Surya tak menyangka, jika dia akan bertemu lagi dengan Anjani. Gadis cantik yang kemarin membantunya mencari kontrakan untuk tempat tinggalnya.
"Kamu kerja di sini?" tanya Surya sambil meneguk segelas teh tawar hangat.
"Iya, A."
"Sejak kapan?"
"Sejak tadi pagi."
Lalu keduanya terkekeh, Surya memakan nasinya dengan sangat lahap. Wajar saja, dia baru ketemu nasi sejak kemarin sore. Surya harus lebih pandai mengaturnya keuangan, agar dirinya tidak kelaparan seperti kemarin lagi.
"Ini kamu yang masak?" tanya Surya sambil mengelap mulutnya dengan tisu.
"Nggak, Teh Ira yang masak, A."
Anjani membereskan piring bekas makan Surya, lalu mengelap mejanya. Sedangkan Surya sedang asik menghisap sebatang rokok, dengan kepulan asap di udara. Bagi yang sudah kecanduan sama barang yang satu ini, hampa rasanya jika sudah makan tak menghisapnya. Katanya sih kayak abis berakk tapi ga cebok.
Surya menatap orang yang berlalu lalang, sambil sesekali menghisap nikotin yang ada di sela-sela jarinya. Matanya kembali mencari keberadaan Anjani, gadis cantik yang mampu membuatnya betah menatapnya berlama-lama.
"Neng, ini aa mau bayar," ucap Surya sambil mengeluarkan dompet dari dalam saku celana.
"Oh, sebentar, A," sahut Jani sambil mengelap tangannya, karena kebetulan dia sedang mencuci piring.
"Tadi aa makan sama semur telur, bacem tempe, sama oseng buncis. Sekarang ditambah permen ini, enam. Jadi berapa?" Surya mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dalam dompetnya lalu menyerahkannya pada Anjani.
Mengambil uang yang disodorkan oleh Surya, masuk ke dalam lalu memberikan uang kembalian pada Surya, yang masih sibuk menghisap sebatang rokoknya.
"Punten, ini, A." Anjani menyodorkan uang kembalian.
Saat Surya hendak mengambil uang kembalian, tak sengaja tangannya menyentuh kulit Anjani. Seketika tubuh Anjani menegang, jantungnya kembali berpacu dengan cepat. Suhu tubuhnya mendadak memanas, sendi-sendi dalam tubuhnya seolah-olah melemah. Padahal, Anjani itu gadis yang kuat. Mampu berlari berkilo-kilo meter, tapi cuma gara-gara sentuhan kulit kayak begini tubuhnya mendadak lemas.
Bukan Anjani saja yang seperti itu, Surya juga merasakan hal yang sama. Seolah-olah tersengat arus listrik jutaan volt. Tubuhnya melemah, hanya gara-gara tak sengaja bersentuhan kulit dengan Anjani.
Dasar lemah!
Anjani dan Surya merutuki diri mereka sendiri, yang dianggap terlalu lemah. Dalam hidup Anjani, baru kali ini dia merasa lemah tak berdaya begini. Entah apa penyebabnya, yang Anjani tau jika dia tak boleh deket-deket dengan Surya lagi. Tak baik untuk kesehatannya, tak baik untuk jantungnya.
Se-polos itu Anjani. Dia mungkin sudah membaca berpuluh-puluh novel dengan genre romansa yang ia pinjam di perpustakaan, tapi untuk hal praktek begini Anjani mendapat nol besar. Dalam kehidupan nyata, Anjani tak pernah dekat sekali pun dengan laki-laki, dan sangat payah dalam soal percintaan.
Dekat mungkin pernah, tapi hanya sebatas teman. Semua teman laki-lakinya mendapatkan friendzone. Hampir semua laki-laki teman kelasnya pernah mencoba untuk mendekatinya, tapi pada akhirnya mereka menyerah karena ketidak pekaan Anjani terhadap perasaan mereka.
