Bab 02

819 Kata
Esok paginya, Sarah menatap wajahnya di cermin kamar kos yang retak. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin gelap. Wajah cantiknya yang dulu sering jadi bahan pujian kini tampak pucat, lelah, seperti hidup sekadar berjalan karena terpaksa. Ia memilih dress putih gading yang paling layak ia miliki. Sisa dari masa lalu. Disetrika seadanya, dipadukan dengan make up tipis dan parfum yang tinggal separuh. Semua ia kenakan dengan satu tujuan: tampil cukup mempesona di hadapan Rafael. Sarah berangkat menggunakan ojek online, ongkosnya adalah sisa terakhir dari saldo rekening yang sekarang tinggal Rp 3.500. Kafe tempat pertemuan itu berada di kawasan Senopati, mewah dan penuh anak muda sukses. Ia melangkah masuk dengan hati yang berdegup kencang. Langkahnya pelan, seolah menyembunyikan ketakutan yang memburu dalam pikirannya. Rafael duduk di pojok ruangan, mengenakan jas santai dan kemeja navy. Ia langsung berdiri saat melihat Sarah. Wajahnya berseri, matanya berbinar penuh nostalgia. “Sarah!” serunya, lalu memeluknya spontan. Tubuhnya tinggi dan hangat, tapi bagi Sarah, pelukan itu terasa asing. Sudah lama sekali ia tidak dipeluk dengan ketulusan—kalau pelukan itu memang tulus. Sarah membeku sejenak, lalu tersenyum kaku dan duduk. “Maaf, refleks,” ucap Rafael sambil tertawa kecil. “Kamu makin cantik.” Sarah hanya tersenyum seadanya. “Terima kasih. Kamu juga berubah… kelihatan mapan sekarang.” Pelayan datang. Mereka memesan minuman, dan perbincangan mengalir ringan. Namun hati Sarah tak tenang. Tangannya menggenggam gelas dengan kencang. Akhirnya, dengan suara yang bergetar namun mantap, Sarah angkat bicara. “Raf… sebenarnya aku ada maksud ketemu kamu.” Rafael menatapnya, penuh perhatian. “Apa pun itu, kamu bisa ngomong.” Sarah menarik napas dalam-dalam. “Aku butuh uang. Aku mau pinjam 700 juta.” Rafael membelalakkan mata. “700 juta?” Sarah menunduk, merasa darahnya turun ke kaki. “Aku tahu itu jumlah yang gila. Tapi aku terjebak… aku punya utang pinjol 200 juta, dan utang pribadi ke teman-teman 300 juta. Sisanya… aku butuh buat bangkit. Mungkin buka usaha. Aku… aku nggak tahu harus gimana lagi.” Hening. Suara denting sendok dan gelas di sekeliling mereka mendadak terdengar begitu jelas. Rafael memandang Sarah lama sekali, seolah mencoba membaca seluruh luka di wajah perempuan yang dulu selalu ia idolakan. “Aku nggak punya uang sebanyak itu, Sarah,” katanya akhirnya. “Tabunganku... mungkin cuma 100 jutaan.” Jantung Sarah seperti diremas. “Oh…” “Tapi…” Rafael menyandarkan punggung. Bibirnya membentuk senyum tipis. “Aku punya solusi.” Sarah mengangkat wajah. “Apa?” “Aku kenal seseorang,” kata Rafael perlahan. “Dia… lelaki kaya raya. Tiga puluh empat tahun, duda, tinggal sendirian. Dia suka perempuan cantik, muda, pintar bicara. Dan dia royal… sangat royal. Kalau kamu mau... kamu bisa jadi sugar baby-nya.” Deg. Sarah tertegun. Otaknya seolah membeku. Napasnya tercekat. Matanya memandang Rafael, mencari tanda-tanda bahwa ini mungkin hanya candaan. “Kamu serius?” bisiknya. Rafael mengangguk pelan. “Iya, aku serius. Kalau kamu mau, aku bisa temuin kamu sama dia.” Sarah memalingkan wajah. Dunia seperti runtuh menimpanya. “Rafa… kamu pikir aku segitu hinanya?” suaranya nyaris tak terdengar. “Aku nggak bilang begitu. Tapi kamu minta 700 juta, Sarah. Itu bukan uang kecil. Dan aku cuma bilang... ada jalan lain. Dia nggak akan nyakitin kamu. Kamu akan tinggal di apartemen mewah, dikasih uang, barang, fasilitas. Kamu bebas selama kamu memenuhi kebutuhan dia.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau. Sarah berdiri dengan gemetar. “Aku nggak datang ke sini untuk jual diri, Rafael.” Rafael menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan. “Kamu datang ke sini untuk bertahan hidup, bukan? Ini dunia nyata, Sarah. Kamu pikir siapa yang akan kasih 700 juta begitu aja ke kamu? Nggak ada.” Sarah melangkah pergi tanpa pamit. Air matanya menetes di sepanjang trotoar. Rasa malu, marah, dan putus asa mengaduk dalam d**a. --- Malam itu, Sarah kembali ke kosnya. Kepalanya pening. Ponselnya terus berbunyi. Notifikasi pinjol, chat teman-teman, dan kini... pesan dari Rafael. "Maaf kalau tadi menyinggung. Tapi tawaranku masih berlaku. Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku. Aku hanya ingin bantu kamu keluar dari semua ini." Sarah membanting ponsel ke kasur. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Dan akhirnya, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia menangis dalam diam. Tapi tak lama. Ia bangkit. Dengan mata bengkak, ia membuka laptopnya. Mengetik satu kalimat di kolom pencarian: “Cara bangkit dari utang besar.” Ia membaca blog, forum, menonton video tentang orang-orang yang bisa keluar dari lubang terdalam hidup mereka. Dan ia sadar, semua orang di sana punya satu kesamaan: mereka berhenti bergantung pada orang lain. Sarah tahu, hidupnya hancur. Tapi dia tidak akan menjual dirinya. Tidak akan menukarkan harga diri dengan harta yang cuma sesaat. Jika ia harus mati miskin, maka ia mati dengan harga dirinya yang masih dipertahankan olehnya. Besok pagi, ia akan bangun. Mencuci baju sendiri. Makan mie instan tanpa lauk. Melamar kerja ke mana pun. Mulai dari bawah. Bahkan jadi pelayan sekalipun. Ya! Sarah tidak boleh menjadi p*****r. Dia bukan kakaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN