Bab 13. Perhatian Kecil Ben

1166 Kata
“Tunggu, Kaia. Kenapa kamu langsung pergi?” Ben berhasil menyusul Kaia, menyambar lengannya. “Harusnya kamu membela diri kamu kan?” Kaia mengernyit. “Maksudnya?” “Kamu tahu kalau dia memfitnah kamu, kenapa kamu pergi begitu saja?” Kaia mengerjap-ngerjap. “Loh, bukannya Bapak percaya sama dia?” Sebelah alis Ben terangkat, kemudian ia tersenyum tipis. “Siapa bilang?” Kaia masih terlihat bingung. “Tadi itu… Bapak bilang ‘kok baru pulang udah ada masalah begini?’ gitu. Itu kan artinya Bapak percaya sama dia?” Ben mendekat, tangannya terangkat, menyentil jidat Kaia pelan. “Kamu terlalu cepat berasumsi.” “Aduh!” Kaia mengusap keningnya dengan tangannya yang bebas. “Jadi Bapak nggak percaya sama dia?” “Sama sekali enggak.” Ben menggeleng tegas. “Meski kita baru tinggal bersama sebulan, tapi aku bisa tahu kalau kamu bukan orang yang seperti itu. Kamu ke sana untuk minta maaf, kan?” “Kok tahu?” Ben mengedikkan bahu, pura-pura tak tahu padahal ia tahu karena menguping obrolan Kaia dan Angga tadi. “Sekedar menebak. Berarti benar?” Ia menatap Kaia lurus-lurus, tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Kaia. “Iya.” Kaia menghela nafas pelan. “Saya nggak mau dikira bersekongkol sama bapak buat mencelakai Freya.” “Itu pikiran berlebihan. Dia harusnya nggak akan berpikir sampai ke sana.” Kaia terdiam sejenak, baru menyadari kalau Ben belum tahu masa lalu dirinya, Farel, dan Freya. “Iya sih,” gumamnya sambil tertunduk. “Kamu sudah makan malam?” tanya Ben, pura-pura tidak tahu hanya untuk menguji apakah Kaia akan jujur padanya. “Sudah. Tadi saya ketemu sama Angga, makan di luar.” Ia kira Kaia akan menyembunyikan fakta bahwa ia makan di luar dengan Angga tadi, tapi ternyata tidak. Fakta ini membuat senyum Ben merekah. “Kalau gitu sekarang mau istirahat?” Kaia hanya mengangguk. “Ayo.” Ben menarik tangan Kaia lembut menuju kamar mereka. Setibanya di kamar, Ben dan Kaia mandi bergantian. Sebenarnya Ben gatal ingin ikut masuk ke kamar mandi saat Kaia mandi. Tapi ia menahan diri untuk sekarang, setidaknya sampai perasaan Kaia terlihat membaik. “Pak, makasih uangnya,” ucap Kaia sambil menggosok rambutnya dengan handuk, ia baru keluar dari kamar mandi. “Saya beneran nggak usah ganti nih?” Ia duduk di sisi ranjang yang berseberangan dengan Ben. “Angga bilang apa sama kamu?” tanyanya, masih terdengar datar. “Kata Angga syaratnya cuma saya balik ke rumah ini. Nah, sekarang saya sudah kembali kan?” “Betul.” Ben mengangguk, menutup buku di tangannya dan mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada Kaia. “Rambut kamu masih basah, mau aku bantu keringkan?” “Eh? Emang Bapak ada hair dryer?” “Ada. Sebentar.” Ben turun dari kasur dan membuka laci meja rias. “Pak, itu sisir bukan hair dryer.” Kaia protes saat Ben mengeluarkan sesuatu berbentuk seperti round brush dari dalam laci. “Tapi kata Angga ini juga bisa buat pengering rambut.” Ben menghubungkan alat itu ke colokan listrik. Ia duduk di tepi ranjang sambil menarik kursi. “Duduk sini,” katanya sembari menepuk kursi di depannya. Kaia menurut, beranjak duduk di kursi yang sudah disediakan Ben sambil mengambil kardus alat itu. “Oh, namanya sisir angin.” Kaia membaca keterangan di kardus. Matanya membulat takjub saat membaca keterangan di kardus produk. “Wah, ada keratinnya segala. Berapa harganya nih, Pak? Pasti mahal deh.” Ben mengedikkan bahu. “Nggak tahu. Angga yang beli,” katanya acuh tak acuh. “Bapak beliin ini buat saya? Soalnya kalau modelnya begini kan nggak bisa dipake cowok?” Kaia menunjuk ujung round brush. Ben mengangguk, mulai menyalakan alat itu dan menyentuh rambut Kaia lembut. “Buat siapa lagi? Masa buat istrinya Farel?” Kaia tertawa kecil. “Kenapa Bapak beliin buat saya?” “Beberapa kali kamu keluar rumah dengan rambut setengah basah, kan? Jadi aku belikan saja, siapa tahu kamu butuh. Ternyata memang butuh.” Kaia mengangguk. Hatinya tak bisa berbohong, ia suka dengan perhatian kecil seperti ini. Saat Ben tahu kebutuhannya tanpa harus bertanya padanya. Itu membuat hati Kaia menghangat. Dan di sisi lain juga membuat Kaia takut. Namun momen manis itu harus berakhir saat Kaia merasa rambutnya tertarik. “Aduh, sakit!” Kaia memekik sambil memegangi rambutnya. “Ini gimana, Kai? Kok gini?!” Ben terdengar panik. Ujung round brush itu menggulung rambut Kaia. “Matikan, Pak, matikan!” Kaia berseru cepat, kulit kepalanya terasa makin sakit. Ben segera mematikan alat itu, membuat ujung round brush-nya berhenti berputar dan rambut Kaia tidak lagi tertarik. Kaia menghela nafas lega. “Sini, Pak, biar saya sendiri.” Ben terlihat enggan awalnya, tapi ia mengalah dan memberikan alat itu pada Kaia. Kaia berpindah tempat duduk ke depan meja rias dan mulai mengeringkan sekaligus menyisir rambutnya sendiri, tanpa bantuan Ben. Ia melirik Ben yang terlihat melipat wajah. Membuat tawa pelan lolos dari bibir Kaia. “Kalau nggak tahu tuh nonton tutorial dulu gitu loh, Pak,” katanya bercanda. “Iya, ya?” Ben justru menanggapi serius. “Kepala kamu sakit?” Melihat ekspresi Ben sekarang, sifat jahil Kaia jadi muncul. “Sakit nih,” katanya pura-pura. “Rasanya kulit kepala saya kayak mau lepas.” Ben mengernyit. Ia langsung turun dari kasur dan berdiri di belakang Kaia. “Coba aku lihat.” Kaia mematikan alat di tangannya, membiarkan Ben memeriksa kulit kepalanya. Jemari Ben tampak berhati-hati menyibak rambut Kaia, seolah ia takut kulit kepala Kaia akan benar-benar lepas. Lalu saat ia sama sekali tak menemukan ada luka di sana, Ben memicingkan mata. Menatap Kaia curiga lewat cermin. “Kamu mengerjaiku?” tuding Ben. Pipi Kaia menggembung, tak kuasa menahan tawa. “Ekspresi Bapak lucu sih. Biasanya ekspresi Bapak kan datar gitu, tadi tuh lucu makanya saya nggak tahan buat nggak jahil.” Ia tertawa pelan. Melihat Kaia akhirnya bisa berekspresi lepas di hadapannya, mau tak mau Ben merasa lega. Ia tersenyum tipis, lalu kembali menatap tajam Kaia. “Kamu pikir aku nggak bakal balas dendam?” katanya main-main. “Oh, sekarang Bapak dendam sama saya?” balas Kaia, masih terkekeh kecil. “Coba, mau bales gimana?” Ia menatang. Lantas, dalam satu gerakan cepat, Ben menggendong tubuh Kaia ke atas kasur dan mulai menggelitiki tubuh kurus itu. Kaia tertawa geli, menggeliat heboh di bawah tubuh Ben. Ben tahu Kaia mudah merasa geli sejak malam pertama mereka. Setiap kali Ben mencium perut dan pahanya, Kaia selalu melepaskan desahan yang bercampur tawa geli. “Pak, udah, Pak!” Tawa Kaia terdengar semakin keras, ia menendang-nendang, berusaha melepaskan diri dari perangkap Ben. Tapi tubuh Ben yang jauh lebih besar dari Kaia jelas sulit untuk disingkirkan. “Nggak akan aku lepas. Kamu sudah membuatku khawatir tadi, jadi sekarang terima balasanku,” kata Ben bercanda. Kini ia menyingkap kaos Kaia, mulai menciumi perut Kaia yang polos. Maka tawa Kaia segera bercampur dengan desahan lembut. Tubuhnya menggeliat, tangannya terangkat meremas rambut Ben saat ciuman Ben bukan lagi berupa sebuah usaha untuk membuat Kaia merasa geli, tapi juga untuk merangsangnya. Dengan cepat, candaan itu berubah menjadi foreplay.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN