Bab 8. Kamu Milik Saya!

1062 Kata
Darren terus menggedor pintu kamar mandi, namun tidak ada jawaban. Napasnya memburu, rasa cemas perlahan menggantikan amarah yang sebelumnya menguasainya. Darren bukan tipe pria yang mudah panik, tetapi kali ini pikirannya kalut. Ucapan Celina tadi—tentang tidak ada gunanya hidup—berputar di kepalanya seperti gema yang menghantui. “CELINA! BUKA PINTUNYA SEKARANG JUGA!” teriak Darren lebih keras, suaranya menggetarkan seluruh kamar. Namun tetap tidak ada respons. Dengan cepat ia mengambil langkah mundur dan menendang pintu dengan kekuatan penuh. Satu kali tendangan, dua kali, hingga pintu itu terbuka dengan suara keras. Pemandangan yang menyambutnya membuat jantung Darren berhenti sejenak. Celina tergeletak di dalam bathtub, tubuhnya hampir tenggelam sepenuhnya di air berbusa yang meluber keluar. Wajahnya pucat pasi, matanya tertutup rapat, dan bibirnya membiru. “Celina!” Darren melangkah cepat mendekatinya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih tubuh wanita itu keluar dari bathtub. Tubuh Celina terasa dingin, seperti es, membuat Darren semakin panik. “Bangun! Jangan mati di hadapan saya!” Darren mengguncang tubuh Celina dengan kasar, mencoba membangunkannya. Namun, wanita itu tidak merespons. Dengan gerakan cepat, ia menempatkan Celina di lantai kamar mandi yang kering. Kepanikannya tidak membuat Darren kehilangan logika. Ia segera memeriksa denyut nadinya—lemah, tapi masih ada. Napasnya tersengal-sengal, tetapi tidak stabil. “Celaka! Apa yang harus aku lakukan?” Darren memaki dirinya sendiri, sebelum akhirnya teringat pada prosedur pertolongan pertama. Ia memiringkan kepala Celina dan mulai memberikan napas buatan. Tangannya yang besar dan kuat dengan hati-hati menekan d**a wanita itu, mencoba memompa jantungnya kembali ke ritme yang stabil. “Bangun, Celina! Jangan buat aku terlihat bodoh seperti ini!” Darren bergumam keras, nadanya penuh frustrasi bercampur ketakutan. Setelah beberapa kali tekanan, Celina terbatuk-batuk lemah. Air keluar dari mulutnya, dan tubuhnya menggigil. Darren merasa lega, meskipun ia tidak memperlihatkannya. “Celina, kamu dengar saya?” Darren bertanya, suaranya lebih lembut, tetapi tetap tegas. Mata Celina terbuka perlahan, menatap Darren dengan pandangan kosong. Tidak ada ketakutan atau kemarahan di matanya, hanya kelelahan dan keputusasaan. “Kenapa Tuan menyelamatkan saya?” gumam Celina pelan, hampir tidak terdengar. Darren menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena kamu milik saya. Saya tidak akan membiarkanmu mati seperti ini.” Celina tertawa kecil, suara tawanya lemah namun penuh ironi. “Milikmu? Hanya karena sudah membeli saya, ‘kan? Jadi, menurut Tuan hidup saya berarti hanya karena saya milikmu? Lucu sekali.” “Celina, jangan mulai lagi,” potong Darren, suaranya tajam, meskipun ada nada khawatir di dalamnya. “Saya tidak mau mendengar omong kosongmu sekarang.” Pria itu bangkit untuk mengambil handuk. Lalu menutupi tubuh istri keduanya. Wanita itu hanya menggelengkan kepala pelan, air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Darren mengangkat tubuh Celina dengan mudah dan membawanya keluar dari kamar mandi. Ia menempatkannya di atas ranjang, lalu menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal. “Kamu butuh dokter,” ujar Darren sambil meraih ponselnya. “Jangan,” Celina memotong cepat. “Saya tidak butuh dokter. Biarkan saja saya mati perlahan-lahan.” “Berhenti bicara omong kosong!” Darren membentak, tetapi suaranya terdengar lebih putus asa daripada marah. “Kamu tidak diizinkan mati, Celina! Mengerti?” Celina menatap Darren, matanya tajam meskipun tubuhnya lemah. “Apa pedulimu, Tuan Darren? Tuan hanya ingin saya hidup untuk melahirkan anakmu, bukan? Saya ini hanya rahim berjalan bagimu, tidak lebih.” Tebak Celina. Kata-kata Celina itu seperti pisau yang menusuk Darren. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Selama ini, itulah yang ia yakini—pernikahan dengan Celina hanyalah sementara untuk melanjutkan keturunan tanpa melibatkan perasaan. Tapi melihat wanita itu di ambang kematian tadi, ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa salah. Dan, bagaimana juga wanita itu bisa menduganya ke sana. “Saya tidak peduli apa yang kamu pikirkan,” jawab Darren akhirnya, nadanya dingin. “Tugasmu adalah tetap hidup. Kamu mengerti?” Celina tersenyum pahit. “Kalau begitu, selamat menikmati tugasmu menjaga rahim saya tetap hidup, Tuan Darren.” Darren tidak menjawab. Ia berjalan menuju jendela, mengusap wajahnya dengan frustrasi. Dalam hati, ia tahu bahwa Celina benar. Ia tidak pernah memandang wanita itu lebih dari sekadar alat untuk memenuhi tujuannya. Tapi melihatnya begitu rapuh dan putus asa, Darren merasa ada sesuatu yang menggerogoti hatinya—sesuatu yang tidak ingin ia akui. Pria itu tetap menghubungi dokter untuk memeriksa keadaan Celina, meski lagi-lagi wanita itu menolak diperiksa. Hari menjelang petang, suasana di kamar hotel terasa sunyi. Darren duduk di sofa, menatap makanan yang ia pesan tadi siang yang kini sudah dingin. Celina berbaring membelakangi Darren, tubuhnya menggigil meski sudah diselimuti. Salah satu tangannya sedang diinfus agar karena tubuhnya sangat lemas. “Celina,” panggil Darren akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya. Tidak ada jawaban. “Kamu butuh makan,” lanjut Darren, meskipun ia tahu Celina mungkin tidak akan menanggapinya. “Saya tidak lapar,” jawab Celina akhirnya, suaranya nyaris berbisik. Darren berdiri dan berjalan mendekati ranjang. Ia duduk di tepinya, mengamati punggung Celina yang terlihat begitu kecil dan ringkih. “Kalau kamu tidak makan, kamu akan semakin lemas badannya, dan tidak ada tenaga.” Celina membalikkan badan perlahan, menatap Darren dengan mata yang sembab. “Apa peduli Anda? Kalau saya mati, Tuan bisa mencari wanita lagi dan mencari rahim lain.” Darren menggeram pelan. “Berhenti bicara seperti itu!” Celina menatap Darren tajam, seolah menantangnya. “Kenapa? Tuan takut saya benar-benar mati?” Darren terdiam. Untuk pertama kalinya, ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, karena ia sendiri tidak mengerti apa yang ia rasakan. “Tuan Darren,” panggil Celina pelan, suaranya bergetar. “Jika suatu hari saya mati, tolong pastikan saya dikubur di tempat yang jauh dari kalian. Saya tidak ingin menjadi bagian dari hidupmu.” Kata-kata itu membuat Darren merasa seperti ditampar. Ia berdiri dengan kasar, mengalihkan pandangannya dari Celina. “Tidurlah, kalau kamu tidak mau makan. Kamu butuh istirahat.” Tanpa menunggu jawaban, Darren berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Celina sendirian. Tapi bahkan ketika ia berada di luar, kata-kata wanita itu terus terngiang di kepalanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Darren merasa kalah—bukan oleh orang lain, tapi oleh dirinya sendiri. Sementara itu, di mansion, Talita baru mengetahui jika Celina tadi pagi dijemput oleh Aryan atas perintah suaminya tanpa sepengetahuannya. Kini, ia sudah berulang kali mencoba menghubungi Darren, tapi tidak ada jawaban sama sekali. “Dibawa ke mana wanita itu? Keterlaluan kamu, Mas!” Talita geram sembari menatap layar ponselnya. Sebagai istri, Talita mengkhawatirkan madunya akan merebut perhatian suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN