Bab 10. Ceraikan Wanita itu!

1009 Kata
Celina terbangun dari tidurnya, dan tidak tahu sama sekali jika Darren sudah meninggalkan kamar hotel. Hanya saja ia tidak sendiri, ada salah satu bodyguard yang masih berjaga, dan wanita paruh baya yang tidak Celina kenal. “Alhamdulillah, Mbak-nya sudah bangun,” ujar wanita paruh baya itu dengan membawa secangkir teh manis hangat, kakinya melangkah menuju ranjang. Celina agak menyipitkan matanya sembari menggeser posisi berbaring menjadi duduk bersandar di kepala ranjang. “Ibu siapa ya? Kok bisa ada di sini?” tanya Celina. Wanita paruh baya yang berparas ayu itu tersenyum, kemudian duduk di tepi ranjang, lalu menyodorkan cangkir teh yang ia bawa kepada Celina. “Saya Bu Marni, asisten kepala pelayan di mansion tuan Darren. Saya diminta untuk menjaga Mbak Celina,” ungkap Bu Marni, suaranya terdengar ramah. Celina menarik napas dalam-dalam, lalu meneguk teh hangat tersebut perlahan-lahan. “Tuan Darren meminta Mbak-nya untuk segera makan jika sudah bangun. Makanannya sudah saya hangatkan,” lanjut kata Marni. Wanita itu tersenyum getir saat tepi cangkir sudah menjauh dari bibirnya. “Buat apa saya makan, Bu? Hidup saya tidak ada gunanya,” balas Celina begitu lirihnya. Ia memalingkan wajahnya dengan mengusap ujung matanya yang sedikit berair. Marni hanya sekilas mengetahui kedatangan Celina di mansion Darren, belum ada perkenal di antara mereka. Hanya saja Susi sudah menyebarkan gosip kalau ada maid baru yang songong. Marni tidak menelan informasi tersebut begitu saja, karena pada malam Darren memasuki kamar tamu yang ia ketahui ada wanita tersebut, ia melihat dengan jelas. Lalu, sekarang ia diminta khusus datang ke hotel oleh majikannya untuk mengurus dan menemaninya. Terbersitlah di pikirannya jika Celina bukanlah maid, dan mana mungkin Darren akan seperhatian ini pada maidnya. Marni sejak tadi memperhatikan wajah Celina yang pucat, kini ditambah perkataan tersebut, menunjukkan ada sesuatu yang terjadi. “Mbak Celina, kita belum saling mengenal. Tapi izinkan saya untuk mengatakan sesuatu hal. Boleh diabaikan saja jika tidak bisa menerimanya. Saya tidak tahu apa yang sedang dialami sama Mbak Celina, yang saya tahu Mbak sedang sakit, jadi pikiran ke mana-mana, tidak bisa berpikir dengan jernih. Mungkin alangkah baiknya Mbak ceritakan apa yang sekarang menjadi beban di hati, agar hatinya lega, dan jangan pernah berkata hidup tak ada gunanya. Sementara jenazah yang sudah dikebumikan saja ingin minta hidup lagi, untuk memperbaiki hidupnya. Allah tidak akan memberikan masalah yang berat jika hambanya tidak mampu menjalaninya. Kalau Mbak merasa apa yang dijalani berat ... itu karena Mbak belum bisa menerimanya, dan hal seperti ini sangat lumrah, hanya saja kita pun jangan terlalu berlarut tenggelam dalam masalah itu,” imbuh Marni dengan intonasinya sangat lembut seperti seorang ibu yang sedang menasehati anaknya. Celina tertegun, ia kembali menatap wanita paruh baya tersebut dengan tatapan yang penuh luka. Marni mengambil cangkir teh dari tangan Celina, lalu menyentuh tangan Celina yang begitu dingin. “Kamu sangat cantik, kamu masih muda, jangan sia-siakan hidupmu. Hari ini boleh kamu merasa sakit dan terluka, tapi esok hari kita tidak tahu apa yang terjadi. Bisa jadi ada kebahagiaan yang sedang menanti kita dibalik sebuah musibah. Ingat kita masih punya Allah tempat kita mengadu dan meminta. Hidup