Bab 12. Akting Freya

1169 Kata
“Tiga puluh juta?” Ben mengangkat sebelah alisnya saat mendengar percakapan Angga dan Kaia. Ia menepati ucapannya, menunggu di mobil sambil mendengarkan obrolan mereka lewat telepon. Apakah ini bisa disebut melanggar privasi? Sepertinya iya, karena Ben tahu Kaia akan marah jika ia ketahuan. Tapi ia tak bisa menunggu hingga Angga selesai bertemu Kaia dan menceritakan apa yang mereka bicarakan saat bertemu. “Kira-kira gimana jelasin ke pak Ben kalau aku butuh uang sebanyak itu?” Kaia terdengar ragu dan gelisah. “Jelasin aja kebutuhan kamu buat apa. Memangnya buat apa?” Itu suara Angga bertanya. Hening sejenak, hanya terdengar suara alat makan beradu. Sepertinya Kaia sedang berpikir. “Intinya, bapakku tuh bikin masalah dan sekarang butuh uang segitu buat beresin masalahnya. Kalau aku harus ganti ke pak Ben, aku janji bakal ganti. Tapi nyicil gitu.” Suara Kaia terdengar mencicit. Dan itu membuat hati Ben sedikit merasa iba. Padahal ia yakin Kaia terlihat seperti wanita mata duitan saat meminta saham atas nama dirinya dulu. Tapi sekarang untuk meminta uang tiga puluh juta saja Kaia tampak ragu dan bahkan bersedia mencicil. Apa ini sifat Kaia yang asli? Tak mau terlihat bergantung pada orang lain? “Bapaknya ini bikin masalah melulu kayaknya,” gumam Ben sambil terus mendengarkan obrolan Kaia dan Angga. “Mau aku bantu kasih pengantar ke pak Ben?” tanya Angga. “Boleh, boleh.” Suara Kaia terdengar antusias. Tak lama kemudian, Angga terdengar berbicara pada Ben. “Pak, Bapak denger semua kan? Ini saya harus jawab apa sama Kaia?” tanya Angga, setengah berbisik. Sepertinya ia menjauh dari meja mereka. “Bilang saja aku akan memberinya uang sesuai yang dia minta dengan syarat dia harus pulang ke rumah malam ini.” Ben menjawab cepat, tanpa menimbang sama sekali. “Siap, Pak.” Obrolan mereka berakhir, tapi panggilan telepon itu tetap tersambung. “Pak Ben bilang mau ngasih cuma-cuma, tapi kamu harus pulang ke rumah malam ini.” Angga menyampaikan ucapan Ben. “Oh?” Kaia terdiam sejenak. “Emang rencana mau pulang kok. Semalem karena kemaleman makanya nggak pulang.” “Oh, gitu? Bagus dong kalau gitu. Lagian ngapain pak Ben bikin syarat begitu, ya?” Angga terkekeh, seolah menertawakan Ben. Ben bersungut-sungut di mobil seorang diri. Merasa disindir oleh Angga. “Tapi aku nggak langsung pulang setelah ini,” kata Kaia tiba-tiba. Ben memfokuskan pendengarannya lagi. “Mau ke mana dia?” “Aku mau ke rumah sakit, jenguk Freya. Mau minta maaf karena bagaimanapun bapakku juga salah karena nggak hati-hati.” Ben tercenung di kursi penumpang mobil yang pintunya dibiarkan sedikit terbuka itu. Ia tak tahu harus menilai Kaia bagaimana saat mendengar ucapannya barusan. Apakah ia tulus, naif, atau sekedar… berhati baik? *** Namun ternyata Freya sudah pulang ke rumah sejak sore tadi. Ia menggunakan kursi roda dan digendong oleh Farel saat naik-turun tangga. Tidak ada teknologi khusus atau lift di rumah ini, karena Ben belum merasa memerlukannya. Freya masih diharuskan bedrest selama dua minggu penuh. Ia hanya boleh bergerak seperlunya saja. Kaia langsung menuju kamar Farel dan Freya sepulang dari bertemu Angga. “Siapa?” seru Farel dari dalam kamar saat mendengar suara ketukan di pintu. “Gue, Kaia.” Tak lama kemudian, pintu terbuka. Menampilkan wajah Farel yang tampak tak bersahabat. “Mau apa lo ke sini?” “Gue mau jenguk Freya, sekalian minta maaf sama apa yang udah dilakuin bapak. Gimanapun gue mengakui bapak tuh salah banget nyetir motor sambil setengah mabok begitu.” Kaia tak menutup-nutupi pengakuannya. Farel mengangkat sebelah alisnya. Ini salah satu hal yang dulu membuatnya jatuh cinta pada Kaia. Kaia tidak pernah takut mengakui kesalahannya, satu hal yang tidak bisa Farel lakukan karena harga dirinya setinggi langit. Untuk sesaat, ia sempat merasakan dadanya menghangat saat melihat ekspresi tulus di wajah cantik Kaia. Farel melebarkan pintu, berdehem pelan. “Masuk.” “Ada siapa, Sayang?” tanya Freya yang sedang duduk di atas kasur. Wajahnya langsung mengeras saat melihat Kaia melangkah masuk. “Mau apa lo ke sini?” tanyanya ketus. Kaia menarik nafas dalam. Ia memang sangat membenci dua orang itu karena pernah menghancurkan hatinya. Tapi ia tak pernah membenci janin yang dikandung Freya. “Gue mau mewakili bapak minta maaf karena udah nabrak lo. Bapak gue salah karena nyetir dalam keadaan mabuk, sama sekali nggak ada niat buat sengaja nabrak lo.” Kaia berkata mantap, menatap Freya yang balas menatapnya sengit. “Anak sama bapak sama aja.” Freya menyahut pedas. “Begitu kalau orang miskin dikasih fasilitas, jadi membahayakan orang lain.” Kaia ke sini bukan untuk dicaci-maki. Ia berbaik hati meminta maaf agar tidak disalahpahami bahwa ia dan ayahnya bersekongkol untuk menjahati Freya. Tapi saat mendapati tanggapan Freya begini, rasanya kesal juga. “Lo harus belajar nahan mulut lo, sih,” sahut Kaia setelah menarik nafas sekali. “Apa yang lo ucapkan itu bakal kedengeran sama bayi lo. Jadi kalau lo ngomong yang jelek-jelek, jangan heran kalau anak lo juga omongannya bakal jelek.” Freya tersentak, lalu meradang. “Lo berani ngomong begitu sama gue?!” “Fre, sudah.” Farel menegur lembut, duduk di sebelah sang istri sambil mengusap punggungnya. “Apa yang dibilang Kaia ada benarnya loh. Sebagai ibu, kamu memang harus jaga omongan. Meski masih di dalam perut, dia tuh denger kamu ngomong apa aja.” “Kamu kok jadi belain dia sih? Aku yang istri kamu, Sayang. Kenapa kamu belain dia?” Freya berseru tak terima. Farel mengumpat dalam hati, merasa salah bicara. Kemudian ia beralih menatap Kaia. “Lo mending keluar aja deh, Kai.” Kaia mengangguk, itu pilihan terbaik. Namun baru saja ia berbalik, Ben sudah berdiri di ambang pintu kamar Farel. Lantas tiba-tiba, Freya menangis kencang. “Kenapa kamu jahat banget sama aku? Padahal aku nggak pernah punya salah sama kamu? Tega-teganya kamu ke sini cuma buat ngata-ngatain aku?” Freya tergugu sambil berkata dengan nada pilu. Kaia berbalik, menatap Freya tak percaya. “Apa?” Ia mengernyit bingung. Ben mendekat, berdiri di samping Kaia dengan kedua tangan berada di dalam saku celana. “Kenapa kamu menangis?” tanyanya datar pada Freya. “Aku… aku padahal begini gara-gara bapaknya menabrakku, tapi kenapa aku yang disalahin, Pa? Dia bilang… karena aku nggak hati-hati jadi ketabrak. Dia bahkan juga bilang… anak haram seperti anakku ini pantas mati.” Freya memeluk Farel, menangis menjadi-jadi. Farel ikut ternganga, tak percaya dengan akting Freya yang menyudutkan Kaia begini. Namun saat ia hendak membuka mulut untuk meluruskan kalimat Freya, tangan Freya justru mencubit pinggangnya keras. Membuat Farel tak jadi bicara dan malah memekik nyaring. “Bohong!” seru Kaia tak terima. “Saya nggak pernah bilang begitu, Pak. Farel saksinya.” Ia menghadap Ben, membela diri. Ben mendesah pendek. “Baru sampe rumah sudah disuguhi masalah seperti ini?” gumamnya, terdengar kesal. Kaia mengetatkan rahangnya, mengira bahwa Ben percaya dengan ucapan Freya. “Wah, lo kalau jadi artis gue yakin lo bakal dapet piala citra,” cetusnya sarkas pada Freya yang masih menangis pilu. Kemudian ia berbalik dengan cepat dan meninggalkan kamar Farel. Ben terkesiap, buru-buru mengejar Kaia. “Kaia, tunggu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN