"Hanya satu minggu?" tanya Surya memastikan.
"Iya, kasih aku waktu satu minggu."
"Baiklah, aa kasih Neng waktu satu minggu buat menimbang lagi lamaran ini."
Anjani hanya mengangguk, kemudian ketiganya makan bersama. Dengan lauk yang cukup mewah bagi keluarga Anjani, semur telur dengan goreng tahu.
Surya merasakan kehangatan dari keluarganya Anjani. Kehangatan keluarga yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, hingga sekarang.
Selesai makan, Surya pamit untuk pulang. Dan diantar oleh Anjani hingga ke depan rumah. Saat mereka tiba di depan rumah, Surya bergegas menarik Anjani untuk duduk di sebuah bangku yang terbuat dari bambu.
"Sini, duduk dulu, Neng," ajak Surya sambil menarik tangan Anjani, dan gadis itu pun menurut.
Mereka duduk di bangku bambu, sambil menikmati semelir angin yang tertiup lembut, sambil menikmati lembayung senja yang sudah menghiasi langit.
"Aa tau, banyak hal yang pengen Neng tanyain ke aa." Surya membuka percakapan di antara mereka sore itu.
Anjani tak menjawab, dia malah masuk ke dalam. Mengambil dua cangkir teh tawar hangat dan sepiring singkong rebus. Perut mereka mungkin sudah kenyang, tapi sepertinya masih ada sedikit tempat untuk sepiring singkong rebus di dalam perut mereka.
Anjani menyimpan dua cangkir teh tawar hangat dan sepiring singkong rebus di atas bangku bambu. Gadis itu duduk, menyesap segelas teh hangat lalu kembali menyimpannya. Dia yakin, pembicaraan sore itu akan berjalan cukup lama.
"Selama ini, Aa kemana aja?" Pernyataan pertama yang ingin Anjani tanyakan adalah, kemana saja pemuda itu pergi? Pemuda yang biasanya selalu hadir dalam setiap harinya.
"Ada aja, kok," sahutnya.
Jawaban yang Surya berikan, tidak membuat Anjani merasa puas. "Aku tanya serius lho, A."
"Aa juga serius, kok."
Kesal, Anjani merasa sangat kesal. Dia pun memilih untuk masuk ke dalam. Dari pada buang-buang waktu dengan bersamaa Surya, yang tak memberikan jawaban dengan benar.
"Jangan pergi," ucap Surya sambil menahan tangan Anjani.
"Aku ga mau buang-buang waktu, A. Menghabiskan waktu dengan orang yang tak bisa memberikan jawaban dengan benar."
"Jawaban apa yang kamu inginkan? Kebenaran? Atau kebohongan?" tanya Surya masih menahan tangan Anjani.
"Kebenaran."
Tak menjawab, Surya malah menarik tangan Anjani dan menyuruh gadis itu untuk kembali duduk. Anjani menurut, dia kembali duduk di samping Surya.
"Aku, sebenarnya sibuk cari kerja sampingan."
Anjani tak menyela, dia kembali mendengar penjelasan dari Surya. Dia tau, kalau Surya pasti memiliki alasan, kenapa beberapa hari ini pemuda itu menghilang.
"Aa nyari kerja sampingan, buat bisa beli cincin terus ngelamar kamu. Aa pengen buktiin keseriusan aa sama kamu, dengan cara seperti ini. Karena sudah berbagai macam kode dan gombalan yang sudah aa berikan. Entah emang kamu yang nggak peka, atau memang pura-pura nggak peka. Aa ga tau alasannya apa, yang jelas aa pengen buktiin perasaan aa ke kamu dengan cara seperti ini. Aa serius sama kamu, pengen nikah sama kamu, pengen jadiin kamu istri aa. Kamu mau nikah sama aa, kan?"
Kembali, jantung Anjani kembali berdebar. Ajakan menikah yang Surya berikan mampu membuat jantungnya jedag-jedug ga karuan. Dia sekarang percaya, kalau pemuda yang ada di sampingnya sudah benar-benar serius padanya.
Sekarang Anjani yakin dengan perasannya terhadap Surya, perasaan perempuan terhadap laki-laki. Anjani menyadarinya dan mengakuinya. Jika kemarin-kemarin dia menyadarinya tapi tidak mengakuinya. Dia takut jika Surya hanya bermain-main dengannya, dia ingin fokus membantu perekonomian keluarganya dulu.
Tapi, jika sudah ada keseriusan dari Surya begini, bolehkah jika Anjani sedikit berharap? Pada perasaannya, pada masa depannya, yang ingin menua bersama dengan Surya. Bolehkah?
"Iya, aku mau nikah sama Aa," jawab Anjani sambil malu-malu meong.
"Eh?" Surya tak menyangka jika akan langsung mendapatkan jawaban.
"Aku mau nikah sama Aa," ulang Anjani sekali lagi.
"Serius?" tanya Surya memastikan.
"Iya." Anjani mengangguk. Dia tak perlu menunggu satu minggu dulu untuk memberikan jawaban atas lamaran yang dipakai oleh Surya.
Surya tersenyum lebar. Dia mengeluarkan cincin dari dalam kotak beludru berwarna merah. Meraih tangan Anjani, lalu menyematkannya di jari manis gadisnya.
Benar.
Dugaan Surya benar. Cincin itu terlihat sangat cantik tersemat di jari manis Anjani, dan ukurannya juga sangat pas. Surya bersyukur, perkiraannya benar, tidak meleset.
"Suka?" tanya Surya sambil menatap tangannya kiri Anjani yang sudah tersemat cincin.
"He'em, suka," sahut Anjani sambil menatap cincin putih dengan permata di tengahnya.
"Syukurlah kalo Neng suka."
Keduanya menikmati mentari yang mulai kembali ke peraduannya, sambil menautkan jari-jemari mereka.
*******
Anjani sedang melipat baju malam itu, sambil bersenandung kecil. Tono tau, jika suasana hati anaknya sedang bagus. Mungkin karena lamaran yang dilakukan oleh Surya. Tapi, mata lelaki itu langsung tertuju pada cincin yang sudah tersemat di jari manis anaknya.
"Lho, itu kan cincin yang tadi dibawa sama Surya buat lamar Jani. Kok, sekarang udah dipake aja?" gumam lelaki itu.
Perang batin pun terjadi, antara menanyakan atau tidak. Jika menanyakan takut membuat anaknya tersinggung, tapi kalau nggak nanya Tono juga penasaran. Akhirnya rasa penasaran lelaki itu mengalahkan rasa tak enak dalam hatinya.
"Jani?"
"Ya, Pak?"
"Kamu, udah nerima lamaran Surya?" tanya Tono hati-hati.
"Iya, Pak," sahut Anjani malu-malu.
"Serius?" tanya Tono tak percaya.
"Iya, Pak. Jani udah nerima lamaran Surya."
"Lha, katanya butuh waktu satu minggu?" Tono heran.
"Nggak, jadi, Pak." Anjani malah mesem-mesem sendiri.
"Ya udah, bapak bersyukur kalo kamu udah nerima lamarannya Surya. Tapi, bapak minta maaf kalau nggak bisa bikin pesta pernikahan," ucap Tono lirih.
Anjani tersenyum. Dalam hatinya jelas dia pun ingin mencoba yang namanya jadi ratu satu malam. Tapi, keadaan yang memaksa gadis itu untuk menahan hasratnya.
"Tidak apa-apa, Jani," gumamnya lemah.
"Jani nggak apa-apa, Pak. Yang penting selamat," ucapnya.
"Bapak minta maaf," ucapnya sambil bercucuran air mata.
Anjani menghampiri Tono, memeluk lelaki itu. "Jangan ngerasa bersalah, Pak," lirih Tono.
"Jani nggak apa-apa, Pak."
*****
Surya kembali ke kontrakan saat langit sudah sepenuhnya pekat. Hatinya berbunga-bunga, layaknya anak ABG yang sedang jatuh cinta. Padahal, umurnya tak bisa disebut sebagai ABG lagi.
Surya, lelaki dewasa berumur 27 tahun. Yang bekerja sebagai pegawai minimarket yang ada di pertigaan jalan. Akhir-akhir ini dia dibuat lelah oleh beberapa pekerjaan yang ia lakukan. Demi kejar target, untuk membeli cincin sebagai bukti atas keseriusannya terhadap Anjani.
Memarkirkan motornya di depan kontrakan, lalu masuk dan mendapati seorang lelaki, yang ia lihat saat sedang membeli cincin siang tadi. Tak terlalu kaget, karena Surya sudah tau cepat atau lambat lelaki itu pasti akan datang menemuinya.
"Baru pulang?" tanya lelaki itu.
"Kelihatannya?"
"Ha-ha-ha!"
"Ga usah ketawa! Suara ketawa Lo horor, kayak ketawa genderewo!"
"Iya, sorry, deh."
Surya melepaskan jaket yang membungkus tubuhnya. Masuk ke dalam kamar mandi lalu membasuh tubuhnya. Tak butuh waktu lama, Surya sudah keluar dengan menggunakan kolor selutut dan kaos oblong warna putih.
Mengambil kopi sachet, memasukkannya ke dalam gelas lalu menyiramnya dengan air panas dari termos. Mengaduknya dengan sendok, menyodorkannya pada lelaki yang sedang duduk di kasurnya dengan ponsel di tangannya.
"Ngopi, Bro!" ucap Surya.
Surya menyesap kopi hitam yang masih mengepulkan asap dari atasnya. Menghirup aroma kopi yang menyeruak di dalam indera penciumannya.
"Lo udah ngelamar cewek itu?" tanya lelaki yang yang sedang duduk di atas kasur Surya.
"Gue yakin, Lo juga udah tau. Tapi, kenapa Lo masih nanya juga?" tanya Surya jengah. Buang-buang waktu banget, nanyain sesuatu yang udah dia tau?
"Cuma pengen mastiin aja, sih."
"Iya, gue udah ngelamar Anjani. Dan gue harap, kalian nggak gangguin gue lagi," ucap Surya tulus.