Part 16 Setelah dari Dermaga 2

1068 Kata
Pria itu mencari obat masuk angin di kotak P3K yang ada di pantry. Untungnya masih ada dan tanggal kadaluarsanya juga masih lama. Di bawanya obat beserta air hangat dari dispenser masuk kamar Senja. "Minum ini dan kamu segera istirahat." "Maaf, karena aku kamu jadi masuk angin. Aku juga lupa tak menyuruhmu bawa jaket tadi." Sabda merasa bersalah. "Nggak apa-apa. Ini bukan karena di dermaga. Sebab sudah sejak kemarin aku udah nggak enak badan. Tapi hal kayak gini udah biasa, kok." Sabda mengernyitkan dahi, membuat alis tebal itu hampir saling bersentuhan satu sama lain. "Sakit kok kamu bilang biasa?" Senja mengangguk pelan. "Ya nggak apa-apa." Gadis itu jadi canggung menjawabnya. Ini urusan kaum wanita dan hanya mereka saja yang paham hal demikian. "Besok aku antarkan ke dokter kalau gitu." "Nggak usah, Mas. Aku nggak apa-apa. Nanti juga akan baik sendiri." "Sakit harus berobat, Senja. Jangan mengandalkan sembuh sendiri. Iya kalau sembuh, kalau makin menumpuk dan berlarut-larut gimana?" "Tapi aku nggak apa-apa. Beneran aku nggak apa-apa." "Kalau kamu bilang sudah kebiasaan sakit begini, sebaiknya diperiksakan pada ahlinya. Kamu jangan meremehkan tanda-tanda kecil begini." Senja malah dibuat bingung dengan paksaan Sabda. Tapi bukan salahnya pria itu juga, karena Sabda tidak paham. Sedangkan dirinya juga tidak bisa bicara alasannya. "Sudah Mas, aku nggak apa-apa." "Kalau kamu enggak ke klinik. Biar aku panggilkan dokter langganan yang mau datang ke sini." "Enggak deh, Mas. Aku nggak apa-apa. Tiap mau datang bulan aku suka gini." Akhirnya Senja memberitahu daripada muter-muter dan berbelit-belit. Sabda akhirnya diam menatap senja. Baru tahu juga dirinya. "Setiap perempuan pasti akan ngalami hal begini." "O ... oke. Kalau gitu kamu istirahat saja." Senja mengangguk. Sabda beranjak hendak pergi, tapi panggilan Senja membuatnya yang hampir menjangkau pintu berhenti. "Mas." Sabda menoleh. "Apa perlu kutemani di sini?" "Bu-bukan, aku belum Salat Isya. Apa ada sarung yang bisa kupakai untuk Salat." "Buka lemari ini. Di dalam ada mukena milik istrinya Mas Chandra." "Aku pinjamnya ya, Mas?" "Pakai saja. Habis itu kamu istirahat." Sabda tersenyum lantas menutup pintu. Sejenak pintu kembali terbuka. "Besok pagi-pagi sekali aku antar pulang. Jangan kayak kemarin, main hilang gitu aja." Pintu kembali di tutup. Senja yang kaget masih mematung sesaat, lantas mengunci pintu. Sambil melangkah ke kamar satunya, diambilnya ponsel di saku celana. Sedari tadi benda itu bergetar berkali-kali, tapi diabaikannya. Ada beberapa panggilan dari mamanya, juga ada pesan masuk yang di kirimkan sekitar beberapa saat yang lalu. [Kamu pulang jam berapa? Ada Bela dan Om Pras di rumah.] Pukul 19.30 [Sabda, Sayang. Kamu di mana sih?] Pukul 19.45 [Kami sudah dapat destinasi untuk liburan. Mama sudah pesankan tiket buat kamu juga. Chandra sama istrinya ikut.] Pukul 21.00 [Kita akan nginap beberapa hari di Labuan Bajo.] Pukul 21.10 Ponsel di lempar begitu saja di atas tempat tidur. Lantas dia masuk kamar mandi untuk membersihkan diri, berwudhu, dan Salat Isya. Itu bisa dibahas saat dia pulang ke rumah nanti. Sabda kembali meraih ponselnya sambil merebahkan diri setelah selesai Salat. Diketiknya pesan untuk Senja. [Bagaimana keadaan kamu setelah minum obat?] Bimbang juga antara mau mengirim atau tidak tulisan itu. Bukankah sebenarnya Senja tidak apa-apa? Dia hanya tak enak badan karena periode bulanannya? Jadi, dia tidak sakit. Oke. Sabda urung mengirim pesan dan membiarkan ponsel jatuh di sebelahnya dengan posisi layar ponsel masih pada aplikasi pesan. Sementara Senja yang baru saja membalas pesan dari Nina melihat di kontak Sabda sedang mengetik untuknya. Namun sekian lama di tunggu tak ada pesan yang diterima. Sebenarnya pria itu sedang mengetik apa? * * * Sinar matahari pagi terasa hangat saat Senja berdiri di balkon apartemen. Musim kemarau begini, meski baru jam enam pagi mentari telah tampak di langit timur. Pemandangan kota tampak dari tempatnya berdiri. Kesibukan mulai kentara di jalanan bawah sana. Senja telah mandi dan sedang menunggu Sabda selesai berpakaian. Senja menutup mulutnya saat sedang menguap. Semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Pasti dia mengantuk kantor nanti. Bau parfum yang sangat di kenalnya tercium dan membuat gadis itu menoleh. Sabda sedang memakai jam tangan sambil melangkah menghampirinya. Pria itu tampak sangat segar sepagi ini. Senyumnya terukir sungguh manis. Mereka sekarang berdiri berjajar di pagar pembatas balkon. Pria tinggi itu memandang Senja. "Bisa tidur semalam?" tanya Sabda. Senja mengangguk. Bohong tentunya, dia hanya bisa terlelap menjelang subuh tadi. "Kondisi kamu gimana?" "Aku nggak apa-apa. Hmm, bisa kita berangkat sekarang. Aku nggak boleh telat ke kantor." Sabda mengangguk. "Oke." Keduanya meninggalkan balkon. Ketika sampai di ruang tamu, tiba-tiba saja pintu utama apartemen dibuka dari luar. Senja terkejut, tapi Sabda biasa saja. Dia tahu siapa yang datang sepagi itu. Seorang wanita umur empat puluhan mengangguk santun pada Sabda. Dan dia pun tampak kaget saat melihat ada perempuan bersama majikannya. Namun begitu dia buru-buru menunduk setelah tersenyum pada Senja. Meski hatinya bertanya-tanya, siapa wanita yang diajak bosnya menginap semalam. "Mbak Nur, saya telah tinggalkan gaji Mbak Nur di tempat biasanya. Mungkin saya akan sering menginap di sini mulai minggu depan." Sabda bicara pada wanita yang dipanggilnya dengan sebutan Nur. "Njih. Terima kasih, Mas Sabda" jawab wanita yang memakai jilbab instan bercorak bunga-bunga itu sambil mengangguk. "Kalau gitu, saya mau langsung bersih-bersih." "Rapikan ruang kerja saya, karena akan mulai saya pakai minggu depan." "Njih, Mas." Mbak Nur masuk, Senja buru-buru memakai flat shoes-nya dan Sabda pun memakai sepatu Pantofel Oxford yang di turunkan dari rak. "Wanita tadi namanya Mbak Nur. Dia sudah lama kerja paruh waktu untuk beres-beres di apartemen. Seminggu datang dua sampai tiga kali." Sabda memberitahu pada Senja ketika melangkah menuju lift. Pantesan saja apartemen itu bersih dan rapi. Lemari pakaian yang semalam di bukanya juga wangi. Pakaian kerja Sabda juga rapih. "Pasti Mbak tadi mikir yang enggak-enggak tentang aku dan Mas Sabda. Lihatlah dia sampai kaget gitu." Sabda tersenyum sambil menekan tombol lift. "Tak perlu khawatir, Mbak Nur baik kok. Lagian saat bersih-bersih nanti dia pasti ngelihat ada dua kamar berantakan karena kita tidur terpisah." "Kamar yang kupakai sudah aku rapiin, Mas," jawab Senja ketika mereka sudah masuk lift. "Tak masalah juga andai Mbak Nur berpikir kita tidur sekamar. Kita suami istri, 'kan?" "I-iya, tapi dia kan nggak tahu." "Biar nanti kukasih tahu." Sabda menjawab dengan santai saat keluar dari lift. Pria itu tak peduli saat Senja menatapnya dengan pandangan cemas. Bagaimana kalau wanita tadi cerita ke keluarga Sabda. Sementara ujung kisah mereka juga belum jelas. Dua puluh menit kemudian mobil masuk ke jalan arah kosan Senja. Dan gadis itu kaget, ketika dari kejauhan melihat mobil Arga terparkir di depan pagar kosannya. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN