Talita berdiri di ruang tamu, rahangnya mengeras. Sepeninggal Puspa dan Livia, amarahnya tak bisa ditahan lagi. Darren masih berdiri di tempatnya, matanya memicing, menatap istrinya yang tampak seperti bara api siap meledak.
“Ini semua gara-gara kamu, Kak Darren!” Talita menunjuk suaminya. “Kalau saja kamu tidak membiarkan wanita itu masuk ke dalam hidup kita, kita tidak perlu berurusan dengan orang-orang seperti mereka!”
Darren menghela napas panjang, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Talita, kamu semakin menudingku! Sudah jelas-jelas ini kesepakatan kita bersama!”
“Kesepakatan bersama?” Talita tampaknya tidak mau disalahkan, ia mendekat dengan langkah cepat, jarak mereka kini hanya beberapa inci. “Jangan munafik, Kak Darren. Kakak itu mendadak berubah semenjak membawa wanita itu ke sini! Bahkan keluarganya pun sama bermasalahnya. Sekarang, ibunya sudah terang-terangan mengatakan Celina adalah wanita licik di hadapan kita! Dan Kakak? Masih saja membelanya!”
“Karena dia tidak bersalah!” Darren membalas dengan nada tajam. “Celina hanya korban dari keadaan, Talita. Kamu tahu itu. Dia dijual oleh orang tuanya, dan aku yang beli! Tapi, kalau kamu terus menyalahkannya, masalah ini tidak akan pernah selesai.”
Talita tertawa kecil, sinis. “Korban? Kalau memang dia korban, kenapa Kak Darren sekarang melindunginya seolah-olah dia lebih penting daripada aku? Jangan bilang kalau kamu sudah mulai jatuh hati padanya, Kak Darren.”
Darren tak langsung menjawab. Tatapannya menusuk mata Talita, namun ia memilih memalingkan wajah, membiarkan tuduhan itu menggantung di udara.
Melihat respons Darren, Talita merasa darahnya mendidih. Dia menyeringai kecil, merasa telah menemukan kelemahan suaminya. “Benar, kan? Kamu sudah mulai menyukainya. Apa jangan-jangan dia lebih hebat urusan di ranjangnya dibandingkan denganku, sehingga Kak Darren berubah seperti ini!” tuding Talita.
“Cukup, Talita.” Darren memotong tegas. “Jangan memperkeruh keadaan.”
“Dan kamu lupa siapa yang memintaku menikahinya? Kamu, Talita! Kamu sendiri yang mendorongku agar aku punya anak kandung! Dan, aku tegaskan, aku tidak memiliki perasaan apa pun pada perempuan itu!” Darren balas dengan nada yang mulai meninggi.
Talita terdiam sejenak, dadanya naik-turun menahan napas yang berat. “Baik. Kalau memang Kak Darren tidak ada perasaan pada dia, buktikan. Bawa dia kembali ke mansion besok, dan ceraikan dia setelah itu. Aku tidak mau dia ada di antara kita lagi.”
“Talita .…” Darren menggelengkan kepalanya, menatap Talita dengan lelah. “Aku sudah bilang, aku akan menceraikannya sesuai kesepakatan awal, setelah dia melahirkan anakku.”
“Dia tidak akan pernah melahirkan anakmu, Kak Darren! Celina sudah mengaku padaku kalau dia tidak bisa hamil!” Talita menekankan kalimatnya, seolah ingin memastikan Darren percaya pada kata-katanya.
Darren menatap Talita tajam. “Kamu begitu yakin dengan itu? Bagaimana kalau dia memang hamil, dan kamu salah?”
Talita terdiam, namun amarahnya belum surut. “Aku tidak peduli! Kalau dia memang hamil, aku tetap tidak mau dia ada di sini lebih lama!”
Darren mendengus, menggelengkan kepala. Ia melangkah ke arah pintu. “Aku tidak mau membahas ini lagi. Kalau kamu mau marah, marahlah sendiri. Aku akan tidur di ruang kerja malam ini.”
“Lari dari masalah tidak akan menyelesaikan apa-apa, Kak Darren!” teriak Talita, tapi Darren sudah menghilang dari pandangnya.
