Anjani sedang bersiap-siap hendak pergi kerja. Setelah semalaman dia mengobrol dengan bapaknya, yang menyuruhnya untuk memikirkan masa depannya.
Berangkat ke warungnya Teh Ira dengan jalan kaki, yang Anjani anggap sebagai olahraga. Tak butuh waktu lama, Jani sudah tiba di warungnya Teh Ira. Dia bergegas masuk, lalu menghampiri Teh Ira yang baru saja selesai belanja.
"Eh, udah dateng?" tanya Ira sambil menoleh ke arah Anjani yang baru saja masuk ke dalam warung nasinya.
"Iya, Teh," sahut Jani sambil tersenyum.
Anjani langsung mengambil alih sayur yang sedang di keluarkan oleh Ira dari dalam kantung plastik. Memasukkannya ke dalam baskom, lalu mencucinya hingga bersih.
Sudah beberapa hari ini Anjani mengambil alih tugas Ira. Dia memasak semua makanan yang ada di warung. Dan beruntungnya, semua pelanggan mereka pada menyukai masakan Anjani. Di sini, Ira bersyukur karena kehadiran Anjani sedikit meringankan pekerjaannya.
"Neng, katanya kamu udah dilamar sama Surya?" tanya Ira sambil sibuk mengupas bawang merah.
"Eh?" Anjani tergagap, kaget bukan main karena pertanyaan yang dilontarkan oleh Ira.
"Jadi bener? Katanya kalian ga ada hubungan apa-apa? Jadi yang bener yang mana?" Mendadak Ira mengalahkan wartawan. Dia memborbardir Anjani dengan berbagai pertanyaan.
"Iya, Teh," sahut Anjani malu-malu.
"Coba cerita sini! Aku kepo banget, deh."
"Tapi sebelumnya, Teteh tau ini dari siapa?" tanya Anjani penasaran. Karena jujur saja dia penasaran, dari mana Ira tau tentang lamaran yang dilakukan oleh Surya.
"Aku? Tau dari Leo, terus dia nya dari Surya."
Ember!
Emang ya, yang ember di negara +62 itu juga nggak cuma kaum hawa aja. Tau nya pemuda tampan kayak Surya pun ember. Astaga, Anjani tak menyangka.
"Oh, gitu .... "
"Iya! Coba kamu ceritain, Jani," pinta Ira antusias.
Jani pun mulai menceritakan, bagaimana dia bisa sampai dilamar oleh Surya. Anjani yang pura-pura tidak peka, membuat darah dalam diri Surya bergejolak. Lelaki itu jadi terkompori yang pada akhirnya memilih untuk membuktikan keseriusannya dengan cara melamar.
Menceritakan semuanya dari A sampai Z. Ira yang mendengar cerita Anjani hanya bisa geleng-geleng kepala sambil teriak-teriak ga jelas, katanya so sweet bangettt.
"Ihh, aku juga mau di kayak gituin!" teriaknya sambil mukul-mukul lengan Anjani.
Anjani hanya nyengir, sambil menahan sakit akibat lengannya dipukul-pukul oleh Ira. Meski pukulannya tak terlalu kuat, tetap saja memberikan efek sakit.
Ira pulang saat dirinya sudah selesai membantu Anjani masak. Sekarang tinggallah Anjani seorang diri menjaga warungnya Teh Ira. Baru juga Ira pulang, Surya sudah datang dengan motor Honda Beat hitam miliknya.
Melepaskan jaket, lalu bergegas masuk ke dalam warung. Duduk di sana dan memanggil nama kekasihnya, lalu Anjani pun nongol sambil nyengir.
"Sarapan, A?" tanyanya sambil bangkit, lalu mengambil piring dan diisi oleh nasi.
Anjani sudah sedikit hafal dengan porsi makan Surya, dan lauk apa kesukaan lelaki itu. Bergegas mengambilkan lauk yang disukai oleh prianya, dan menyodorkannya pada Surya.
"Ini minumnya, A." Anjani menyodorkan segelas teh tawar hangat.
"Thank you."
Kembali masuk dan duduk, melanjutkan kembali kegiatan membaca koran. Semenjak lulus sekolah, Anjani tak pernah lagi baca novel. Dia mengalihkan hobinya yang baca novel ke baca koran.
Awalnya Anjani tak terbiasa, tapi lama-lama gadis itu mulai terbiasa juga. Sebenarnya bisa saja Anjani baca novel online, tapi sayangnya gadis itu tak memiliki ponsel pintar.
"Neng, udah makan?" tanya Surya disela-sela mengunyah nasinya.
"Udah, A."
"Kapan?" tanyanya lagi.
"Tadi pas selesai masak, sama Teh Ira."
Surya hanya mengangguk, dia melanjutkan kembali makannya. Hari ini dia akan disibukan oleh pekerjaan yang menantinya. Selesai bekerja di supermarket, Surya langsung pergi ke restoran sebagai pelayan, malamnya dia akan menjadi kang ojek online.
Apapun pekerjaannya, akan Surya lakukan. Demi bisa menghalalkan Neng Anjani, gadis cantiknya. Dia harus kejar target, karena inginnya sih Surya bisa menikah di tahun ini. Mudah-mudahan Tuhan memberikan rezeki lebih untuknya dan diberikan kesehatan serta kekuatan, untuk mencari uang.
Selesai makan, Surya bayar dulu dan pamit pada gadisnya. Meminta do'a restu, agar hari ini dia bisa mendapatkan banyak uang. Katanya do'a calon istri itu mustajab, dan Surya ingin didoakan oleh Anjani.
"Aa kerja dulu, ya?" pamitnya sambil menatap Anjani yang sedang membalas tatapannya.
"Iya, hati-hati, A."
"Ya udah, Aa pergi, ya."
Sebelum pergi, Surya mengusap-usap dulu kepala Anjani. Ingin mencium keningnya, tapi tidak boleh. Karena belum dapat label halal. Jika perkara pelukan malam itu, anggap saja jika saat itu kewarasannya sedang jalan-jalan, dan membuat dirinya berbuat sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
Anjani menatap motor matic Surya yang perlahan menjauh dari warung tempatnya bekerja. Membereskan piring kotor dan gelas bekas minum Surya, dan mengelap mejanya.
Baru juga masuk, seseorang sudah datang ke warungnya.
"Punten," ucap lelaki itu.
"Iya, sebentar," sahut Anjani dari dalam.
Anjani bergegas mengelap tangannya dengan lap, dan menemui si pembeli. Dia sedikit terkejut saat yang datangnya adalah anak sulung wali kelasnya, Bu Tati.
"Lho? Anaknya Bu Tati, kan?" tanya Anjani polos.
"Reza."
"Ya?"
"Panggil saya Reza, itu nama saya. Tolong disebut jangan sampai ibu saya membuat nama jadi hal sia-sia, karena tak ada yang menyebutnya."
Anjani hanya tersenyum. Dia tak menyangka kalau anak wali kelasnya itu nyebelin, berbanding terbalik dengan Bu Tati. Yang sangat ramah dan pengertian.
"Saya mau makan," kata Reza sambil duduk dan membuka plastik kerupuk.
Anjani mengambil piring, lalu mengelapnya dan mengambil nasi. Membuka gorden yang menutupi etalase, bersiap untuk mengambilkan lauk yang diinginkan oleh anak wali kelasnya.
"Mau makan sama apa?" tanya Anjani sambil memegang piring.
Reza tak menyahut, lelaki itu justru menatap nasi yang ada di piring. Porsinya banyak bangettt, yang jelas itu porsi kuli. Dan dia tak akan sanggup menghabiskan nasi itu.
"Itu, nasinya kebanyakan," kata Reza sambil menunjuk ke arah piring.
Anjani mengurangi jumlah porsinya, lalu kembali menuju etalase.
"Mau makan sama apa?"
Reza kembali menatap piring, lalu alisnya mengernyit.
"Bisa kurangi porsinya? Saya bukan kuli."
Demi Tuhan, Anjani ingin membejek-bejek orang yang namanya Reza itu! Karena Anjani memegang prinsip, pembeli adalah raja. Dia pun menurut, mengurangi jumlah porsi nasi.
"Mau makan sama apa?" Anjani masih menanyakan pertanyaan yang sama.
Reza mengangguk puas saat melihat porsi nasinya. Dia pun mulai menunjuk lauk yang dia inginkan. Mulai dari sayur daun singkong yang dimasak dengan santan, lalu aya goreng slundreng, pepes tahu yang dicampur dengan suir ayam.
Anjani memberikan piring yang sudah penuh dengan nasi dan lauk. Reza pun mulai menyantap masakan yang ada di warung Teh Ira.
Saat datang bersama ibunya, Reza tak menyangka jika masakan yang ada di warung itu menggugah selera semua. Sesuai dengan seleranya, yang sedikit pemilih terhadap makanan.
Sengaja Reza datang lagi ke warung ini, karena ingin mempelajari resep yang ada di warung milik Teh Ira. Reza sendiri pernah denger katanya kalau warung nasi milik Teh Ira itu cukup populer, karena rasanya yang emang bukan kaleng-kaleng.
Reza menikmati setiap suapa yang masuk ke dalam mulutnya. Mengunyahnya dengan perlahan, sambil meraba-raba bumbu apa saja yang ada di masakan itu.
Menikmati masakan Anjani, tanpa Reza sadari nasinya sudah tandas, begitu juga dengan lauknya.
"Hei, tolong tambah lagi nasinya," pinta Reza sambil mengunyah nasi yang ada di mulutnya.
Anjani menetap tajam ke arah Reza. Ingin sekali rasanya dia menjotos lelaki yang ada depannya. Tadi minta dikurangi nasinya, sekarang malah minta nambah. Ngeselin ga tuh?
Pembeli adalah raja!
Mantra yang Anjani gumamkan, agar hatinya kuat menghadapi pembeli yang ngeselin macam Reza. Mengambilkan nasi, lalu lauk pauknya juga Anjani ambilkan lagi.
Reza kembali memakannya dengan sangat lahap, menghabiskan nasi yang baru saja ia tambah tadi dengan secepat kilat. Meneguk teh tawar hangat, hingga tandas.
Mengelap mulutnya dengan tisu, lalu mencongkel sisa-sisa makanan dengan tusuk gigi. Bersendawa, pertanda kalau memang perutnya sudah kenyang.
Mengambil dompet lalu mengambil uang seratus ribuan, dan menyodorkannya pada Anjani.
"Hei, saya mau bayar," kata Reza sambil menyodorkan uang.
Tapi Anjani tak menggubrisnya, dia malah menatap nyalang ke arah Reza.
"Panggil aku Anjani, itu nama aku. Tolong disebut jangan sampai ibuku membuat nama jadi hal sia-sia, karena tak ada yang menyebutnya. Jangan malah hai hei hai hei aja!" kesabaran Anjani meledak juga, dia menatap nyalang ke arah Reza. Seolah-olah dia hendak menguliti Reza saat itu juga.