8 - Menunggu

1109 Kata
Surya sedang memilih cincin untuk melamar Anjani nanti. Dia menggunakan tabungannya untuk membeli cincin, yang akan ai gunakan sebagai bukti kalau dirinya memang benar-benar ingin serius dengan Jani dan ingin menjadikannya istri. "Mbak, pengen lihat yang itu," ucap Surya sambil menunjuk sebuah cincin mas putih dengan permata di tengahnya. Sepertinya, akan terlihat sangat cantik jika disematkan di jarinya Anjani. "Yang ini?" tanya si mbak penjaga toko perhiasan itu. "Iya." Si mbak mengambilkan cincin yang dimaksud oleh Surya tadi, lalu memberikannya pada Surya. Lelaki itu mencoba untuk memasukkan cincinnya pada jari manisnya. Dan hanya masuk sampai pertengahan saja, selebihnya seret. "Kayaknya bakal pas ini," gumamnya sambil tersenyum menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. "Saya mau yang ini, Mbak," kata Surya sambil mencopot cincin yang ada di jari manisnya lalu menyodorkannya pada si mbak penjaga. "Yang ini, Mas?" "Iya." Sambil menunggu si Mbaknya selesai menulis suratnya, Surya pun memilih untuk melihat-lihat perhiasan yang ada di dalam etalase di depan dirinya. Semuanya bagus-bagus, dan pasti akan terlihat sangat cantik jika dipakai oleh Anjani-nya. "Total semuanya lima juta lima ratus, Mas." Surya mengeluarkan uang dari dalam dompet, dan memberikan pada si mbak penjaga dengan jumlah yang pas. Sementara itu, menunggu si mbak selesai menghitung jumlah uangnya, Surya mengedarkan pandangannya karena dia merasa sedari tadi ada orang yang memperhatikan dirinya. Dan benar saja, matanya melihat seorang lelaki dengan pakaian serba hitam dan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya sedang duduk di dalam mobil. Surya tau siapa lelaki itu, dan dia lebih memilih untuk diam. Dia sedang tak ingin mood-nya malah rusak saat akan melamar Anjani-nya. Selesai membeli cincin, Surya bergegas untuk langsung ke rumah Anjani. Ini masih siang, dan dia tau kalau Anjani masih bekerja di warungnya Teh Ira. Tapi nggak apa-apa, dia akan menunggu Jani di rumah gadis itu. Setibanya di rumah Anjani, Surya melihat Tono baru saja pulang dari sawah. Karena baju yang dipakai lelaki itu sudah kotor, dan penuh dengan lumpur. "Lho, Surya?" Tono kaget karena kedatangan Surya yang tiba-tiba. Apalagi di saat anak gadisnya masih bekerja. Mau ngapain? Wajar kalau Tono penasaran. "Pak." Surya menyalami Tono, tapi sayangnya malah mendapatkan penolakan. "Tangan bapak kotor, nanti bapak mandi dulu. Kamu langsung masuk aja, ya." Surya menurut, dia masuk ke dalam dan duduk di sana, sambil menunggu Tono yang sedang mandi dulu. Saat sedang menunggu Tono, terdengar suara wanita dari dalam kamar tanpa pintu. "Nak Surya, ya?" "Iya, saya Surya, Bu." Sejujurnya Surya tidak tau siapa pemilik dari suara itu. "Saya Yeti, ibunya Anjani. Maaf sebelumnya saya nggak bisa menyapa Nak Surya dengan cara yang sopan. Karena kondisi saya seperti ini, yang memaksa saya untuk tetap berbaring di atas ranjang begini." "Oh, perkenalkan saya Surya, Bu," ucap Surya antusias. Dia tak berani masuk ke dalam kamar, di mana Yeti berada. Tidak sopan, apa lagi jika dia masuk sebelum disuruh, sebelum mendapat ijin. "Iya, saya sudah dengar dari bapak. Katanya Nak Surya ini calon suaminya Anjani, ya?" Surya tersenyum, dia tak menyangka jika Tono akan menceritakan hal memalukan seperti ini pada Yeti. "Iya, saya calonnya Neng Jani, Bu. Surya minta do'a nya, Bu. Mudah-mudahan Surya bisa jadi suami beneran nya Neng Jani." "Aamiin, ibu akan memberikan do'a yang terbaik untuk kalian." Obrolan mereka terhenti, saat Tono datang dengan penampakan yang sudah bersih. Sudah tidak ada lagi lumpur di pakaian yang ia pakai. Tubuhnya sudah dibalut oleh pakaian bersih, yang sudah usang. "Jadi, ada