***
Di ruang kerja, Darren duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop yang menyala tanpa benar-benar memperhatikan isinya. Pikirannya dipenuhi oleh Celina dan Talita.
Ia menghela napas berat, mengambil ponsel dari meja. Jemarinya ragu mengetikkan pesan singkat untuk Marni, memastikan Celina baik-baik saja di hotel. Namun sebelum pesan itu terkirim, ia menghapusnya.
“Besok saja, aku akan ke sana,” gumamnya pada diri sendiri. Namun, hatinya semakin gelisah, apalagi mengingat istri keduanya hampir kehilangan nyawa di depan matanya sendiri.
Ia menyandarkan kepala di kursi, memijat pelipisnya yang mulai terasa berat. Dalam diam, Darren merasa pernikahan ini mulai berjalan di jalur yang semakin berbahaya.
Di lain tempat, Talita masih berdiri di depan pintu kamar dengan d**a naik turun, emosinya belum juga mereda. Kata-kata Darren tadi terus terngiang di kepalanya, seperti duri yang menusuk tanpa henti. Ia merasa posisinya sebagai istri pertama terancam, meskipun Darren dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada hati untuk Celina.
Talita menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Namun, pikirannya tidak mampu tenang. Ia tahu, jika ia membiarkan situasi ini begitu saja, Celina akan semakin menguasai hati suaminya pikirnya. Dan, untuk pertama kalinya Darren tidur di ruang kerja, tidak tidur ke kamar utama, hati Talita semakin sakit.
Sementara itu, di hotel tempat Celina menginap, suasana mulai mereda. Setelah tangis panjang dalam pelukan Marni, dan bercerita apa yang terjadi padanya, hati Celina merasa sedikit lebih ringan. Makanan yang telah dihangatkan oleh Marni pun sudah ia makan meski tidak habis.
Ia kini duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang memperlihatkan pemandangan kota malam hari.
“Bu Marni, apa semua ini akan benar-benar berakhir?” tanya Celina lirih, suaranya hampir tenggelam dalam suara angin AC yang berhembus.
Marni yang duduk di sofa dekat meja hanya tersenyum lembut. “InsyaAllah, Mbak Celina. Setiap badai pasti ada akhirnya. Tapi untuk itu, Mbak harus kuat. Jangan biarkan orang lain menentukan masa depan Mbak.”
Celina mengangguk pelan, namun ragu masih tergambar jelas di wajahnya. “Oh iya Bu, jangan lupa minta tolong belikan pil KB dan tanyanya juga obat lain yang bisa mencegah kehamilan ya,” pinta Celina.
“Baik Mbak, kalau begitu saya tinggal sebentar untuk membelinya.” Bu Marni beranjak dari duduknya.
Bu Marni cukup terkejut mendengar cerita Celina, lantas ia mendukung wanita itu jika tidak mau sampai ia mengandung anak tuannya, meski di hati kecilnya ia menyayangkan tuannya yang hingga saat ini belum memiliki anak. Karena, ia sangat tahu Darren penyayang anak-anak.
“Hari ini sudah cukup aku bersedih, tersakiti, besok aku harus kuat menghadapinya. Celina jadilah wanita yang kuat. Kamu kuat, dan jangan biarkan tuan Darren menindasmu,” gumam Celina bertekad.
***
Keesokan harinya ....
Talita bangun lebih awal dari biasanya. Wajahnya masih menyisakan kekesalan malam sebelumnya. Ia berjalan menuju ruang kerja Darren, mendapati pintu sedikit terbuka. Pria itu terlihat tertidur di sofa panjang, dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya.
Talita mendekat, berhenti di depan suaminya. Ada keinginan untuk membangunkannya, hanya saja ia mengurungkan. Tangannya pun menggapai jas yang disampirkan di bahu sofa. Ia mengendus jas suaminya, kebiasaan yang sering ia lakukan untuk mengecek wangi yang menempel di baju suaminya. Hatinya semakin berderu cepat saat mencium wangi yang berbeda, bukan wangi parfum Darren.
“Aku semakin tidak percaya denganmu, Kak,” batin Talita begitu perih.