"Ini gaun pengantin anda, Yang Mulia."
Angel menatap jengah ke arah gaun indah di hadapannya, karena dia tak ada niat sedikitpun untuk mengenakannya. Saat ini otaknya lebih tertarik untuk sesuatu yang lain, sebuah rencana yang akan menentukan hidup dan matinya.
"Besok pagi saya yang akan merias anda. Saya yakin, anda akan menjadi pengantin yang sangat cantik," oceh Anne yang saat ini berdiri di belakang gaun pernikahan milik majikannya itu.
"Bukankah kau akan pergi mencari bahan makanan?" Pancing Angel sembari bersandar pada kepala ranjang.
"Benar, Yang Mulia. Saya akan berangkat nanti dan kembali sebelum matahari terbit. Jadi, saya akan tetap bisa merias anda," terang Anne.
Angel mengangguk-angguk pelan. "Apa semua pelayan di sini mengenalimu, Anne?"
"Tentu tidak, Yang Mulia," jawan Anne dengan senyum manis. "Di dalam istana ini ada ratusan pelayan wanita, dan mustahil kami mengenal semuanya.
"Ah begitu," balas Angel dengan menyembunyikan seringai licik, lalu kembali menetralkan ekspresinya saat menatap Anne. "Jam berapa kau berangkat nanti?"
"Saat lonceng pertama berbunyi."
"Kalau begitu, kau harus menemaniku sampai lonceng pertama berbunyi."
"Tentu, Yang Mulia. Saya-"
"Keluarlah." Suara bariton itu menjeda kalimat Anne, dan langsung membuat wanita itu membungkuk hormat.
Angel memutar bola matanya saat mendapati Erick masuk ke dalam kamar begitu saja. "Aku ingin Anne tetap menemaniku di sini."
"Aku yakin kalau kau tak akan siap saat ada orang lain yang akan melihat keintiman kita," balas Erick dengan seringainya, memilih untuk duduk di sisi tubuh gadis itu.
"Apa maksudmu?" Mata Angel memicing tajam.
Sebelah tangan Erick terulur untuk membelai pipi Angel lembut, dilanjutkan ibu jarinya yang menjalari bibir bawah gadis itu. "Malam ini- aku menginginkanmu, Sayang."
Mata Angel melebar cepat, diikuti dengan rasa panas yang menyebari wajahnya. "Kau- tidak berhak menyentuhku lagi."
"Jangan lupakan fakta bahwa kau milikku, Angel," desis Erick sembari memangkas jarak wajah mereka. "Bahkan besok kau akan menjadi istriku."
Angel menggigit bibirnya kuat. Dia harus berpikir keras untuk mencari cara agar Erick tidak tidur di sini malam ini.
"Hei, jangan gigit bibirmu seperti ini," ucap Erick dengan kembali membelai bibir bawah Angel yang tergigit. "Biar aku saja yang menggigitnya."
Dan di detik selanjutnya, Erick benar-benar menggigit bibir bawah Angel, lalu melepasnya kasar. Dia berganti mengulum bibir merekah itu atas bawah, menyesap rasa manis yang sudah menjadi favoritnya. Apalagi saat sekarang Angel membalas ciumannya, membuat gairahnya dengan mudah melesak cepat.
Erick menggeram rendah saat Angel berganti mengulum bibir bawahnya, sesekali menarik dan melepaskannya kasar. Gadis itu seolah ingin mempermainkannya dalam kenikmatan.
"Erick," panggil Angel dengan nada lembut setelah penyatuan bibir mereka terlepas. Dia menatap mata coklat terang itu lekat-lekat, mencoba untuk mengambil simpati dari pria dingin itu. "Aku ingin istirahat."
Erick menaikkan sebelah alisnya dengan wajah tak suka.
"Aku... hanya tidak ingin kelelahan saat pesta pernikahan kita besok," tambah Angel dengan mengulas senyum semanis mungkin.
Sayang sekali Erick tidak bisa sedikitpun membaca pikiran gadis itu, padahal dia ingin tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Angel saat ini. Karena dia merasa aneh saat Angel mendadak berucap begitu lembut padanya, seolah menyimpan sesuatu yang disembunyikan.
"Aku tidak akan membuatmu lelah."
"Kau yakin?" Angel tersenyum miring. "Bahkan kau tidak memberiku waktu istirahat sedikit pun setelah merenggut kesucianku waktu itu."
"Itu karena kau terlalu nikmat, Sayang," balas Erick sembari memajukan wajah, tapi kali ini ke arah leher gadis itu. "Aku tidak pernah bisa berhenti setelah menyentuhmu."
Angel memejamkan mata, menahan erangan saat sekarang lidah basah Erick mulai menjalari lehernya, terus turun ke belahan d**a yang memang hanya tertutup oleh gaun satin tipis dengan model leher rendah. Desahannya hampir lolos ketika lidah pria itu sudah menggoda puncaknya dari luar gaun, bahkan menggigitnya lembut.
"Kau menyukainya?" Erick terkekeh pelan saat melihat Angel yang sudah memejamkan mata dengan mulut setengah terbuka. Dia tahu bahwa gadis itu sudah sangat terangsang saat ini. "Aku tahu, kau tidak akan bisa menolak sentuhanku, Sayang."
"Tapi aku ingin istirahat," ucap Angel dengan membuka mata, menampilkan sorot penuh harap. "Aku mohon, biarkan aku tidur dengan tenang malam ini. Dan malam-malam selanjutnya, kau bebas menikmati tubuhku semaumu."
"Baiklah."
Satu kata itu seketika membuat mata Angel berbinar. Dia seolah baru saja mendapatkan tiket emas untuk melancarkan rencananya.
"Mungkin kau memang benar, kau harus istirahat dengan baik untuk menyambut upacara pernikahan kita besok pagi."
"Terimakasih karena sudah mau mengerti," balas Angel dengan mengulas senyum semanis mungkin.
"Sekarang tidur lah," Erick kembali melumat bibir Angel lembut, "aku tidak akan mengganggumu malam ini."
"Aku butuh sesuatu," pinta Angel sembari menahan lengan Erick yang siap berdiri.
"Katakan, apa yang kau butuhkan."
"Aku butuh s**u hangat, benar-benar s**u untuk membantuku lebih mudah terlelap. Jadi, tolong minta Anne untuk membawakannya ke sini.
"Baiklah, sebentar lagi dia akan datang." Erick kembali mengecup bibir Angel sebelum keluar dari kamar.
"Syukurlah...." Angel menghela nafas lega saat akhirnya Erick keluar dari kamar. Dia bangkit dari ranjang, mulai bergerak untuk memuluskan rencananya.
Angel mengambil salah satu gaun indah yang ada di lemari, meletakkannya di permukaan ranjang. Di saat yang bersamaan, Anne masuk ke dalam kamar dengan membawa segelas s**u hangat di atas nampan.
"Ini s**u sapi murni sesuai permintaan anda, Yang mulia."
"Letakkan di atas meja," pinta Angel.
Wanita itu hanya menurutinya. "Apa anda ingin sesuatu yang lain, Yang Mulia?"
"Sekarang aku yang ingin memberimu sesuatu," ucap Angel dengan senyum yang dibuat semanis mungkin.
"Apa itu, Yang Mulia?" Anne tampak bingung.
Angel mengulurkan gaun miliknya ke arah Anne. "Aku ingin memberimu gaun indah ini."
"Yang Mulia, ini sungguh berlebihan. Saya tidak pantas menerimanya."
"Kalau begitu aku akan marah padamu, dan akan mengadukanmu pada Erick," ancam Angel dengan bibir mengerucut lucu.
"Maaf, Yang Mulia... saya bersalah." Anne langsung membungkuk hormat.
"Sekarang aku ingin melihatmu mencoba gaun ini sekarang juga," pinta Angel tegas.
"Sekarang?"
"Iya, sekarang juga."
"Baik, Yang Mulia."
"Gantilah di sini, dan aku yang akan membantumu."
Anne tampak ragu, tapi dia tidak berani menolak. Alhasil, dia benar-benar menanggalkan gaun sederhananya, dan segera mengenakan gaun indah milik majikannya.
Angel tampak membantu menutup resleting di bagian punggung Anne. Tapi tak hanya itu, dengan cekatan dia mengambil batu mantra dari saku gaun milik Anne, dan menyimpannya di bawah pantatnya saat dia kembali duduk di tepi ranjang.
"Wah, kau sangat cantik, Anne," puji Angel dengan senyum yang dibuat semanis mungkin.
"Terimakasih, Yang Mulia. Tapi rasanya ini terlalu berlebihan," ucap Anne dengan wajah tak enak.
"Sama sekali tidak. Gaun itu adalah hadiah karena kau sudah sangat baik padaku di sini."
Anne tampak baru akan menjawab saat terdengar suara lonceng pertama yang menggema keras, sontak dia mulai terlihat panik. "Maaf, Yang Mulia. Saya harus segera berkumpul-"
"Pergilah," sela Angel dengan senyum manis.
Kali ini Angel ikut bergegas setelah Anne keluar dari kamarnya. Dia segera membungkus tubuhnya dengan sebuah jubah besar bertudung, tak lupa memasukkan batu mantra itu ke dalam saku.
Dengan sangat hati-hati, Angel keluar dari kamar, mengambil langkah cepat untuk menuju ke pintu keluar bagian belakang.
Kegiatan berkelilingnya tadi pagi, benar-benar menjadi pencarian jalan keluar yang sudah sangat dihafalnya. Hingga kini, dia bisa dengan mudah menuju ke halaman istana tanpa diketahui.
Angel tampak berdiri di sisi sebuah pohon besar, menatap kilatan-kilatan aneh yang menjadi pembatas dirinya dengan dunia luar. Dadanya terasa berdegup kencang saat ini, dengan sebelah tangan yang menggenggam batu mantra tersebut.
"Aku... akan meninggalkan tempat menakutkan ini untuk selamanya."