Surya sedang menuju rumah Anjani, setelah tadi pagi mampir ke warungnya Teh Ira lalu kekasihnya menyuruh dua untuk datang ke rumah sore nanti.
"A, kata bapak kalau malam senggang, disuruh ke rumah sama bapak," ucap Anjani kala itu.
"Lho, tiba-tiba? Ada apa?" tanya Surya penasaran.
Anjani hanya mengedikkan bahunya, karena dia sendiri juga tidak tau alasan Tono memanggil Surya saat itu. Dia hanya menjalani apa yang bapaknya suruh.
Setibanya di rumah Anjani, pemuda itu bergegas mengetuk pintu dan Anjani datang membukakan pintu.
"Udah datang, A?" tanya Anjani sambil menatap kekasih tampannya.
Tunggu ....
Sedari awal mereka nggak pacaran, kan? Surya memang pernah mengode, tapi tak pernah direspon oleh dirinya. Jadi, hubungan mereka itu apa? Apapun itu, yang pasti saat ini Anjani sangat-sangat menyayangi Surya, dan tak ikhlas kalau pemuda itu dekat-dekat wanita lain selain dirinya.
"Bapaknya ada?" tanya Surya sambil melepas sendal dan mengekor di belakang Anjani.
"Ada, udah nungguin itu bapak."
Surya hanya mengangguk, dia pun duduk lesehan saat tiba di dalam. Di sana sudah ada Tono sendirian, kedua adiknya Anjani ada di kamar sedang belajar.
Dengan penuh hormat, Surya mencium tangan Tono. Lelaki yang sudah ia anggap sebagai ayahnya sendiri. Tono terlihat tampan malam itu, kemeja salur abu membungkus tubuhnya. Surya yakin, kalau itu adalah baju terbaik yang Tono punya.
"Sibuk nggak? Bapak malah manggil kamu ke sini," kata Tono sambil menatap calon mantunya.
"Nggak, Pak. Kebetulan hari ini kerjanya sampai sore aja, nggak sampai malam," tutur Surya sambil meneguk teh tawar hangat.
Tono hanya mengangguk, dia pun mengambil kacang rebus yang ada di hadapannya. Kebetulan siang tadi dia sudah membantu tetangganya panen kacang tanah, dan sekarang kecipratan kacangan nya.
Surya pun ikut mengambil kacang rebus yang ada di hadapannya. Rasanya sudah lama sekali dia tak makan kacang rebus lagi. Dulu mungkin dia masih ketemu sama kacang rebus, tapi nggak lagi semenjak negara api menyerang.
"Jadi gini ... bapak nyuruh kamu malam ini buat datang, ada beberapa hal penting yang harus bapak sampaikan."
Surya mengangguk patuh, dalam hati dia harap-harap cemas. Hal penting apa yang ingin disampaikan oleh calon mertuanya.
"Karena kalian sudah sama-sama nyaman, sama-sama cinta, dan juga sudah terikat dengan suatu hubungan. Tujuan bapak memanggil Nak Surya ke sini adalah, ingin membahas hubungan kalian ke depannya bagaimana." Tono menjeda kalimatnya sebentar, melihat bagaimana ekspresi wajah Surya.
Jika Surya menampilkan wajah tak suka, maka mau tak mau dia harus menghentikan pembahasan ini. Tapi, malam itu yang terlihat di wajah Surya adalah, raut kebahagiaan. Terlihat sangat jelas, dan untuk itu Surya bersyukur.
"Jadi, baiknya kapan kita mengadakan pernikahan? Bapak bertanya seperti ini, karena ingin mempersiapkan segalanya, termasuk dari segi finansial. Seperti yang Nak Surya ketahui, keluarga bapak ini serba kekurangan. Mungkin saat pernikahan kalian nanti, bapak ga bisa ngasih yang terbaik. Mungkin resepsi akan dilaksanakan di rumah, tidak ada gaun pengantin, perias, gedung atau pun yang lainnya." Tono menghentikan ucapannya, lalu meneguk kembali teh tawar hangat. "Maka dari itu, bapak ingin meminta maaf sebelumnya. Tapi percayalah, bapak akan memberikan yang terbaik untuk kalian berdua."
Surya mengangguk, dia pun minum dulu. Membasahi tenggorokannya, sebelum nantinya berbicara pangan lebar.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik untuk pernikahan saya nanti, untuk masa depan saya dengan Anjani nanti. Sebelumnya, saya juga meminta maaf kalau nanti saya tak bisa memberikan banyak untuk membantu keuangan pernikahan nanti. Apa tidak apa-apa?" tanya Surya hati-hati. Arya tak bisa memberikan yang serba mewah, harus menyesuaikan dengan isi dompetnya.
"Tidak apa-apa, Nak. Jangan memaksakan diri," ucap Tono sambil tersenyum.
"Terimakasih, Pak."
"Sama-sama, Nak. Jadi, kalau boleh tau Nak Surya siapnya kapan?"
Surya tampak berpikir, menimbang-nimbang kapan dia siap mengucapakan janji sehidup semati dengan Anjani. Memikirkan dari kesediaan yang, dari gaji yang ia dapat dari hasil bekerja banting tulang.
"Kalau lima bulan lagi, bagaimana?"
Tono tampak berpikir sebentar, lalu anggukan sebagai tanda kalau dia juga setuju dengan pendapat Surya.
"Iya, pernikahan kalian diadakan lima bulan lagi. Kita bisa menabung dan mempersiapkan segalanya."
"Iya, Pak," sahut Surya dan Anjani berbarengan.
Setelah obrolan itu, mereka makan malam bersama. Pepes ikan nila, yang Tono dapatkan dari empang milik juragan singkong tempatnya bekerja. Tentu saja, Tono juga mendapatkannya setelah mendapatkan ijin.
Makan bersama malam itu, bersama dengan Tono, kedua adiknya Anjani dan tentu saja ada gadisnya di sana. Yuni sudah tidur, karena hari sudah cukup malam juga.
Selesai makan, Surya dan Jani memilih untuk ngobrol dulu di luar m sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Tangan Surya terulur, menggenggam erat tangan gadisnya. Dia mengingkari janjinya, yang katanya nggak akan pegang-pegang Anjani dulu karena belum halal.
Untuk kali ini saja, Surya ingin menggenggam tangan Anjani. Merayakan kebahagiaan mereka, karena lima bulan lagi menuju pasangan suami istri.
Udah ga sabar!
"Nanti kalau udah nikah, mau punya anak berapa?" tanya Surya malam itu.
Karena suasananya sangat romantis, tiba-tiba saja mulut lucknut nya bertanya hal yang dapat membuat keduanya canggung. Malam yang diterangi oleh bulan purnama, belum lagi semilir angin yang membelai wajah keduanya.
Setelah kenal dengan Anjani, Surya sadar kalau menciptakan hal-hal yang romantis tak perlu mewah. Yang sederhana pun bisa jadi romantis, malam ini misalnya.
Dia tak perlu pergi ke Paris hanya untuk berduaan menikmati indahnya malam. Yang sederhana-sederhana saja, ramah di dompet.
"Kok tiba-tiba?" tanya Anjani sambil menatap wajah Surya.
Entah keberanian dari mana, gadis itu mampu menyandarkan kepalanya pada pundak Surya. Hanya satu kata yang mampu Anjani ucapkan, nyaman.
Rasa nyaman yang ia rasakan saat menyandarkan kepalanya pada bahu Surya. Rasa nyaman, aman dan bikin candu. Nano-nano rasanya, dan membuat Anjani ingin merasakan lebih. Ingin sedikit serakah, yaitu ingin dipeluk.
Untung saja akal sehatnya masih mampu bekerja dengan baik, tidak menuruti hawa napsu. Menegakkan kepalanya, menjauh dari rasa nyaman. Kalau nyender terus, ambyar nanti.
"Ya pengen nanya aja."
"Em ... ga tau, A. Yang jelas aku pengen punya anak yang mirip sama Aa."
Surya terkekeh mendengar penuturan Anjani. Padahal, dalam benaknya dia ingin punya anak yang cantik mirip Anjani. Tapi Anjani-nya malah pengen punya anak yang mirip dengan dirinya.
"Gimana kalau anak kita mirip sama kita berdua aja?" ucap Surya sambil menatap Anjani.
"Maksudnya?" Anjani mengernyit tak mengerti.
"Ya kita kan bikin anaknya bareng-bareng. Nggak adil dong kalau nanti malah mirip Aa aja atau mirip Neng aja. Harus mirip sama kita berdua, kemiripannya dibagi-bagi. Hidungnya mirip aa, matanya mirip kamu, rambutnya mirip aa, bibirnya mirip kamu, gitu, lho."
Wajah Anjani seketika bersemu. Untungnya penerangan di rumahnya Anjani cukup minim, sehingga Surya tak bisa melihat rona merah di wajahnya. Tapi Anjani salah, Surya melihat rona merah di wajahnya dengan sangat jelas. Apalagi sinar bulan memberikan efek yang sangat luar biasa.
Kecantikan Anjani jadi bertambah berkali-kali lipat. Dan hal itu membuat akal sehat Surya mengabur. Matanya tertuju pada bibir ranum milik Anjani.
Memiringkan sedikit kepalanya, guna mencari sudut yang pas untuk melumatt bibir gadisnya. Seolah-olah mengerti, Anjani bergegas menutup kedua matanya. Menunggu bibir seksii milik Surya melumatt bibirnya.
Cukup lama Anjani menutup matanya, tapi anehnya dia tak merasakan bibirnya terkena sesuatu yang kenyal. Kembali membuka mata, dan terkejut saat mendapati Surya tengah menatapnya, sambil tersenyum.
"Kok merem? Kenapa? Berharap dicium, ya?" goda Surya sambil menahan tawa.
Sontak saja Anjani memukul lengan Surya dengan cukup keras. Kesal karena merasa dipermainkan.
"Ngeselin, ih!" rajuknya.
Surya terkekeh, dia memandangi Anjani yang sedang membuang wajahnya. Ekspresi kesal terlihat jelas di wajahnya, dan juga rona merah masih menghiasi wajah ayunya. Surya yakin, saat ini Anjani tengah menahan malu.
Tangannya terulur menarik kepala Anjani. Satu kecupan mendarat dengan sempurna di kening gadis itu. Cukup lama Surya mencium kening Anjani, menyalurkan rasa cintanya terhadap gadisnya.
"Aa sayang banget sama kamu, Jani," lirih Surya sambil menempelkan keningnya di kening Anjani.
Sedangkan Anjani memejamkan matanya, menikmati hembusan napas Surya yang terasa panas di permukaan kulitnya.
"Aku juga sayang banget sama aa," balas Anjani sambil tersenyum.