Part 10 Rasa Bersalah 2

873 Kata
"Aku akan datang ke keluarganya dan menjelaskan semuanya." "Tak perlu," jawab Sabda cepat dan membuat Arga memandangnya. "Kenapa?" "Tanyakan pada Senja, nanti kamu tahu jawabannya. Lagian kamu juga sudah tunangan dengan Citra. Apa yang kamu harapkan lagi dari Senja." "Kami nggak serius." "Serius atau tidak bagi kamu. Tentu tak akan sama menurut keluarga kita. Kalau tak mau, seharusnya kamu bisa menentang dari awal. Bukan menurut lantas menghancurkan." "Aku mencintai Senja." Ucapan jelas Arga membuat Sabda terdiam dan membuang pandangan. Mencintai. Mencintai seperti apa? Sedalam apa? Mencintai harusnya tak pernah membuat orang yang di cintai menunggu, menangis, dan hampir di permalukan. Pembicaraan terhenti saat Bela keluar dan bergabung dengan mereka. Gadis itu meletakkan Coklat Merlion di atas meja. Oleh-oleh khas Singapura yang bentuk coklatnya seperti patung Merlion, sedangkan cita rasa yang ditawarkan dijamin bakal berkesan. Bela juga membawakan tiga minuman soft drink. "Apa kabar, Arga?" tanya Bela pada Arga. "Baik." "Kudengar udah tunangan Minggu kemarin? Wah, aku tinggal menunggu undangannya dong. By the way, bukan dengan kekasihmu waktu itu, 'kan? Siapa itu namanya? Yang pernah kamu kasih tahu ke aku." "Senja." "Kalian putus?" Arga tidak menjawab. Di ambilnya minuman kaleng dan menenggak isinya hingga habis. "Aku belum tahu wajah Senja, kalian malah dah putus," tambah Bela. Sementara Sabda mengambil ponsel yang bergetar di saku celana pendeknya. Ada balasan pesan dari Senja. [Aku baik-baik saja, Mas. Maaf baru balas. Tadi aku pulang kerja langsung nyuci baju dan masak.] [Wah, istri idaman dong ini.] Sabda mengirim balasan sambil tersenyum. Bela melihat itu. Entah kenapa hatinya terasa nyeri. Apakah Sabda sudah punya penggantinya? Ada sesal dan rasa bersalah meruncing dalam benak. Bahwa sebenarnya lelaki itu tak pernah pergi dari hatinya. Emot senyum yang dikirim Senja sebagai balasan pesan dari Sabda. Pukul sembilan malam Arga pamitan pulang bersamaan dengan Bela dan orang tuanya. Sedangkan Sabda masih duduk di teras, memandang kelamnya langit malam. Mendengar pengakuan Arga tadi, membuat Sabda tidak sabar menunggu hari esok dan bertemu Senja. Apakah gadis itu baik-baik saja setelah mendapatkan penjelasan dari Arga dan mungkin berniat kembali pada pria yang dicintainya? * * * "Sabda, Bela makin cantik, 'kan?" Bu Airin bicara pada putranya saat mereka sedang sarapan. "Perempuan mana pun bisa cantik kalau banyak uang dan perawatan, Ma." "Beda, dong. Bela emang udah cantik dari sononya. Pintar pula tuh." Sabda tidak menanggapi lagi pujian mamanya. Dia fokus menghabiskan sarapannya karena harus lekas berangkat ke kantor. Sementara sang mama masih asyik memuji gadis itu. Memancing putranya agar mau bicara sesuatu. Namun Sabda tetap bungkam. Tidak seperti dulu yang selalu antusias membahas sosok gadis yang dicintainya. "Akhir tahun ini kita liburan." Pak Prabu mengalihkan pembicaraan. Bu Airin dan putra bungsunya langsung berbinar memandang pria berkacamata minus itu. Sabda tetap diam mengunyah suapan terakhirnya. "Ke mana, Pa?" tanya Bumi bersemangat. "Maunya ke mana?" "Santorini." "Grand Canyon," jawab Bumi bersamaan dengan mamanya. Sayang tujuan mereka berbeda. "Kita liburan di dalam negeri saja." "Ih, Papa. Tadi tanya maunya ke mana? Giliran di jawab malah bilang dalam negeri saja." Protes Bu Airin. Kecewa, karena sudah lama beliau ingin ke Santorini. Pak Prabu tersenyum. "Cuti akhir tahun hanya beberapa hari saja. Nggak akan sempat kalau perjalanan jauh. Sabda juga sibuk, 'kan?" Pak Prabu memandang putra keduanya. Sabda mengangguk. Tentu saja sibuk. Setiap tahun, para profesional keuangan menghabiskan waktu mereka ke dalam pembukuan untuk menyiapkan akun, laporan, dan dan membuat laporan keuangan akhir tahun perusahaan. Timnya membutuhkan waktu hampir sebulan untuk menyelesaikan penutupan laporan keuangan tahunan. Waktu akhir tahun juga bertepatan dengan penutupan akhir bulan dan pelaporan akhir kuartal, yang berarti beban kerja yang jauh lebih berat dan akuntan yang kewalahan. Mencermati angka-angka dan meneliti laporan jika ada ketimpangan bukan hal yang mudah. Dan Sabda bertungkus lumus untuk itu mulai bulan depan. Terkadang harus begadang hingga larut malam. Meski cucu dari Tedjo Suryantoro pemilik perusahaan terkemuka itu, bukan berarti Sabda langsung mendapatkan jabatan enak di perusahaan. Apalagi langsung bisa menempati posisi CEO. Ah, itu hanya ada dalam mimpi menempati posisi tinggi di saat dirinya baru lulus kuliah, walaupun pendidikan yang ditempuhnya S2. Dirinya juga Arga wajib merangkak dari nol dan meniti karir serta harus berprestasi jika ingin jabatan tinggi. Mungkin fasilitas bisa di penuhi, tapi posisi tertinggi harus di tempuh dengan prestasi kerja. Bahkan untuk mobil, Sabda mencicil sendiri karena itu kemauannya. Jenjang pendidikan tinggi tak menjamin dia langsung mendapat posisi sebagai pimpinan yang hanya bisa di isi oleh orang yang berpengalaman. Posisi itu sekarang masih terisi oleh Papanya, Om, dan Chandra, kakaknya Sabda. Juga Nindy, saudara perempuannya Arga. Gadis angkuh yang merendahkan Senja. Padahal Senja bukan gadis murahan. Dia perempuan terhormat yang menjaga martabat. Andai Senja gadis seperti yang diomongkan Nindy, sudah pasti Sabda akan di manfaatkan juga. Buktinya Senja tetap sopan dan bahkan merasa bersalah padanya. "Sabda, ada ide kita liburan ke mana?" tanya Pak Prabu. "Terserah Papa dan Mama. Mungkin aku tak bisa ikut." "Kenapa?" tanya Bu Airin cepat. "Aku ada acara sendiri, Ma." Sabda meraih tisu dan mengelap mulutnya. Lantas dia berdiri dan hendak pamit berangkat duluan. Namun tangan sang mama menahannya. "Kita bisa merencanakan liburan bareng keluarga Pak Pras." "Terserah, Mama," jawab Sabda lantas melangkah pergi. "Kamu dan Bela bisa memperbaiki hubungan lagi," teriak Bu Airin yang sudah tidak di dengar putranya. "Mas Sabda udah putus Ma, sama Mbak Bela." Bumi yang bicara. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN