Sudah hampir sebulan Anjani bekerja di warung nasi Teh Ira. Dalam sebulan itu, Anjani sedikit membantu perekonomian keluarganya, kehidupan mereka perlahan membaik.
Jika kemarin-kemarin mereka hanya makan dengan garam atau daun singkong, kali ini mereka bisa makan dengan telur rebus. Bagi mereka, bisa makan dengan telur saja sudah sangat mewah.
Tak hanya perekonomian keluarganya yang membaik, hubungannya dengan Surya pun semakin dekat. Surya bahkan tak segan-segan mengantar Jani ke pasar untuk berbelanja.
Yang Anjani rasakan saat ini hanya sebuah rasa nyaman saat sedang bersama dengan Surya. Gadis itu belum menyadari perasaannya terhadap Surya, perasaannya terhadap Surya adalah perasaan dari perempuan t
terhadap laki-laki.
"Habis ini mau langsung pulang?" tanya Surya sambil melajukan motor metik nya.
"Iya, langsung pulang aja, A."
Surya mengangguk, dia melajukan motornya dengan kecepatan yang sangat rendah. Sengaja, agar dia bisa sedikit berlama-lama dengan Anjani. Modus yang sering dilakukan oleh kaum Adam saat sedang membonceng wanita yang dia sukai.
Sedangkan yang dibonceng tak peka terhadap apa yang diinginkan oleh si lelaki. Anjani jadi bosan sendiri karena Surya melajukan motornya dengan sangat lambat.
Ingin protes, tak enak hati. Takut disangka tak tau diri, udah dikasih nebeng dan sekarang minta segala macam. Setidaknya Anjani masih tau batasan, masih tau rasa malu.
"Ini nggak mau mampir ke suatu tempat dulu gitu?" tanya Surya sambil melirik ke belakang sekilas.
"Nggak, A. Takut dimarahin sama bapak."
Ya memang benar, tadi Anjani ijinnya cuma mau ke pasar aja. Dan itu pun tidak bilang jika ke pasarnya diantar dengan Surya. Anjani hanya bilang, kalau dia akan ke pasar.
"Mau makan baso dulu nggak, Neng? Mumpung aa abis gajian ini," tawar Surya mencoba untuk menahan Anjani untuk sedikit lebih lama dengannya.
"Nggak, A. Makan baso nya nanti kapan-kapan aja."
Surya mengangguk, dalam hati dia menahan kecewa. Sepertinya keinginan untuk berduaan dengan Anjani lebih lama harus ia kubur dalam-dalam. Menelan rasa kekecewaan, karena sudah satu bulan mereka dekat hubungannya tak berjalan sama sekali. Diam di tempat.
Entah Anjani yang tidak peka, atau memang Surya sendiri yang terlalu payah untuk meluluhkan hati Anjani. Berbagai macam kode sudah Surya coba, gombalan maut dari berbagai sumber sudah Surya coba.
Tapi respon yang diberikan Anjani datar. Sangat datar! Saking datarnya, sampai menyakiti harga diri Surya sebagai lelaki, dan membuat Surya ingin menyerah. Motor yang membawa mereka sudah memasuki desa, dan Anjani minta diturunkan di dekat gapura desa.
Jani takut jika kedekatannya dengan Surya terlihat apalagi terendus oleh bapaknya. Maka dari itu, Anjani sendiri memilih teman cerita yang baik. Mulutnya yang nggak ember, yang akan menceritakan lagi rahasianya pada orang lain.
Untuk saat ini Jani menceritakan kedekatannya dengan Surya pada Ira, wanita pemilik warung nasi tempat di mana dia bekerja. Jani menceritakan, jika saat ini dia sedang dekat dengan laki-laki.
Dan merasa nyaman saat sedang bersamanya. Ira yang mendengar cerita Anjani hanya menahan tawa, karena Anjani sendiri tak menyadari perasaannya.
"Aa anterin pake motor aja, ya?" tawar Surya sambil menatap Jani dengan lembut.
"Jangan, A. Nanti kalau bapak tau, gimana?"
"Ya nggak apa-apa kalau ketahuan sama bapaknya si Neng," sahut Surya seenak udel.
"Ih, ga mau! Takut nanti bapak nanya macem-macem, A." Sebenarnya jika Tono bertanya Anjani tinggal menjawabnya, kalau Surya adalah temannya.
Yang bikin repot itu, sudah dapat dipastikan kalau Tono ga akan percaya. Ya gimana ga percaya? Kalau seumur-umur Anjani baru pertama kali mau dibonceng sama laki-laki asing, selain keluarga.
Saat motor matic milik Surya baru saja hendak berangkat, suara seorang lelaki membuat tubuh Anjani panas dingin. Dia tau siapa pemilik suara ini, tak lain adalah bapaknya, Tono.
"Jani?"
Dengan lemas, Anjani menoleh dan mendapati Tono sedang berdiri dengan pakaian yang kotor, dengan cangkul tergantung di pundak kanannya, dan topi caping nangkring di atas kepalanya.
