Ponsel yang sudah dimasukkan ke dalam tas berdenting. Senja masih sibuk memeriksa beberapa berkas sebelum di simpan dalam map.
"Ja, ayang Sabda telepon tuh!" Dengan dagunya, Nina menunjuk tas Senja di meja kerja.
Sontak senjak melotot pada Nina, suara gadis itu cukup keras hingga membuat salah seorang rekan di sebelah mereka yang hanya tersekat papan pendek memandang heran. "Hayo, Senja. Punya gebetan baru, ya?" seloroh rekan di sebelah yang usianya jauh di atas mereka. Senja tersenyum sambil menggeleng. "Jangan dengerin Nina, Mbak."
Senja membuka tasnya. Mengambil benda pipih yang nyalanya belum padam. Ada satu pesan masuk, bukan dari Sabda tapi dari Arga.
[Senja, aku tunggu di dekat Halte.] Bunyi pesan yang dikirim pria itu.
Tanpa membalas, Senja memasukkan kembali ponsel ke dalam tas. Sebenarnya dia hanya ingin diam dan tidak ingin ditemui. Menenangkan diri agar bisa memberikan maaf dan melupakan tentang peristiwa kemarin. Arga yang selama ini begitu perhatian dan manis, membuat Senja nyaman bersamanya. Mereka juga tak pernah cekcok selama menjalani hubungan. Bahkan Senja juga baru tahu kalau keluarga Arga menentang hubungan mereka sewaktu di vila. Ucapan kakaknya sangat tajam dan mempermalukan Senja di hadapan tamu undangan di sana. Dipikirnya selama ini semua baik-baik saja.
Beberapa kali bertemu, mamanya Arga sangat baik. Senyum ramah menghiasi bibirnya ketika mengajak Senja bicara. Hanya kakak perempuannya yang memang sinis dan tak pernah bicara apapun dengan Senja. Arga juga selalu meyakinkan, bahwa keluarganya tidak mempermasalahkan hubungan mereka.
Ternyata terjawab sudah semuanya. Senja bukan kriteria yang pantas untuk Arga. Standar yang mereka tetapkan tak ada pada Senja.
"Ja, ayo kita pulang. Sudah jam empat ini." Nina menyentuh bahu temannya yang menyusun file sambil melamun. Senja mengangguk, kemudian melangkah menyusul Nina.
"Aku di jemput di depan," kata Senja saat keluar dari pintu kaca.
"Siapa yang jemput? Mas Sabda?"
"Bukan. Arga yang nunggu di halte."
"Untuk apa menemuimu lagi?"
"Entahlah!"
"Nggak usahlah kamu pedulikan lagi. Dia sudah jadi tunangan orang. Kamu juga sudah jadi istri orang. Menurutku lebih baik kalau kamu membangun hubungan yang lebih intens dengan Mas Sabda." Nina terus bicara sambil menuju gerbang utama.
Senja tak menanggapi ucapan sahabatnya. Keluarga Sabda malah belum di kenalnya. Apa mungkin mereka mau menerima gadis yang pernah di pacari keponakannya? Bukankah mereka satu keluarga yang bisa saja punya standard yang sama untuk calon menantu.
Nina berhenti di depan pintu pagar. Dia membiarkan Senja menghampiri Arga yang berdiri tak jauh dari halte. Sebenarnya mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Sayang orang tua Arga menginginkan menantu yang sama-sama kaya. Oh, mereka belum tahu saja kalau sebenarnya Senja juga cucu dari tuan tanah di desa itu. Nina berhenti memandang Senja saat dia harus menyeberang dan menunggu bis kota.
"Kenapa menungguku di sini?" tanya Senja tanpa menatap pria yang tak mengalihkan pandangan dari wajah cantik yang kelelahan di hadapannya.
"Kita bisa bicara sebentar. Please!"
Senja akur. Dia mengikuti dan masuk mobil Arga. Pria itu membawanya ke sebuah kafe tempat biasa Arga dan Senja menghabiskan waktu bersama di sela kesibukan mereka. Kafe minimalis dengan nuansa rustic. Mereka mengambil tempat duduk yang menghadap langsung ke taman. Ada kaca besar sebagai dinding di hadapan. Material bata pada bagian lain dinding cafe membuat suasana ruangan terasa hangat. Desain lampunya juga unik sebagai pelengkap interior kafe.
Ada kenangan jejak kebersamaan mereka di sana. Membuat Senja terlempar pada beberapa waktu yang lalu sebelum segalanya hancur di Minggu pagi. Andai tempat ini bisa bicara, pasti sudah mengungkapkan banyak hal tentang rancangan masa depan mereka yang pernah di diskusikan di bangku itu.
Arga memesan dua moctail. Minuman favorit mereka. Sejenis minuman dengan karakteristik sama seperti Cocktail, hanya saja Mocktail tidak mengandung alkohol. Kadang hanya berupa soda yang dicampur sirup atau jus buah. Dan dilengkapi dengan potongan daun mint sebagai penyegar. Lemonade menjadi menu moctail pilihan Arga.
"Benarkah hari Minggu itu kamu di antar Sabda pulang?" Arga membuka pertanyaan setelah cukup lama mereka saling diam.
Senja mengangguk. Walaupun dalam hati kaget dan bertanya-tanya. Sabda telah cerita sapa saja. Tapi melihat sikap Arga yang masih tenang, pasti Sabda belum memberitahu sepupunya tentang pernikahan siri mereka.
"Kapan kamu punya waktu untuk mengantarku bertemu Ibu. Aku ingin minta maaf."
"Ibu nggak mempermasalahkan hal itu lagi. Semua telah selesai."
Hening sejenak. Arga menyesap minumannya. "Aku hanya ingin kamu yakin, bahwa aku terpaksa dengan perjodohan ini. Aku nggak ingin memberitahumu karena aku akan tetap datang kepada ibu untuk minta waktu sampai selesai urusanku dengan Citra. Percayalah, kalau perasaanku nggak pernah berubah."
"Mas, ingin aku seperti apa? Menunggu dan melukai perempuan itu? Aku nggak bisa."
Arga mengeluarkan ponselnya. Dia menunjukkan semua chat-nya dengan Citra. "Nggak ada satu pun percakapan yang kuhapus."
Senja membaca percakapan itu dengan hati berdebar. Ada satu kalimat yang berulang kali di bacanya. "Semoga gadis itu masih menunggumu, Mas. Sampai hubungan ini selesai. Jangan khawatir, aku akan membantumu. Maafkan jika papaku yang membuat papamu memaksakan perjodohan kita."
Di gesernya ponsel itu di depan Arga. "Sudah hampir Magrib, Mas. Aku mau pulang." Lebih baik dia pergi sebelum rasa itu kembali kokoh bertahta. Permasalahan mereka tak sesederhana itu. Ada Sabda yang sudah menjadi suaminya, walaupun mungkin karena terpaksa. Ada gadis itu juga. Ada keluarga besar yang terlibat dalam hubungan itu sekarang.
"Kabari jika kamu ada kesempatan mengantarkan aku pada Ibu," pinta Arga ketika mereka melangkah ke luar kafe. Saat itu langit barat sudah merona jingga. Dan Senja tidak memberikan jawaban.
* * *
[Aku sudah di depan.]
Pesan masuk dari Sabda. Senja yang telah rapi dengan pakaian kasual segera berdiri dan mengambil sling bag di atas kasur.
Sabda membukakan pintu depan. Wangi parfum beraroma mint kesukaan pria itu tercium saat Senja masuk dan duduk.
"Pakai seatbelt, kita akan lewat kota untuk ke pelabuhan." Sabda membantu Senja memakai sabuk pengaman. Pria itu tersenyum saat bersitatap dengan Senja. Bahkan menggoda gadis itu dengan menatapnya cukup lama.
* * *