keperluan apa Nak Surya sampai datang ke mari?" tanya Tono to the point. "Saya berniat melamar anak Bapak," jawab Surya dengan serius. Mungkin jika berbicara dengan Tono, keseriusannya pada Anjani akan dianggap benar. Bukan hanya sebuah omong kosong belaka, apalagi hanya sebuah gombalan cap goceng yang selalu dilontarkan para buaya di luaran sana. Tono tersenyum, senang karena anak gadisnya ada yang melamar. Tapi, Tono juga merasa sedih. Karena sebagai orang tua dia tak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya kelak saat akan menikah. "Saya senang Nak Surya mau seriusan dengan anak saya. Tapi, bisa Nak Surya lihat. Anjani berasal dari keluarga yang kurang mampu. Bahkan untuk sekolah SMA saja Anjani harus mengandalkan beasiswa, agar bisa tetep melanjutkan sekolahnya." Surya tersenyum, baginya tidak penting dari mana Anjani berasal dari keluarga yang berada atau tidak. Karena Surya sudah jatuh cinta pada hatinya gadis itu, bukan pada hartanya. Anjani memiliki sifat yang jarang dimiliki oleh gadis lain di zaman sekarang ini. Di mana membantu orang tua adalah hal yang memalukan, meski tidak semua anak muda seperti itu. Anjani itu sedikit ketinggalan jaman, dia bahkan tidak tau cara mengoperasikan ponsel android. "Tidak apa-apa, saya tidak melihat Anjani dari materinya. Saya juga bukan berasal dari keluarga yang berada, saya hanya yatim piatu yang dibesarkan di panti, Pak." "Panti?" tanya Tono sedikit kaget. "Iya, saya anak yang dibesarkan di panti. Saya bahkan tidak tau orang tua saya di mana." Surya mulai menceritakan dirinya yang besar di panti asuhan, dan tidak kenal dengan kedua orang tuanya. "Pendidikan terakhir saya bahkan hanya sampai SMP saja, Pak. Saya bahkan bersyukur karena bisa bekerja di minimarket yang ada di pertigaan jalan," kata Surya mengakhiri sesi ceritanya sore itu. "Tidak apa-apa, bapak juga tidak melihat Nak Surya dari materinya. Yang penting Nak Surya bisa membahagiakan Jani saja sudah cukup untuk bapak." "Terimakasih, Pak." Obrolan mereka terhenti saat Anjani datang. Gadis itu langsung disuruh duduk di samping bapaknya. Duduk dengan manis, tanpa mau menatap Surya yang ada di depannya. "Jadi gini, Jani. Nak Surya itu datang ke mari itu mau melamar kamu." Anjani mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tak ada senyuman, tak ada gurat kebahagiaan. Datar. Sedatar jalan tol yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung. "Jadi gimana, Nak?" tanya Tono sekali lagi. Setelah menghilang beberapa hari, sekarang aa datang mau melamar? Aa kira aku bakalan percaya? Inginnya dia berkata begitu, tapi sayangnya tak ada yang keluar dari mulutnya sama sekali. Lidahnya terlalu kelu untuk mengeluarkan unek-uneknya. "Melamar?" Hanya itu yang keluar dari mulut Anjani. "Iya, aa datang ke sini mau lamar kamu, Neng." Akhirnya Surya buka suara juga. "Iya, Nak Surya ke sini mau lamar kamu. Gimana? Diterima apa nggak?" tanya Tono sekali lagi. "Bisa kasih Jani waktu?" pinta gadis itu. Rasanya sedikit aneh saat sudah beberapa hari Surya menghilang dan kini tiba-tiba saja datang sambil membawa cincin. Apakah ini membuat jantung Jani berdebar? Tentu saja, dia berdebar. Anjani juga senang, karena Surya membuktikan keseriusannya. Tapi, dalam hati dia masih ragu untuk menerima lamaran itu. Tapi, jika dia tak menerima lamaran itu, kasian juga bapaknya yang akan terus menghidupi tiga orang anaknya. Kalau dirinya menikah, sudah pasti bapaknya tinggal fokus pada adik-adiknya dan Yeti. Dan juga, dia masih bisa membantu perekonomian keluarganya. "Berapa lama kamu butuh waktu?" tanya Surya. "Satu Minggu. Kasih aku satu minggu, A. Untuk memikirkan lamaran yang kamu berikan."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN