikahin bapaknya bukan anaknya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN