Untuk beberapa saat, Kaia hanya bisa mematung. Terlalu terkejut. Namun detik berikutnya, Kaia cepat-cepat merekam percakapan telepon itu. “Kai, maafkan Bapak.” Suhendar memelas di ujung telepon. “Bapak terlalu marah dan mabuk waktu itu. Bapak kabur bukan karena takut sama polisi, tapi Bapak takut kelepasan dan melakukan hal yang sama seperti itu lagi.” Tubuh Kaia bergetar pelan, menahan emosi yang datang seperti badai. Tatapannya kabur karena air mata yang menggenangi pelupuk matanya. “Kaia hampir mati dan Bapak cuma minta maaf?” desisnya tajam. “Kai, Bapak nggak bermaksud begitu. Bapak tahu Bapak salah.” “Kalau tahu salah, harusnya Bapak nggak kabur dan menyerahkan diri ke polisi!” Kaia berseru marah. Hening sesaat. Namun kemudian Suhendar kembali berbicara dengan suara pelan dan pa