Mampuss!
Mau ngehindar malah terciduk! Sebisa mungkin Jani menampilkan senyuman terbaiknya. Tak boleh terlihat gugup, agar bapaknya tak curiga.
Dengan riang gembira, Anjani menghampiri bapaknya. Mencium tangan yang sudah tak kekar lagi, sudah keriput termakan usia dan keadaan. Jika saja bapaknya bekerja di tempat yang adem, yang tak tersorot sinar matahari, pekerjaan yang tak mengeluarkan keringat. Apakah tangannya tidak akan seperti ini?
Hati Anjani tercubit. Dia ingin mencari uang yang banyak, agar bapaknya tidak perlu pergi ke sawah lagi, agar bapaknya tidak menjadi buruh tani lagi. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya.
"Baru pulang dari pasar?" tanya Tono sambil tersenyum.
"Iya, Pak."
Anjani kaget saat Surya yang tadinya sudah duduk di kuda besinya, kini tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya. Mencium tangan Tono dengan penuh hormat, seperti Jani yang tadi mencium tangan Tono.
"Apa kabar, Pak?" tanya Surya sambil melepaskan jabatan tangannya.
"Baik. Tapi, kamu itu siapanya Anjani, ya?" tanya Tono langsung.
Orang tua mana yang tak penasaran, anak gadisnya boncengan dengan laki-laki asing. Belum lagi, keduanya terlihat sangat akrab. Tono sebenarnya sudah melihatnya sedari tadi. Tapi dia urungkan, karena suasananya cukup romantis. Di mana Surya mengusap pucuk kepala Jani.
Jika Tono datang saat adegan itu, sudah dapat dipastikan jika anak gadisnya akan malu. Karena itu, Tono pun memilih untuk bersembunyi dulu. Dan keluar jika waktunya sudah tepat.
"Perkenalkan, saya Surya calon suaminya Anjani, Pak." Surya memperkenalkan dirinya dengan sopan.
Tono dan Jani dibuat kaget dengan pernyataan Surya barusan. Calon suami? Ini orang ga salah makan, kan? Jani sudah gemas sendiri ingin nebok mulut Surya yang asal ceplas-ceplos aja.
Sedangkan Tono masih menatap penampilan Surya, yang mengaku sebagai calon suami anak gadisnya. Ya kalau dilihat dari luar sih, Surya memang tampan, sopan, dan pakaiannya pun rapih. Tapi entah bagian dalamnya seperti apa. Mudah-mudahan saja bagian dalamnya pun sebagus tampilan luarnya.
"Ya udah, kamu pulang aja, Jani. Ibu udah nungguin kayaknya," ucao lagi Tono lembut.
Jani pun mengangguk, dia kembali berjalan kaki. Menghabiskan sisa perjalanan pulangnya dengan jalan kaki saja. Hal ini justru membuat Tono heran.
"Kamu ga naik motor?"
"Nggak, Pak. Jalan kaki aja."
"Kenapa?" tanya Tono heran.
"Takut diomongin tetangga, Pak," dalihnya.
"Bilang aja, dibonceng sama calon sendiri kok ga boleh?" sahut Tono sambil melenggang pergi.
******
Surya sedang duduk di rumahannya Anjani, setelah tadi mengantarkan gadis pujaan hatinya. Ya dengan sangat terpaksa Anjani mau diantar oleh Surya sampai ke depan rumah. Setelah itu dengan sangat terpaksa lagi Anjani menawarkan Surya untuk mampir dulu.
Jani kira Surya akan menolak ajakannya, tapi malah sebaliknya. Surya menerima ajakan - untuk sekedar mampir ke rumahnya Jani.
Duduk di lantai semen, dengan beralaskan tikar. Matanya menatap rumah yang tak layak disebut sebagai tempat tinggal. Sinar matahari masuk melalui celah-celah genting. Belum lagi dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah bolong-bolong.
Anjani datang dengan segelas air putih dan singkong rebus, yang ia dapatkan dari Tono kemarin, dan direbus tadi sebelum dia beranjak ke pasar. Surya tersenyum, sekarang dia tau alasan kenapa Anjani bekerja sangat keras di warungnya Teh Ira.
"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Jani kesal. Dia masih marah pada Surya, yang seenak udel mengenalkan dirinya sebagai calon suaminya Anjani.
"Nggak apa-apa, kok." Surya kembali tersenyum.
"Tadi, kenapa Aa bilang kalau Aa itu calon suami aku? Kalau bapak sampai menganggapnya serius, gimana?" cecar Anjani kesal.
"Ya nggak apa-apa. Aa malah bersyukur kalau bapak sampai menanggapinya serius."
"Aa!" Jani kesal sendiri karena jawaban yang diberikan oleh Surya sangat nyeleneh menurutnya.
"Kenapa? Aa mau serius sama kamu, kok. Kamu mau nggak jadi istrinya aa?" tanya Surya dengan wajah serius.