Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Darren tampak terburu-buru keluar dari mobil begitu tiba di mansionnya. Saat di hotel, Aryan menyambanginya di kamar dan memberitahukan jika kedua orang tuanya akan makan malam di mansionnya. Ia baru teringat jika mode ponselnya disilent sehingga tidak mengetahui begitu banyak panggilan telepon yang tidak terjawab serta pesan yang masuk.
Langkah kakinya begitu bergegas saat masuk ke dalam mansion. “Kak.” Talita langsung berdiri ketika melihat suaminya masuk, dan menyambutnya dengan hangat, walau hatinya kesal pada Darren.
“Malam Pah, Mah,” sapa Darren dengan sudut bibirnya melengkung tipis.
“Malam, Darren. Hari ini tampaknya sangat sibuk sekali sampai tidak menjawab telepon Papa,” sindir Julian—papa Darren sembari menyesap kopi yang baru dihantarkan maid.
“Maaf Pah, tadi hpku low battery jadi aku tinggalkan begitu saja tanpa saat di-charge,” jawab Darren seraya mengecup pipi Karina—mama Darren.
“Untung saja asistenmu bisa Papa hubungi soalnya Mamamu sangat merindukanmu, dan ingin makan malam bersamamu,” lanjut kata Julian dengan menatap kekasih hatinya.
Talita mengukir senyum getirnya, bukan ia tak paham maksud kedatangan mertuanya dengan alasan merindukan anaknya. Ada udang dibalik bakwan.
“Talita, makan malamnya sudah siap?” tanya Darren saat melihat jam tangannya.
“Tadi sudah aku minta pak Janu untuk menyiapkan makan malamnya, Kak. Mungkin sebentar lagi akan siap,” balas Talita, suaranya begitu lembut.
“Seharusnya kalau mertua datang itu ... sesekali dimasakkin, jangan hanya mengandalkan chef atau maid untuk masak,” sindir Karina tanpa harus meninggikan suaranya.
“Lagi- lagi, itu saja yang dibahas, setelah ini nanti pasti bahas yang lain.” Talita membatin kesal.
Enaknya jadi istri orang kaya hampir semua pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh para maid, sang Nyonya Besar tinggal memberikan perintah, dan duduk manis saja. Walau sebenarnya tidak semuanya istri orang kaya seperti itu. Kadang ada yang masih menyempatkan waktu memasak untuk suami dan anak-anaknya, yang biasa dilakukan oleh Karina selama menjadi istri Julian.
Tapi, khusus Talita, ia adalah Nyonya Besar yang hanya tinggal memberikan perintah, tidak pernah namanya memasak atau mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga. Ia pikir suaminya pun tidak meminta ia untuk memasakkinya. Padahal seorang suami akan semakin senang dan tambah sayang jika istrinya masak untuknya.
“Mah.” Darren terlihat tidak suka kalau mamanya kembali menyindir istrinya.
Wanita paruh baya itu menyinggungkan senyum miring pada putranya. “Darren ... Darren, kamu tuh terlalu memanjakan istrimu. Sampai lupa kodratnya sebagai istri. Istri tuh bukan hanya melayani urusan perut bawah suaminya, tapi perut atas juga harus diperhatikan, meski kamu memperkerjakan maid. Tanya sama papa kamu, dan kamu sendiri ... kalau pas Mama masak, kalian pasti senangkan?” tanya Karina.
Darren menarik napasnya dalam-dalam, kalau sudah persoalan ini ia tidak bisa berdebat. Karena fakta kenyataannya mamanya memang selalu menyempatkan meluangkan waktu untuk memasak buat papa dan anaknya.
“Permisi Tuan, Nyonya, makan malamnya sudah siap.” Janu datang bagaikan penyelamat di sela perdebatan yang terjadi di ruang utama.
“Kalau begitu Mah, Pah, kita langsung ke ruang makan saja,” ajak Darren tampak lega. Begitu pun Talita, ia tersenyum hangat sembari merangkul lengan suaminya.
**
Makan malam pun berlangsung dengan tenang, belum ada pembicaraan yang serius di meja makan. Julian hanya sesekali menanyakan proyek pembangunan mall terbaru yang sedang dijalankan. Dan, Karina masih menahan diri untuk tidak berceletuk demi menjaga suasana makan malam mereka agar tetap kondusif. Namun, setelah menu main course telah selesai mereka santap, barulah Julian membuka pembicaraan yang serius.
“Darren, Papa ingin bicara serius pada kalian berdua,” ujar Julian.
“Ya, Pah,” tanggap Darren seraya mengusap sudut bibirnya dengan serbet. Sementara hati Talita sudah mulai waspada.
“Mengenai permintaan Papa dan Mama tempo hari, besok kamu harus ikut Papa menemui keluarga pak Renald. Papa ingin kamu berkenalan dengan putrinya yang baru saja pulang dari Australia.”
Pada saat itu juga Talita langsung menyentuh tangan suaminya yang berpangku di atas meja makan. Ia menggenggamnya seakan mencari kekuatan dari sentuhan suaminya.
“Kamu harus segera memiliki anak, Darren. Mama dan Papa sudah lama menanti cucu dari kamu, penerus keluarga Mahendra. Tapi hingga saat ini istri kamu belum juga hamil. Dan kali ini kamu jangan menolak lagi, Darren. Dan kamu, Talita, sebagai istri yang belum bisa memberikan anak pada Darren harus mengikhlaskan suami kamu menikahi wanita lain. Pastinya Darren bisa bersikap adil padamu dan madumu!” tegas Karina dengan pandang mata seriusnya.
Tebakan Talita benar, pasti akan membicarakan masalah ini kembali. Kalau bisa dihitung sudah puluhan kali mertuanya mengungkit perihal anak.
Talita dengan sikapnya yang sangat tenang malam ini mengulum senyum. “Kak Darren, mungkin sudah saatnya kita memberikan kabar baik buat Mama sama Papa, ya?” tanya Talita, suaranya begitu lembut.
Dengan kening yang mengerut, pria itu menatap istrinya heran. Karena mereka berdua belum membicarakan perihal pernikahannya dengan Celina harus dikasih tahukah atau tidak kepada orang tuanya.
“Kabar baik apa, Talita?” Karina terpancing, penasaran.
Perlahan-lahan wanita itu kembali menatap mama mertuanya. “Begini Mah, aku dan Kak Darren sedang menjalankan program bayi tabung kembali. Dan, kemarin baru saja periksa ke dokter, dan hasilnya ... kemungkinan—“ Talita kembali menatap suaminya dengan tatapan teduhnya, sedangkan Darren terdiam seraya mencerna arah omongan Talita.
“Hasilnya positif, Mah. Kami sebentar lagi akan memberikan cucu buat Mama dan Papa. Berita ini sebenarnya akan kami sampai saat kandunganku sudah berusia satu bulan,” lanjut kata Talita dengan ekspresi bahagia.
Karina dan Julian yang sejak tadi mendengarkan tidak terlihat ‘wah’ reaksinya. Justru terlihat tenang.
“Benar, istri kamu hamil, Darren?” tanya Karina, sedikit curiga bolehkan.
Sungguh Darren tidak tahu mengapa Talita berkata seperti itu, ia pikir istrinya akan memberitahukan mengenai Celina, ternyata tidak. Genggaman tangan Talita semakin erat, seakan meminta dirinya menjawab sesuai yang ia sampaikan.
“Untuk lebih pastinya, kami harus menunggu jadwal kontrol minggu depan, Mah,” jawab Darren sembari membayangkan wajah Celina.
Talita tersenyum, suaminya mau mendukungnya. “Jadi Mah, Pah, untuk kali ini mohon maaf, jangan menyuruh suamiku untuk menikah lagi. Dan mohon doanya agar kandunganku sehat sampai menjelang lahir,” pinta Talita.
"Kenapa aku ragu?" batin Karina masih belum memercayai kabar baik tersebut.