Bagaikan seorang suami yang sedang menemani istri kontrol kandungan. Ya, itulah cerminan Darren saat ini. Dan memang Darren suaminya Celina, meski ia tidak mengakui di depan Dokter Rima.
Ia sangat memperhatikan dokter saat menggulir alat transducer di atas perut Celina, dan bisa-bisanya saat melihat perut bagian bawah wanita itu bikin tubuhnya meremang. Malam panas tanpa perlawanan kembali hadir di pelupuk matanya.
“Issh.” Pria itu mendesis pelan dan kesal pada dirinya sendiri, hanya kembali membayangkan bikin si Jon menegang. Buru-buru ia menekan hasratnya sendiri, padahal kalau ia membayangkan peraduan panas dengan Talita tidak membuat reaksi tubuhnya bergaiirah dengan cepatnya.
Beberapa menit telah berlalu, potret hasil USG telah keluar dari mesin cetak USG tersebut, kemudian Celina diminta untuk duduk kembali. Jantung wanita itu mulai tak tenang, ia berharap hasilnya buruk untuk kali ini, atau setidaknya apa yang ia bicarakan tadi pagi itu terjadi, meski hatinya tidak mau. Memiliki anak dari suami yang mencintainya salah satu mimpinya.
“Ya Allah, mohon kerja samanya ... untuk kali ini saja,” batin Celina sangat berharap, tapi hanya untuk hari ini, tidak di hari yang lain.
“Bagaimana Dok hasilnya?” tanya Darren tampaknya tidak sabaran.
Wanita berjas putih itu tersenyum tipis sembari menatap Celina. “Mbak, terakhir menstruasinya kapan?” tanya Dokter Rima sebelum menjawab pertanyaan Darren.
Kening Celina mengerut, mencoba mengingat-ingat. “Kalau tidak salah seminggu yang lalu, Dok,” jawab Celina sangat pelan.
Dokter Rima mengangguk seraya kembali menatap Darren. “Pak Darren, sebenarnya ada pengecekan yang lainnya yaitu USG transvaginal, hanya saja bisa dilakukan setelah selesai menstruasi, untuk mengetahui lebih lengkap kondisi rahim dan saluran tubanya,” jelasnya.
“Jadi dengan usg barusan tidak kelihatan hasilnya, Dok?” tanya Darren terlihat kecewa.
Dokter Rima meletakkan beberapa lembar hasil USG di atas meja. “Bukan tidak ada hasilnya Pak Darren, hanya saja untuk melihat kondisi keseluruhan mengenali rahim memang sebaiknya melakukan USG transvaginal. Dan untuk saat ini saya memberitahukan jika kondisi rahim Mbaknya dalam ukuran normal dan sangat bersih, serta menurut pengamatan saya tidak ada penyempitan saluran tuba. Tapi, untuk lebih meyakinkannya kita adakan pemeriksaan lebih lanjut setelah selesai menstruasi,” jelas Dokter Rima secara gamblang.
Darren menyimaknya dengan baik-baik, sedangkan Celina terdiam, batinnya kecewa.
“Jadi, menurut kesimpulan sementara kalau menurut Dokter bagaimana?” tanya Darren dengan wajahnya serius.
“Untuk kesimpulan sementara hasilnya rahimnya sehat, baik-baik saja.”
Celina menunduk, kedua tangannya meremas rok lipitnya. Ujung mata pria itu melirik sinis pada Celina, mulutnya ingin sekali menghardik wanita itu, hanya saja tertahan.
“Dan pada saat ini masa subur untuk melakukan pembuahan. Siapa tahu bisa langsung isi,” lanjut kata Dokter Rima.
Tamparan keras bagi Celina mendengarnya, dan pria itu kembali menatap dokter.
“Bisa sekalian cek kesuburan, Dok? Untuk memastikan saja.”
“Oh, sangat bisa, Pak. Kalau begitu Mbak-nya bisa ikut perawatnya,” jawab Dokter Rima, dan perawat sudah paham perintah tersebut, ia bergegas mengambil alat tes masa subur serta wadah kecil. Kemudian mengajak Celina keluar sebentar, dan sudah tentunya Aryan beserta bodyguard mengawalnya.
Celina menyeret langkah dengan terpaksa menuju salah satu toilet untuk mengambil sampel urine, agar mengetahui masa suburnya. Dan sang perawat menunggunya di luar.
“Ternyata dia lebih pintar. Bisa-bisanya bawa aku ke rumah sakit. Tapi mengapa gara-gara itu aku dicek rahimnya? Atau jangan-jangan—” Celina penuh tanda tanya saat di dalam toilet. Sejenak wanita itu terdiam untuk berpikir, tidak langsung ke masuk ke bilik closet. Kemudian menatap ibu yang sudah tua mau masuk di bilik. Celina pun tersenyum licik, didekatilah ibu tua tersebut.
Sekitar 10 menit kemudian, Celina keluar dari toilet, dengan senang hati ia memberikan wadah urine pada perawat. Lalu, dengan bersama-sama kembali menuju ruang praktik.
Darren melirik istri keduanya dengan tatapan dingin, sementara Celina kembali duduk tanpa menatap suaminya.
Tanpa menunggu waktu lama, perawat menunjukkan alat tes masa subur. Dokter Rima menatap heran, sepertinya tidak sesuai perkiraannya.
“Bagaimana hasilnya, Dok?” Kali ini Celina yang buka suara, bukan Darren.
Dokter Mira menunjukkan hasilnya dengan memaksakan untuk tetap tersenyum. “Berdasarkan hasilnya ternyata kurang subur. Tapi, tidak perlu khawatir, ini hanya tes melalui urine, belum mencoba tes darah. Nanti jika memang ingin program hamil bisa dibantu dengan banyak makanan yang bergizi, obat subur, dan beberapa vitamin.” Wanita berjas putih itu menjelaskan.
Baru saja Celina ingin senang, malah dibuat meleyot.
“Kalau begitu tolong resepkan obat subur dan vitaminnya dulu, Dok, sebelum melakukan pemeriksaan di hari berikutnya,” pinta Darren terlihat tidak semangat.
Celina menatap curiga, dan semakin lama mulai memahami maksud dibawanya ia ke sini. “Anak! Apakah Tuan Darren menginginkan aku hamil? Ini tidak bisa dibiarkan!” batin Celina menduga.
“Baik, akan saya resepkan. Ngomong-ngomong Pak Darren bersama istrinya tidak mau mencoba program bayi tabung lagi? Kalau tidak salah terakhir kita coba setahun yang lalu ya. Siapa tahu kali ini tidak gagal?” tanya Dokter Rima.
Sontak saja wajah Darren terlihat pias, dan Celina menolehkan wajahnya dengan segala praduganya yang bermain dipikirannya.
“Nanti akan saya bicarakan kembali dengan istri saya, Dok,” jawab Darren dengan rasa enggannya.
Dokter Rima memberikan resep obatnya serta jadwal pemeriksaan berikutnya. Setelah itu Darren berpamitan, berjalan mendahului Celina. Sudah tentunya Celina tidak mengejar langkah pria itu. Hingga mereka sampai di parkiran mobil.
“Ada udang dibalik batu. Jangan-jangan dia membeliku hanya untuk melahirkan anaknya. Dasar Licik!” gumam Celina, ia tak peduli jika Darren dan Aryan mendengarnya.
“Aryan, bawa dia kembali ke mansion dan kunci dia di kamarnya!” perintah Darren, yang rupanya mendengar jelas ucapan istri keduanya.
“Laki-laki apaan yang kerjaannya hanya bisa mengunci dan menyetubuhi wanita dalam keadaan tak sadarkan diri! Dasar banci!” sahut Celina, tidak peduli jika orang lain mendengarnya.
Langkah Darren berhenti, begitu pun dengan Celina yang berjalan di belakangnya. Pria itu berbalik badan, wajahnya tampak tak bersahabat.
“Jangan buat saya emosi! Dan kamu pun telah berbohong!” balas Darren pelan tapi penuh penekanan.
Celina terkekeh pelan, seolah-olah sedang mengejek pria itu. “Saya tidak buat Tuan emosi, hanya mengatakan kebenarannya saja! Banci!”
Pertama kalinya Darren dikatain banci seumur hidupnya, sudah tentu ia tidak terima. Matanya mulai memanas, rahang tegasnya mengetat.
“Beraninya kamu berkata seperti itu pada saya! Jangan salahkan saya!” sentak Darren penuh emosi sembari mengikis jarak dengan istri keduanya. Lalu ia menarik lengan dan menyeret Celina secara paksa.
“LEPASKAN!” jerit Celina.