Talita berdiri mematung di depan Darren yang masih tertidur. Pikirannya berkecamuk, memikirkan aroma yang menempel di jas suaminya. Aroma itu seakan menjadi bukti baru yang membuat hatinya semakin terluka dan curiga. Perlahan, ia meletakkan kembali jas tersebut, namun tatapannya tajam menyiratkan amarah yang tertahan. “Bisa-bisanya Kak Darren berpura-pura tidur tenang, sementara aku tersiksa dengan semua ini,” gumam Talita lirih, sebelum akhirnya ia memutuskan keluar dari ruang kerja. Di ruang makan, sarapan telah disiapkan. Aryan, asisten pribadi Darren, berdiri sambil mengecek beberapa dokumen. Melihat Talita yang datang dengan wajah kusut, ia menyapa hati-hati. “Selamat pagi, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Aryan sopan. Talita menatap Aryan sejenak, lalu menghela napas. “Ar