Anjani menjadikan novel sebagai pelarian dan hiburan dari kejamnya dunia ini. Hidupnya terlalu sibuk memikirkan, dengan apa besok makan? Apakah persediaan beras masih ada? Jika kita besok makan dengan tahu, apakah uangnya akan cukup?
Seberat itu kehidupan Anjani, tapi gadis itu selalu bersyukur atas apa yang ia dapat hari itu, dan kembali bersyukur agar hari esoknya Tuhan melebihkan apa yang dia butuhkan, Tuhan berikan apa yang dia inginkan.
"Ya udah, aa pulang dulu, ya. Harus jaga minimarket lagi," pamit Surya sambil terus menatap wajah Anjani yang sangat cantik.
"Iya, A. Hati-hati."
Surya tersenyum, tangan lucknut nya malah terulur dan mengusap lembut pucuk kepala Anjani. Sedangkan yang di usap hanya mesem-mesem sendiri, dengan debaran jantung yang sudah jauh dari kata normal.
*******
Anjani pulang dengan wajah yang berseri-seri. Tono bahkan sampai terheran-heran dengan anak gadisnya. Bukan Tono saja, tapi Yuni juga sampai dibuat heran.
Tono duduk di tepi ranjang reyot, menatap istrinya yang sedang terbaring. "Bu, Jani kenapa, ya?" tanya Tono khawatir.
"Nggak tau ibu juga, Pak," sahut Yati memang tak tau apa-apa.
Dia hanya tau, saat Anjani pulang wajahnya sudah sangat berseri-seri. Bersenandung dalam setiap kegiatannya, contohnya saat menyajikan makan malam tadi, saat melipat baju, dan saat mencuci piring.
Tono dan Yati tau, jika saat ini anak gadis mereka sedang berbahagia. Entah apa penyebabnya, yang pasti mereka berharap jika anaknya akan selalu bahagia.
*****
Reza masih di restoran, dia sedang melihat laporan perkembangan restorannya. Hampir semua karyawannya sudah pulang, tinggal dia saja seorang diri yang masih ada di sana.
Ponselnya bergetar, Reza kira yang menelponnya itu adalah ibunya. Perasaannya langsung berubah, saat nama Maya tertera di layar ponselnya. Dengan cepat Reza membalikkan ponselnya, agar nama Maya tak terlihat oleh matanya lagi.
Tapi sialnya pintu ruang kerjanya malah dibuka oleh seseorang. Awalnya Reza mengira jika yang masuk ke ruangannya adalah salah satu pegawainya, tapi dugaannya salah saat matanya melihat Maya sudah berdiri diambang pintu.
"Mau ngapain?" tanya Reza sambil terus membaca rentetan kalimat di atas putihnya kertas yang sedang ia pegang.
"Kenapa telpon aku nggak kamu angkat?" pekik Maya dengan amarah yang terlihat jelas di sorot matanya.
"Aku sibuk." Reza hanya menjawab sekenanya.
"Gara-gara kamu, aku jadi ketahuan sama istrinya!" teriak Maya dengan tangan mengepal, menahan amarah.
Reza menurunkan kertas yang sedari tadi menutupi separuh wajahnya. Menatap Maya, meminta penjelasan dari mantan istrinya.
Apa maksudnya?
"Jangan pura-pura ga tau!" tubuhnya sambil mengacungkan jari telunjuknya ke depan wajah Reza.
"Aku bener-bener ga tau."
"Halah, jangan bohong! Mana ada maling ngaku!" Maya sudah diliputi oleh amarah.
Gara-gara Reza, dia jadi ketahuan oleh istrinya sah nya Heri, gara-gara Reza sumber uangnya jadi hilang, gara-gara Reza dia jadi tak bisa beli barang-barang branded lagi. Semuanya gara-gara Reza!
"Kamu ngomong apa? Coba jelasin semuanya, biar aku ngerti. Biar aku tau letak kesalahan aku di mana." Beruntungnya Reza menyikapi amarah Maya dengan kepala dingin, membalasnya dengan air. Bukan dengan api, apalagi dengan bensin. Yang ada amarah Maya semakin meluap-luap.
"Kamu yang kasih tau istrinya Mas Heri tentang semuanya? Tentang aku yang menjadi simpanannya, tentang aku yang menjadi penghangat ranjangnya. Kamu yang kasih tau Tresa semuanya, kan?"
Jujur saja, Reza tak mengerti dengan semua tuduhan yang dilayangkan oleh Maya. Dari dugaannya, jika Maya ini salah sangka. Maya mengira jika Reza-lah yang memberi tau Tresa - istrinya Heri, mengenai hubungan antara Maya dan Heri.
Astaga, Reza sendiri bahkan tak kenal dengan Tresa. Dengan Heri mungkin dia hanya sebatas tau jika 'oh, Heri itu orangnya yang itu. Tingginya segitu, wajahnya lumayan tampan, dll'. Reza hanya tau sebatas itu saja, tidak lebih.
Bahkan, Reza juga tak tau di mana tempat Heri bekerja. Dan kamprett nya dia malah dituduh begini? Sama mantan istrinya pula! Ga adil! Sumpah ga adil bangettt! Udah diselingkuhin, diminta ah lebih tepatnya dipaksa buat cerai, ditinggalkan, da sekarang dia dituduh kayak begini? Kesel ga tuh si Reza? Kesel ga? Kesel ga? Kesel ga? Kesel lha, masa nggak!
"Aku aja ga tau rumahnya lelaki simpanan kamu di mana, May."
"Jangan bohong!"
"Coba inget-inget, apa aku pernah bohong sama kamu? Nggak, kan? Justru kamu sendiri yang sering bohong sama aku. Yang jelas, bukan aku yang kasih tau si Terasi, eh siapa, sih, namanya istrinya si Heri itu?" Mendadak lidah Reza keseleo saat menyebutkan nama Tresa.
"Tresa! Bukan terasi!" pekik Maya dibuat kesal setengah mati.
"Ya itu pokonya. Bukan aku yang kasih tau dia. Kalo ga percaya, kamu mending tanya aja sama orang yang bersangkutan." Reza bangkit, membereskan meja kerjanya.
Maya yang masih berdiri di dalam ruangan Reza, dia tak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Reza. Maya yakin, jika saat ini Reza akan pulang. Nebeng pulang di mobil mantan suami nggak apa-apa, kan?
"Keluar, aku mau pulang." Reza meninggalkan Maya yang masih berdiri di dalam ruang kerjanya.
Dengan cepat Maya langsung mengekor di belakang Reza, mengikuti lelaki itu sampai ke parkiran. Saat Reza masuk ke dalam mobil, Maya pun sudah hendak mengikutinya.
"Eh, eh, mau ngapain kamu?" tanya Reza heran karena Maya malah ikutan masuk ke dalam mobilnya.
"Anterin aku pulang," ucap Maya enteng.
"Ga bisa! Kamu pulang sendiri aja!"
"Ga mau, aku ga bawa mobil."
Reza mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya, mengetikkan sesuatu di sana. Maya sendiri tak tau apa yang Reza ketik. Yang jelas, detik berikutnya Reza mengeluarkan dirinya dari dalam mobil, lalu meninggalkan Maya sendirian di depan restoran.
Baru juga mobil Reza pergi, datang sebuah taksi yang antah berantah datangnya dari mana, siapa pula yang manggil. Si supir taksinya keluar, menghampiri Maya yang sedang keheranan.
"Dengan Bu Maya?" tanya supir itu.
"Iya, saya Maya. Bapaknya mau jemput siapa, ya?" Maya dibuat heran.
"Saya mau jemput Ibu, disuruh sama Pak Reza."
Mendadak darah dalam tubuh Maya bergejolak. Padahal, apa susahnya mengantarkan dirinya pulang, sih? Kenapa harus manggil kang taksi segala? Maya dibuat kesal setengah mati dengan perilaku Reza terhadapnya.
"Reza bangsatt!" teriak Maya dengan geram.