“Memarnya sudah memudar, ya?” tanya Ben setelah melucuti seluruh pakaian Kaia. Bibirnya kembali bertemu kulit Kaia, menelusuri tubuh polos itu dengan gerakan lembut dan hati-hati.
“Iya, mhm….” Kaia menggigit bibir, melenguh pelan.
Saat malam pertama mereka dulu, ia takut setengah mati karena mengira Ben akan memperlakukannya dengan kasar. Tapi pada akhirnya ia bisa menikmati momen itu karena sentuhan dan ciuman Ben yang justru terasa lembut dan hati-hati.
Tangan Ben mengusap paha Kaia lembut, gerakannya terhenti saat ia melihat memar lebar yang sudah hampir menghilang di sana.
“Kamu mau cerita dapat memar-memar ini dari mana?” tanya Ben hati-hati, tangannya kembali mengusap paha mulus Kaia, dari bawah ke atas dengan gerakan lembut sambil menatap sang istri yang terbaring pasrah di bawahnya.
Kaia menatap Ben, menyelami danau gelap di mata sang suami.
“Saya tuh ceroboh, jadi gampang jatuh, kepentok, gitu-gitu deh,” jawab Kaia setelah terdiam beberapa saat.
Gerakan tangan Ben terhenti. Ia tahu Kaia menyembunyikan sesuatu, tapi ia tak ingin memaksa. Ia tak ingin mendobrak tembok tinggi itu, ia ingin Kaia yang membiarkan tembok itu runtuh.
Maka Ben menunduk, menciumi memar-memar di tubuh Kaia. Membuat Kaia mendesah nikmat dan menggeliat pelan.
Bibir Ben terus turun hingga ke paha Kaia, mencium memar besar yang ada di sana.
“Kenapa? Bapak jijik lihat badan saya banyak memarnya?” tanya Kaia, mulai merasa tidak percaya diri.
Kini Ben berlutut di antara kedua kaki Kaia, membawa kaki jenjang itu dekat dengan wajahnya. Bibirnya menelusuri sepanjang kaki Kaia hingga ke jari kakinya. Tangannya memijat betis sang istri pelan.
Perlakuan Ben hanya membuat Kaia mendesah semakin kencang, kedua tangannya meremas sprei karena sensasi dari sentuhan Ben yang tak terelakkan.
“Apa aku terlihat jijik?” tanya Ben retoris.
Kaia menatap Ben dengan nafas memburu, kemudian menggeleng.
Tangan Ben mengusap lembut di sepanjang kaki Kaia yang satunya, meraba dari bawah ke atas hingga ke pinggul dan meremasnya lembut. Matanya menelusuri setiap inci kulit Kaia.
“Apapun yang terjadi, semua bekas luka dan memar ini adalah pertanda kalau kamu sudah melewati banyak hal dan masih bertahan sampai sekarang,” ucapnya pelan.
Hati Kaia menghangat mendengar ucapan itu. Ia tak tahu Ben tulus atau tidak, tapi ia suka kalimat itu. Ia merasa dihargai dan diakui.
Kaia menelan ludah, menarik nafas dalam untuk menahan haru yang menyeruak.
“Aku tidak masalah kalau bekas luka ini tidak pernah bisa menghilang. Tapi kalau kamu merasa lebih percaya diri dengan kulit mulus tanpa bekas luka, katakan padaku. Kita bisa mencari dokter kecantikan terbaik yang mampu mengatasi masalahmu,” tutur Ben lembut sambil mengungkung tubuh Kaia di bawahnya.
Kaia hanya mengangguk, ia tahu Ben akan mulai masuk ke inti permainan. Maka ia melingkarkan tangannya di tubuh kekar pria itu.
Tatapan Ben menggelap saat merasa Kaia telah siap menerima dirinya.
“Bilang kalau sakit,” bisik Ben sambil perlahan bergerak maju, mengisi tubuh Kaia dengan miliknya.
“Ah… Pak….” Kaia mencengkram bahu Ben erat.
“Sakit?” tanya Ben saat sudah separuh jalan.
“Sedikit.”
“Tahan sedikit, ya? Aku harus masuk lebih dalam,” lirih Ben dengan suara berat dan serak.
Kaia mengangguk, membiarkan Ben melakukan tugasnya.
Ia hanya bisa melengkungkan tubuhnya, melenguh panjang saat milik Ben sempurna memenuhi dirinya.
Ben menciumi pundak dan leher Kaia lembut, membiarkan istrinya itu beradaptasi sejenak, sebelum akhirnya ia mulai bergerak perlahan.
