Jani terdiam, mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Surya. Sempat berdebar, tapi pada akhirnya Jani menepis debaran itu, meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah sebuah candaan.
"Duh, kenapa serius banget, sih? Hampir aja aku baper, A," ucap Anjani sambil terkekeh.
"Apa aa keliatan lagi bercanda?" tanya Surya sambil menatap Anjani dengan serius.
Anjani mengangguk, sebagai jawaban bahwa dia memang tak percaya pada ucapan Surya barusan.
"Iya, aa keliatan lagi bercanda banget."
Surya terkekeh, kemudian dia mengiyakan tuduhan Anjani barusan. "Iya, aa emang bercanda. Jangan percaya sama laki-laki dengan mudah, ya."
"Iya, A."
Setelah berbincang-bincang, Surya pamit pulang. Sudah waktunya dia bekerja, kebetulan minggu ini Surya kebagian shift siang, makanya tadi dia bisa mengantar Jani dulu.
"Ya udah, aa pulang dulu, ya," pamit Surya sambil tersenyum, memakai sendalnya.
Anjani mengangguk, dia menatap Surya yang sudah duduk di atas motor metik nya. Melambaikan tangan, mengantarkan kepulangan Surya dengan sebuah lambaian tangan dan ucapan hati-hati yang disertai senyuman yang bikin hati meleleh.
Ada rasa senang dan perih secara bersamaan. Senang karena Jani-nya sudah tidak marah lagi, sudah tidak manyun lagi, sudah tersenyum seperti sedia kala lagi. Sedihnya karena niat baiknya malah dianggap sebagai sebuah candaan.
Menepikan motornya, padahal sebentar lagi sampai di kontrakan. Tapi rasa penasaran membuatnya menjadi manusia yang tidak sabaran. Menatap pantulan dirinya dari kaca spion, kembali mempraktekkan ekspresi yang ia tunjukkan pada Anjani.
"Kenapa? Aa mau serius sama kamu, kok. Kamu mau nggak jadi istrinya aa?" Surya mengulang pertanyaannya terhadap Jani, dengan ekspresi yang sama.
"Orang ini ekspresi serius kayak begini, masa masih aja dikira bercanda?" Surya bermonolog sendiri.
"Will you marry me?" tanya Surya pada pantulan dirinya dari kaca spion.
"Ahay! Kalau aku bilang gini, dia bakal meleleh nggak, ya?" gumamnya sambil cengar-cengir, membuat orang-orang yang lewat jadi resah karena aksinya yang cengar-cengir sendiri.
Membayangkan jika Jani-nya akan meleleh dengan sebuah kalimat 'will you marry me?' yang keluar dari mulutnya. Menggetarkan hati wanitanya, menghangatkannya dengan perasannya yang meletup-letup.
Tapi, angannya seketika hilang. Acara ber-halu ria mendadak berakhir, saat Surya disadarkan oleh kenyataan. Kenyataan bahwa Anjani yang memiliki sifat tidak peka, atau memang pura-pura tidak peka.
Apapun alasannya, kenyataan ini sangat-sangat melukai harga diri Surya, sebagai lelaki yang memiliki predikat 'lelaki si penakluk wanita'. Ceritanya akan berubah jika Surya tidak bisa meluluhkan hati Jani-nya.
"Ah, kamprett emang!" gumamnya sambil menyugar rambutnya ke belakang.
Kembali menghidupkan motornya, dan bergegas pergi menuju kontrakan. Ponselnya sudah berdering sedari tadi, ada telepon dari teman di tempat kerjanya. Ini sudah siang, sudah saatnya bagi Surya pergi ke minimarket untuk bekerja.
******
Setibanya di minimarket, Surya langsung masuk ke dalam ruang khusus karyawan. Menyimpan tas dan melepaskan jaketnya, yang melindungi tubuhnya dari sinar matahari. Baru juga hendak keluar dari ruangan itu, ponsel yang ia simpan di dalam tas berdering.
Nama seseorang yang ingin dia hindari tertera di benda pintar itu. Ada rasa enggan saat akan mengangkatnya, tapi rasa malasnya ia buang jauh-jauh. Karena Surya tau, ponselnya tidak akan pernah berhenti berdering kalau dia tidak mengangkatnya.
