Talita tersenyum puas setelah menelepon suaminya, walau pun Darren hanya menjawab begitu singkat. Ia rencananya nanti akan mencari ibu pengganti saja untuk mendapatkan anak tanpa wanita itu dinikahi oleh suaminya, setelah memulangkan madunya ke orang tuanya. Baginya belum ada sehari punya madu rasanya sangat menyakitkan.
Satu jam kemudian, Celina sekarang sudah mengenakan seragam yang sama seperti maid yang lainnya, kemeja biru dan rok lipit berwarna hitam. Kamarnya pun pindah dekat dapur basah. Tidak lagi menempati kamar tamu yang cukup mewah dan lengkap. Tapi setidaknya kamar untuk maid masih layak ditempati.
“Ini daftar pekerjaan kamu yang harus kerjakan setiap hari. Dan, jangan sesekali malas di sini kalau tidak mau dipecat,” ujar Susi dengan sedikit menyentak lembaran dari kepala pelayan ke hadapan Celina.
Wanita itu terkekeh pelan melihat gaya maid pribadi istri pertamanya Darren. “Justru saya mau dipecat dari sini, Mbak. Jadi buat apa saya rajin-rajin di sini,” jawab Celina dengan santainya.
“Hei, jangan banyak tingkah kamu. Nyonya bilang itu kamu telah dibayar dari yayasan buat beberapa tahun bekerja di sini. Sebagai pembantu baru tuh harus tahu diri, dan satu lagi jangan berani-beraninya menggoda tuan besar!” hardik Susi dengan berkacak pinggang.
Celina memutar malas bola matanya, tak menyangka wanita yang ada di depan matanya itu lagaknya udah kayak bos padahal hanya seorang maid.
“Baru aja jadi pembantu lagaknya udah kayak bos, ngimana kalau jadi bos, jangan-jangan lagaknya udah kayak Tuhan,” celetuk Celina sembari membaca kertas tersebut.
“Hei!” seru Susi tersinggung, ia mendorong bahu wanita itu hingga punggung Celina membentur pintu kamarnya.
Celina memejamkan matanya, udah sakit badan, sakit hati, lalu ia harus menghadapi orang yang tidak penting dalam hidupnya.
“Songong ya, kamu!” sentak Susi kembali mendorong bahu wanita itu. Dengan tarikan napas beratnya, Celina menahan tangan Susi dan memerasnya dengan sisa tenaganya.
“Akhh!” Susi meringis kesakitan sembari melihat tangannya.
“Mbak Susi, saya bisa bersikap baik jika orang yang saya hadapi juga bersikap baik. Dan saya bisa bersikap buruk jika orang yang saya hadapi juga bersikap buruk. Jadi, saya peringati jangan semena-mena sama orang. Kita sama-sama pembantu di sini!” ujar Celina pelan tapi penuh penekanan.
“Dan, jangan kamu berpikir saya takut sama kamu. Hanya Allah yang saya takuti di dunia ini!” sentak Celina, dengan sekali sentakan ia menepis tangan Susi yang ia genggam seperti sedang mencekik orang.
“Aaww.” Susi lantas mengusap tangannya yang memerah dengan lirikan kesalnya.
“Hmmm.” Suara pria berdeham, sontak saja Celina dan Susi sama-sama menatap ke sumber suara. Susi menundukkan kepalanya, sedangkan Celina menatap kedua pria tersebut.
“Mbak Celina, diminta ikut dengan Pak Aryan sekarang juga,” ujar Janu—kepala pelayan.
Celina memperhatikan wajah Aryan yang begitu kaku dan tegas.
“Baik, Pak Janu,” jawab Celina dengan sopannya. Tanpa banyak bertanya, dan tanpa mengganti bajunya terlebih dahulu, wanita itu mengikuti langkah asisten pribadi Darren.
“Awas, lo ya! Gue bakal bales!” seru Susi saat melihat kepergian Celina.
Perlu diketahui semua pekerja di mansion tidak ada yang tahu jika tuannya telah menikah lagi dan Celina'lah wanita yang dinikahi itu.
Mobil yang ditumpangi Celina telah meninggalkan mansion, dan kepergian Celina tidak diketahui oleh Talita. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, mobil tersebut sudah tiba di depan rumah sakit.
“Rumah sakit? Buat apa ke rumah sakit,” gumam Celina bertanya sendiri.
“Silakan turun, Mbak Celina,” pinta Aryan saat membuka pintu belakang.
Dengan ragu-ragu, Celina turun dari mobil, lalu melirik ke kanan ke kiri. Ia menarik napas kecewanya karena posisi bodyguard Darren benar-benar ada di sisinya, padahal ini kesempatan ia untuk melarikan diri.
“Silakan ikuti saya,” perintah Aryan dengan berjalan duluan.
“Huft!” Celina menarik kembali napasnya dalam-dalam, lalu dengan perlahan-lahan ia melangkah, dan pangkal pahanya terasa amat perih. “Sialan!” gerutu Celina menahan rasa sakitnya.
Celina mengikuti langkah Aryan yang tidak ia ketahui ujungnya ke mana. Hingga ia melihat plang nama dokter kandungan. Matanya pun terbelalak, langkah kakinya berhenti saat itu juga.
“D-Dokter kandungan? Buat apa ke sini?” gumamnya pelan.
“Ayo masuk!” Suara yang mengintimidasinya tadi pagi terdengar jelas di sebelahnya, perlahan-lahan ia memiringkan wajahnya. Tampaklah pria yang telah membelinya.
“T-Tuan!” seru Celina terkesiap.
Darren menatap tajam pada wanita itu, kemudian menarik lengan Celina untuk sama-sama masuk ke ruang praktik dokter kandungan.
Wanita paruh baya berjas putih sudah menyambutnya dengan senyuman ramah. “Selamat datang, Pak Darren. Mari silakan duduk,” sapanya dengan ramah sembari menunjuk ke arah kursi yang ada di depan mejanya.
Darren pun duduk, sementara Celina meragu, tapi lirikan mata Darren membuat ia terpaksa duduk. “Dok, terima kasih sudah mau mengosongkan jadwal pagi ini. Seperti yang saya sampaikan di telepon sebelumnya, katanya sepupu saya ini mengalami masalah di rahimnya, dan pernah divonis dokter tidak bisa hamil. Sementara dia sekarang sudah menikahi jadi saya mewakilkan suaminya untuk membawanya ke sini,” ujar Darren dengan tenangnya.
Ya, usai menerima telepon dari Talita, Darren tidak percaya begitu saja. Meskipun ia mendadak ada rasa kecewa. Maka dari itu ia menghubungi dokter kandungan yang biasa ia kunjungi bersama istrinya untuk memutuskan tindakan apa yang akan ia ambil.
“Apa!” Celina refleks berdiri, dan teringat dengan pembicaraannya bersama Talita.
“Waduh, gawat ini,” batin Celina ketar ketir. Bagaimana bisa secepat itu sampai ke Darren.
“Duduk,” titah Darren dengan memelankan suaranya, dan sudah tentunya matanya mengintimidasi wanita itu.
Celina menggigit bibirnya, dengan gerakan terpaksa ia kembali duduk.
“Baiklah, kalau begitu untuk pengecekan awal kita melakukan USG terlebih dahulu,” ujar Dokter Rima sembari menatap perawat pendampingnya.
“Silakan Dokter, saya ingin pemeriksaannya benar-benar langsung terlihat hasilnya hari ingin,” pinta Darren sembari kembali menatap Celina dengan sudut bibirnya tersenyum sinis.
Hati Celina amat geram dibuatnya, semuanya di luar bayangannya.
Celina diminta untuk naik ke atas brankar, dan Dokter Rima pindah tempat ke kursi dekat alat USG. Sesuai prosedur, perut wanita itu diolesi gel terlebih dahulu. Darren turut bangkit dan berdiri di ujung brankar. Wanita itu menghela napas panjang saat pandangan matanya beradu.
“Arrgh! Kenapa jadi begini!” batin Celina mengeram.
“Ck.” Pria itu berdecak kesal saat menatap wanita itu. “Berani kamu menipuku, maka terima akibatnya,” batin Darren mengancam.
Demi mengetahui kebenaran ucapan istri pertamanya yang sangat mengganggu pikiran, Darren sampai membatalkan meeting dengan relasinya.