Rasa sakit di antara kedua paha Kaia mulai berubah menjadi nikmat. Ia melingkarkan kedua kakinya di pinggang Ben saat Ben bergerak semakin cepat.
“Ugh… jangan dijepit begitu,” lirih Ben sambil menggertakkan giginya. “Aku jadi… ah… nggak tahan.”
Kaia hanya bisa mengubur wajahnya di ceruk leher Ben, menggigit lembut kulit Ben di sana saat ia semakin tak tahan dengan sensasi yang diberikan oleh permainan mereka.
“Kai, bilang kalau deket.” Ben berbisik tertahan. Ia tak pernah ingin mencapai pelepasan sendiri.
“Pak, mhm… saya….”
Ben tahu Kaia telah mendekati puncak permainan. Maka ia mempercepat gerakan, karena dirinya juga mulai merasa tak sanggup menahan.
Setelah beberapa kali dorongan kuat dan dalam, lenguhan panjang memenuhi kamar itu. Tubuh keduanya menegang, mencapai pelepasan nyaris bersamaan. Kaia menjerit kecil beberapa kali, sampai akhirnya terkulai lemas.
Ben terkekeh dengan d**a bergemuruh usai permainan mereka.
“Kita harus pasang soundproof kayaknya, kamu suka banget teriak-teriak kayak gitu,” goda Ben sambil mencium kening Kaia lembut.
“Emang bakal kedengeran sampe luar?” tanya Kaia polos.
“Siapa tahu? Jaga-jaga aja, aku bakal pasang soundproof.”
Kaia mengangguk. “Terserah Bapak aja.”
Setelah beristirahat selama beberapa menit, Ben akhirnya duduk di atas kasur. “Ayo, kita harus mandi lagi.”
“Tapi saya capek banget,” lirih Kaia sedikit manja.
Ben mengangkat sebelah alisnya. Entah Kaia menyadarinya atau tidak, tapi ia selalu bersikap agak manja setelah mereka bercinta.
Dan Ben menyukai itu.
“Jadi minta gendong?” balas Ben dengan senyum tipis.
“Nggak usah. Biar saya ngesot aja.” Kaia menyahut ketus.
Ben geleng-geleng kepala, senyumnya semakin melebar.
Ia turun dari kasur, lantas menunduk dan membawa Kaia dalam gendongannya. “Kamu harus belajar buat nggak gengsian.”
***
“Lo pucet banget, Kai? Sakit?” Aria mengerutkan kening melihat Kaia beberapa kali berhenti bekerja dan hanya terdiam sambil menyandarkan dahinya ke tangan.
“Nggak tahu, kayak berkunang-kunang gitu. Tapi gue yakin gue baik-baik aja tadi sebelum berangkat.” Kaia berusaha duduk tegak dan kembali bekerja, wajahnya sudah pucat pasi dengan keringat dingin sebesar biji jagung.
“Udah sarapan belum?” Aria bertanya lagi. Ia duduk di sebelah Kaia, melakukan pekerjaannya sendiri.
“Udah sih makan roti sama minum s**u beli di minimarket. Perut gue nggak enak dari tadi pagi. Kayak nggak bisa makan nasi.”
Aria menghentikan gerakannya. “Lo tinggal aja, makan dulu sana. Beli apa gitu di kantin. Ngeri gue kalau lo pingsan di sini.”
“Nggak apa-apa nih? Gue baru preparasi sih, bisa ditinggal juga.”
Kaia dan Aria adalah bagian dari tim quality control, mereka bekerja di laboratorium mikrobiologi IndoShrimp Exports, nama perusahaan yang dipimpin oleh Ben. Sebuah perusahaan yang memproduksi produk seafood beku dengan fokus utamanya adalah untuk kebutuhan ekspor.
“Iya, udah nggak apa-apa biar gue yang kerjain. Lo makan nasi dulu.” Aria meyakinkan.
Kaia segera bangkit dari duduk, namun tubuhnya langsung oleng begitu ia berdiri tegak, membuatnya harus berpegangan ke meja agar tidak ambruk.
“Kai, lo mending pulang aja deh. Lo jelas nggak baik-baik aja ini,” usul Aria khawatir. Ia sudah berdiri, siap menangkap Kaia yang hampir jatuh tadi.
Kaia tak menjawab, dadanya terlihat naik turun dengan cepat. “Ar, kok mata gue berkunang-kunang banget, ya?”
Tepat setelah mengatakan itu, tubuh Kaia akhirnya ambruk dan pingsan. Beruntung, Aria berhasil menangkapnya sebelum tubuh Kaia membentur lantai.