"Halo."
"Apa kabar?"
"Jangan basa-basi! Ada perlu apa?" tanya Surya geram.
"Kenapa kamu nggak -
Tanpa menunggu kalimat yang diucapkan oleh orang itu selesai, Surya bergegas mematikan sambungan teleponnya. Tanpa mendengar dengan lengkap pun, Surya tau apa yang akan diucapkan oleh orang itu.
"Bro, Lo kenapa?" tanya Riko saat melihat ekspresi wajah Surya yang sangat tidak bersahabat.
"Biasa, gue lagi bete," sahut Surya sambil menggantung jaketnya.
"Elah, kenapa? Sini cerita sama gue! Barangkali aja gue bisa bantu." Leo merangkul pundak Surya, menggiring temannya untuk duduk di kursi plastik yang ada di sana.
"Gue kena friendzone, Yo," ucap Surya sambil meneguk air mineral dari botol.
"Apa?" pekik Leo tak percaya.
Sebelum melanjutkan sesi curhat Surya, Leo bangkit dulu. Berjalan menuju pintu, mengeluarkan kepalanya untuk melihat keadaan minimarket siang itu. Aman, ada yang jaga di bagian kasir si cupu Nino. Bos mereka juga nggak ada, lagi pulang katanya. Dan kalau mereka kena semprot karena berleha-leha, Leo tinggal menggunakan alasan istirahat siang. Memang, Leo itu salah satu karyawan yang ga ada akhlak.
"Lo kena friendzone sama siapa, Njim?" tanyanya sambil mencomot ciki rasa keju.
"Sama orang lha, ada pokonya."
"Anjani?" tebak Leo dan tepat sasaran.
"Lo tau dari mana?" tanya Surya kaget.
Karena selama ini keduanya jaga jarak kalau di tempat ramai. Berpura-pura tak saling mengenal, padahal aslinya mereka deket bangettt.
"Gue tau dari Teh Ira, Teh Ira nya tau dari Anjani nya langsung. Gue ingetin sekali lagi takutnya Lo lupa, gue itu adiknya Teh Ira, Sur," ucap Leo panjang lebar.
Surya terkekeh, dia melupakan fakta bahwa Leo adalah adiknya Teh Ira, wanita pemilik warung nasi di mana Anjani-nya bekerja.
"Iya, gue kena friendzone, Yo." Surya memilih untuk menceritakan tentang hubungannya dengan Anjani, ketimbang dengan seseorang yang menelpon dirinya tadi. Bagi Surya, Anjani adalah prioritas dirinya. Di mana dia harus mendahulukan Anjani dari segala jenis masalah yang menimpa dirinya.
"Astaga, kasian amat dah. Muka aja cakep, kalo kena friendzone kayak begitu sih, percuma sumpah," ucap Leo seenak udelnya.
"Ga usah ngeledekin gue, bisa nggak, sih?" tanya Surya sambil menoyor kepalanya Leo.
"Kalo kata gue sih ya, mending kena ghosting dari pada kena friendzone."
"Kalau gue sih, mending nggak dua-duanya."
Jawaban yang diberikan oleh Surya mampu membuat Leo terkekeh. Ya memang nggak dua-duanya, sih. Semuanya emang bikin nyesek, nggak friendzone atau pun ghosting.
"Coba Lo luluhin hati si Jani pake jurus apa gitu. Atau - "
"Ya terus gue harus gimana lagi, Yo? Udah gue ngode, gue gombalin juga, tetep ga ngaruh, Yo," potong Surya sambil mengambil ciki rasa keju dari tangan Leo.
"Kenapa nggak langsung Lo buktiin aja?"
Surya menoleh, tak mengerti dengan maksud sohib nya itu. "Maksudnya gimana?"
"Ya Lo buktiin keseriusan Lo gitu. Buktiin kalo Lo itu bener-bener pengen serius sama dia, Lo itu emang cinta sama dia. Bukan hanya sebatas ngasih kode dan gombalan aja."
Surya mengerutkan keningnya, dia mencoba untuk mencerna saran yang diberikan oleh Leo tadi. Pemikirannya berakhir pada satu hal, yang mungkin saja dapat meluluhkan hati Anjani-nya, sesuatu yang bisa dijadikan tanda bahwa dia memang benar-benar serius dengan Anjani.
"Maksud Lo, itu?" tanya Surya memastikan.
"Mau itu, mau onoh. Terserah Lo, Sur. Yang penting, sesuatu itu bisa Lo jadiin bukti atas keseriusan Lo."
Sesi curhat mereka terhenti, saat bos mereka memergoki keduanya sedang bercerita ria. Membiarkan si cupu Nino menjaga kasir sendirian.
*******
Beberapa hari setelah tercyduk oleh bapaknya, hubungan Anjani dan Surya sedikit menjauh. Biasanya Surya suka makan di warungnya Teh Ira, tapi sudah beberapa hari itu pemuda tampan itu tak menunjukkan batang hidungnya.
Biasanya kalau Anjani sedang nyapuin halaman warung, Surya suka lewat dan pada akhirnya mampir. Meski hanya untuk beli sebatang rokok atau pun tiga buah permen kopiko dengan harga gope. Yang penting ada alasan buat dirinya mampir di warungnya Teh Ira dan ketemu sama Anjani.
Tapi, sudah beberapa hari ini pemuda itu tak kelihatan jajan atau pun lewat. Seketika hati Anjani dilanda rasa khawatir. Apakah sudah terjadi sesuatu pada Surya? Apakah lelaki itu sakit, sehingga tak berangkat kerja? Saking penasaran dan khawatirnya, hampir saja membuat akal sehat Anjani hilang.
Datang ke minimarket atau langsung ke kontrakan. Tapi, beruntungnya akal sehatnya masih berjalan dengan baik, masih bisa memegang kendali atas rasa kekhawatirannya.
Sudah beberapa hari ini Ira melihat Anjani sedikit pendiam. Tidak ceria seperti biasanya, dan sepertinya Ira tau hal apa yang membuat Anjani menjadi pendiam begitu.
Surya
Siapa lagi jika penyebabnya bukan Surya? Pemuda itu sudah beberapa hari tak datang ke warungnya. Biasanya dalam sehari Surya bisa sampai empat kali mampir ke warungnya. Mengalahkan anjuran dokter minum obat.
"Kenapa? Kok diem aja?" tanya Ira saat Jani baru selesai mencuci piring.
"Nggak kenapa-kenapa, Teh." Anjani tersenyum.
"Gara-gara Surya?" tebak Ira. Sengaja dia memancing seperti itu, ingin melihat sejauh mana Anjani tau akan perasaannya sendiri.
"Bukan, Teh."
"Jangan bohong, Jani. Teteh tau, kalo kamu seperti ini gara-gara Surya."
Anjani hanya terdiam, menundukkan kepalanya dan menautkan jari-jemarinya. Dia sendiri tak tau dengan perasannya. Bohong jika hatinya tak bergetar, bohong jika perasaannya tak goyah. Sikap Surya terhadapnya sangat-sangat baik, dan hampir saja membuatnya terlena.
Bohong jika Anjani tak menyadari perasaannya Surya. Gadis itu hanya pura-pura tak tau, gadis itu hanya pura-pura bodoh. Dia tak ingin menjalin hubungan dulu dengan laki-laki, dia ingin fokus dulu pada keluarganya.
Sampai selesai kerja pun, Anjani masih mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Dia tak memiliki gairahh bahkan hanya untuk mengucapkan kata 'halo'.
Setibanya di rumah, dia dikagetkan oleh motor metik yang sangat ia kenal. Motor beat warna hitam dengan stiker Doraemon di bagian sampingnya.
"A Surya?" gumamnya.
Tak ingin berbahagia dulu, Anjani menepis harapan dalam hatinya. Dia pun masuk ke dalam rumah, dan mendapati Surya sedang mengobrol dengan bapaknya.
"Sudah pulang, Nak?" tanya Tono sambil tersenyum sehangat senja sore itu.
"Iya, udah, Pak."
"Sini duduk," ajak Tono pada anaknya.
Anjani menurut, dia duduk di samping bapaknya. Tak berani sedikit pun dia menatap ke arah Surya. Hatinya terlalu takut, takut tak siap, takut tak kuat, takut tak bisa menahan air matanya.
"Jadi gini, Jani. Nak Surya itu datang ke mari itu mau melamar kamu."