kita sangat berharga jika kamu bisa menelaah dan menyelami apa yang saat ini kita hadapi,” tutur Marni dengan tatapan matanya yang amat teduh. Tanpa terasa air mata kembali luruh di pipi Celina. Hatinya tersadar akan kata-kata Marni. Rasa rindu pada mamanya menyeruak, selama ini ia rindu akan kasih sayang seorang ibu yang bisa menyemangatinya di saat rapuh, hanya saja yang ia dapati hanyalah perintah dan caci maki dari Puspa semenjak mamanya meninggal. “Bu, bo-boleh saya minta peluk?” tanya Celina agak terbata-bata. Marni tersenyum hangat, ia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, tangan kirinya merangkul bahunya. Menangis lah Celina dalam pelukan Marni yang terasa hangat. “Menangislah, biar hatimu lega. Setelah itu bangkitlah, kamu harus sehat kembali, dan hadapi semua rintangan hidup ini dengan hati yang lapang. InsyaAllah pasti kamu bisa melaluinya, percayalah,” ujar Marni menyakinkannya sembari mengusap lembut punggung Celina. Celina hanya mengangguk pelan dalam pelukan Marni. Dengan hadirnya Marni setidaknya ada yang menyadarkan dirinya, untuk tidak tenggelam terlalu lama dalam kesedihan. ** Sementara itu, di mansion Darren. Sepulang kedua orang tua Darren, pasangan suami istri tersebut langsung ke kamar. Wajah Darren baru terlihat kecewa pada Talita. “Mengapa tadi kamu mengatakan kebohongan tersebut pada kedua orang tuaku, Talita?” tanya Darren sembari melepaskan jasnya, lalu meletakkan ke atas ranjang. “Karena aku tidak mau Kak Darren menikah lagi! Aku baru menyadari jika hatiku lemah, tidak sekuat yang aku pikirkan. Aku tidak terima dipoligami, dan aku minta Kak Darren lepaskan wanita itu, ceraikan dia dan pulangkan pada orang tuanya,” pinta Talita dengan menggebu-gebu. “Apa! Apa yang kamu bilang barusan? Aku menikah lagi karena permintaan dan persetujuan kamu! Dan sekarang dengan semudah itu kamu meminta aku menceraikannya!” Pria itu menyugarkan rambutnya ke belakang sembari terkekeh. Talita lantas berdiri dan menatap heran pada suaminya. “Jadi Kak Darren menyalahkan aku! Aku memintanya pun karena desakan kedua orang tuamu! Jujur di hatiku tidak mau dipoligami. Andaikan saja orang tua Kakak tidak selalu mengungkit-ungkit persoalan anak, mana mungkin aku menyuruh suamiku menikah lagi. Sekali lagi, tolong segera ceraikan wanita itu!” “Tapi Talita, kesepakatan kita menunggu dia melahirkan anakku, baru setelah itu aku akan menceraikannya!” balas Darren dengan tarikan napas kecewanya. Talita menggelengkan kepalanya. “Tidak usah menunggu dia melahirkan anakmu, Kak. Sudah jelas-jelas ia mengatakan padaku rahimnya bermasalah. Dan tidak akan bisa hamil. Untuk masalah anakmu, rencananya besok aku akan mencari ibu pengganti, sewa rahimnya tanpa harus Kak Darren menikahinya. Serta, biarkan mama dan papa mengetahui jika aku'lah yang mengandung dan melahirkan anakmu,” balas Talita penuh percaya diri. Pria itu memutar malas bola matanya. “Kamu pikir semudah itu? Dan sepertinya kamu sangat yakin jika Celina tidak bisa hamil anakku?” Wanita itu menyipitkan mata, tatapannya penuh kecurigaan pada suaminya. Lalu teringat jika Celina tidak ada di mansion. “Adakah sesuatu yang tidak aku ketahui, Kak? Dan, aku baru teringat jika Celina tidak ada di mansion, kata kepala pelayan Ziyad tadi pagi diminta sama Kakak untuk menjemput Celina? Apakah Kak Darren mulai berkhianat padaku?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN