11 - Ngapel

1156 Kata
Ini adalah malam minggu. Surya sudah terlihat tampan dengan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja salur berwarna abu miliknya. Menatap pantulan dirinya dari cermin, dan senyuman mengembang di wajahnya. "Sip! Udah ganteng!" ucapnya tersenyum bangga. "Tinggal sentuhan terkahir, biar si neng nya klepek-klepek." Surya menyemprotkan minyak wangi dengan aroma maskulin di beberapa titik. Agar Anjani-nya betah karena tubuhnya yang wangi. Menyalakan motor metik nya, lalu langsung melajukan motornya menuju rumah Anjani. Tapi sebelum itu, dia mampir di tukang martabak dulu. Nggak enak juga kalau ngapelin pacar tapi ga bawa apa-apa. Mematikan mesin motornya, lalu berjalan menuju gerobak tukang martabak. Surya memesan martabak rasa kacang coklat keju. Menunggu pesanannya jadi, Surya memilih untuk membuka ponselnya. Berselancar di media sosial, melihat berbagai jenis makanan, kendaraan, sampai sebuah pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Nomor tak dikenal, meski pun begitu. Surya tau siapa yang mengirimkan pesan itu. Dan Surya lebih memilih untuk mengabaikan pesan itu. "Ini martabaknya, A." "Oh, udah jadi?" tanya Surya sambil menerima plastik yang berisikan martabak. "Udah." Surya mengeluarkan uang lima puluh ribuan dari dalam dompetnya, lalu memberikannya pada si abang penjual martabak. "Ini kembaliannya, A." "Oke, makasih ya, Bang." Melajukan motor metiknya, dan bergegas menuju rumahnya Anjani. Sepanjang jalan menuju rumah Anjani, tak henti-hentinya Surya tersenyum. Ini agenda ngapel nya yang pertama, setelah beberapa bulan dekat dengan Anjani. Dulu sebelum melamar, Surya pun kadang ada niatan untuk ngapelin Jani. Tapi niatnya selalu ia urungkan, karena terkena friendzone. Tapi, kali ini beda ceritanya, dia bebas mau ngapalin pas malam minggu atau pun malam Jum'at. Tiba di rumah yang jauh dari kata layak, mematikan mesin motornya. Berjalan menuju pintu yang tak dikunci, yang bisa diakses oleh maling sekali pun. Tapi, maling nya pun pasti bakal mikir lagi, apa yang dapat mereka curi dari rumah ini? Mengetuk pintu, lalu Anjani muncul dengan baju tidur yang sudah lusuh. Wajahnya seketika cerah, saat kekasihnya datang berkunjung untuk ngapelin dirinya. "Aa!" pekiknya sambil tersenyum lebar. "Duh, biasa aja kali. Girang banget sih keliatannya." "Ih, aa ga suka aku seneng kayak gini?" tanya Anjani sambil mengerucutkan bibirnya. Hal ini justru membuat Surya gemas sendiri, ingin melumattnya tapi dia harus tahan. Masih haram saat ia menyentuhnya, belum dapat label halal dari MUI. "Nggak disuruh masuk, nih?" tanya Surya sambil nyengir. "Ini baru juga mau ngajakin masuk." Keduanya masuk ke dalam rumah. Di sana hanya ada adik-adiknya Jani saja. Sedangkan Tono tak terlihat batang hidungnya, entah kemana calon mertuanya itu. "Bapak mana?" tanya Surya sambil melepaskan jaketnya lalu menghampiri adiknya Anjani yang sedang belajar. "Bapak udah tidur, cape katanya." Surya hanya mengangguk, dia baru ingat jika martabak yang ia beli tadi ketinggalan di motor. Bergegas keluar, lalu mengambil martabak yang ia gantungkan di depan. Saat hendak masuk ke dalam, matanya melihat seseorang sedang memperhatikannya dari tempat yang gelap. Tanpa melihatnya dari dekat pun Surya sudah tau, siapa orang itu. Kembali masuk dan memberikannya pada Anjani. Keduanya duduk, sambil mengobrol dan sesekali mengajari adiknya Anjani yang sedang belajar. Surya mengajak Anjani untuk duduk di luar, sambil melihat bulan yang bersinar terang di gelapnya malam. Anjani mengikuti langkah Surya, sambil membawa sepiring pisang rebus, dan obat nyamuk bakar cap kingkong. Duduk bersama, sambil mendengarkan backsound terbaik, suara jangkrik dan hewan-hewan lainnya. "Kenapa, A?" tanya Anjani heran, karena Surya terlihat sangat serius. "Jadi gini, Neng. Kapan kita akan melangkah ke jenjang yang lebih serius?" Lelaki itu bertanya sambil menatap wajah Anjani, di bawah cahaya bulan. Anjani terkesiap mendengar pertanyaan Surya. Menikah, ya? Jujur saja hal itu di nomer sekian kan oleh Anjani, karena saat ini dia ingin fokus membantu keluarganya. Tapi, lain lagi ceritanya kalau sudah ada Surya di sampingnya. Apakah saat ini dia boleh memimpikan pernikahan? "A, dulu aku nggak pernah punya pikiran bakalan ada yang ngelamar secepat ini. Diajak untuk menikah, hidup bersama hingga maut memisahkan kelak. Dulu, prioritas aku adalah keluarga. Tapi, lain lagi ceritanya saat aku udah kenal Aa. Aku jadi sedikit serakah, jika itu tentang Aa. Ingin kenal, merambat menjadi ingin dekat, setelah itu ingin memiliki, dan ingin dimiliki. Aku serakah, bukan? Di saat aku harus menjadikan keluarga sebagai prioritas, justru aku malah berkhayal hidup bahagia bersama Aa." Anjani mengeluarkan semua keluh kesah yang ia pendam selama ini. "Apakah aku boleh berpikir akan masa depanku sekarang, A? Jika boleh, nanti bagaimana dengan ibu dan bapak?" tanya Anjani lirih. Air mata gadis itu sudah merembes keluar, membasahi wajah ayunya, membasahi baju tidur lusuh yang ia kenakan. Tubuh kurusnya dibawa ke dalam dekapan Surya, diajak berlindung di d**a bidang lelakinya. Aroma maskulin menguar di indera penciumannya, membuatnya merasa sedikit tenang. Apalagi saat tangan kokoh itu mengusap lembut kepalanya. "Kita pikirin bareng-bareng soal ibu sama bapak. Jangan mendem semuanya sendirian, sekarang Neng udah punya aa. Bergantung sama aa, ceritain apa yang ingin kamu ceritain. Ibu sama bapak juga udah aa anggap sebagai orang tua aa sendiri. Jadi, kita pikirin bareng-bareng, ya?" Surya mengurai pelukannya, menatap wajah Anjani yang sudah basah karena air mata. Tangannya terulur, mengusap air mata gadisnya dengan lembut. "Jangan nangis lagi, ya? Neng berhak bahagia, berhak memikirkan masa depan Neng juga. Ya?" imbuh Surya sambil menatap Anjani dengan lembut. "Iya, A," sahut Anjani sambil mengangguk lemah. ******* Surya pulang saat dia selesai ngapelin Anjani. Wajahnya berseri-seri, saking senangnya karena Anjani sudah menerima ajakannya untuk menikah. Untuk saat ini, Surya harus fokus mencari uang. Untuk menikah nanti, untuk bekal masa depannya. Dalam hatinya dia merasa bersalah, karena mungkin dia tak bisa memberikan pernikahan yang baik untuk Anjani. Hanya pernikahan sederhana, yang hanya dihadiri oleh teman dekat, diadakan di rumahnya Anjani. Tak ada resepsi pernikahan, tak ada alunan musik yang akan mengiringi setiap jalannya pernikahan. Setibanya di kontrakan, Surya bergegas masuk ke dalam. Melepaskan jaket, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk cuci muka. Keluar dari dalam kamar mandi, langsung menuju lemari. Mengambil buku tabungan, dan melihat jumlah nominalnya. Surya menghembuskan napasnya, dia mendadak lemas saat melihat angka nol yang berjejer. Dia harus bekerja lebih keras, agar bisa secepatnya menghalalkan gadisnya. Saat di rumahnya Anjani tadi, gadisnya bilang kalau dia akan membicarakan saol pernikahan dengan bapaknya nanti. Mungkin tidak akan dilaksanakan dengan cepat-cepat, karena Surya juga harus menyiapkan segalanya dulu. Sambil berdoa, semoga Tuhan memberikannya kesehatan dan kekuatan untuk mencari uang nanti. ***** Anjani hendak masuk ke dalam kamarnya, menyusul adik-adiknya yang sudah tidur lebih dulu. Namun, suara bapaknya menghentikan langkahnya dan memilih untuk duduk mengobrol bersama bapaknya. "Maaf sebelumnya, bapak nggak ada maksud buat nguping obrolan kamu sama Surya." Anjani hanya mengangguk, dia masih belum bersuara. Menunggu bapaknya selesai bicara, baru setelah itu giliran dirinya untuk menyeruakan pendapatnya. "Mulai sekarang, kamu nggak usah mikirin lagi keluarga. Fokus sama masa depan kamu, ingin seperti apa dan bersama siapa Ibu sama adik-adik kamu itu tanggung jawab bapak, kamu nggak usah jangan ikutan pusing mikirin keluarga. Jangan menambah rasa sesal bapak sama kamu, ya? Maafin bapak, yang penuh dengan kekurangan ini. Bapak masih belum jadi pemimpin keluarga yang baik buat ibu, kamu dan adik-adik kamu. Sekarang, berbahagialah bersama Surya. Karena kebahagiaan kamu juga adalah kebahagiaan bapak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN