Pagi itu, Jakarta seperti biasa: padat, panas, dan penuh suara klakson. Tapi dalam diri Sarah Adison, tak ada keramaian selain detak jantungnya yang tak karuan. Dia baru saja pulang dari interview keempat dalam seminggu, dan seperti tiga tempat sebelumnya, jawabannya masih sama:
“Kami akan hubungi nanti, ya.”
Padahal, dia tahu. Kalimat itu hanya kedok manis untuk penolakan. Maka ketika sore datang dan ia akhirnya mendapat satu-satunya tawaran dari sebuah kafe kecil di bilangan Mampang, dia tak punya pilihan selain menerima.
Gaji: dua juta lima ratus ribu rupiah per bulan.
Jam kerja: 8 jam berdiri, tanpa tunjangan.
Sarah tidak menangis. Dia hanya terdiam di kamar kosnya yang sempit, menatap plafon yang nyaris rubuh, lalu menghembuskan napas perlahan. Tubuhnya kelelahan, pikirannya membatu.
“Ini nggak akan cukup. Seribu tahun pun nggak akan cukup.”
Utang online-nya sudah mencapai 200 juta, ditambah utang pribadi ke teman-temannya sebesar 300 juta. Satu-satunya saudara kandungnya, Fiona, malah hidup mewah dari ‘hubungan gelap’ dengan pejabat. Sarah muak. Pada dirinya, pada nasib, dan pada dunia.
Di luar, suara azan magrib berkumandang, mengingatkannya akan waktu. Tapi bagi Sarah, waktu hanya pengingat kalau hidup terus berjalan... bahkan saat dia sendiri tak tahu harus ke mana.
Lalu pikirannya terbang kembali pada Rafael.
Lelaki itu memang bukan siapa-siapa. Bukan mantan kekasih, bukan teman dekat. Tapi satu-satunya orang yang masih bersikap baik padanya. Dan dua hari lalu, Rafael menyebut satu hal yang hingga kini menghantui pikirannya:
Sugar baby.
Dulu dia akan muntah hanya mendengar istilah itu. Tapi sekarang... ketika dia bahkan tak mampu membeli sabun mandi baru… apakah harga dirinya masih bisa dipertahankan?
---
Malam itu, Sarah duduk sendiri di kamar.
Dia menatap layar ponselnya, membuka pesan dari Rafael:
‘Aku tahu kamu belum siap. Tapi kalau kamu berubah pikiran, bilang saja. Temanku orangnya baik, bukan tua bangka c***l kayak yang kamu bayangin. Dia masih 33 tahun. Ganteng. Kaya. Dan... jelas bisa bantu kamu.’
Sarah mengetik. Jemarinya gemetar. Berkali-kali menghapus, mengetik lagi, lalu menghapus.
Akhirnya, dia kirim satu kalimat:
“Aku setuju.”
Tak sampai semenit kemudian, Rafael membalas:
‘Oke. Nggak usah panik. Aku urus semuanya. Kamu cuma perlu siapin diri. Dia nggak minta ketemu dulu. Dia percaya rekomendasi gue. Dia cuma butuh kesepakatan awal, dan kalau kamu oke, kamu mulai bulan depan. Bayaranmu langsung masuk rekening 50 juta pertama.’
Sarah menatap layar itu lama sekali. Lalu akhirnya, meletakkan ponsel, menutup wajahnya, dan... menangis.
Bukan tangisan sedih. Bukan pula tangisan bahagia.
Tangisan pasrah.
---
Tiga hari kemudian, uang itu benar-benar masuk. 50 juta rupiah, bersih, dengan keterangan pengirim bernama samaran: “Marko S.” — bukan nama asli sugar daddy-nya, kata Rafael. Identitasnya memang dirahasiakan.
Sarah tak pernah membayangkan uang sebanyak itu bisa masuk ke rekeningnya dalam sekali transfer. Dia menatap saldo rekeningnya seperti melihat fatamorgana.
Tapi itu nyata. Uang itu nyata.
Dan dengan uang itu, untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir, dia melunasi sebagian cicilan pinjol.
Ia bahkan sempat membeli makanan enak: nasi padang lengkap dengan rendang dan telur balado. Mewah untuk ukuran Sarah sekarang. Tapi setelah makan, ia duduk diam.
Kenapa rasanya tidak lega?
Karena ia tahu... ini baru awal.
---
Hari-hari Sarah berubah.
Ia berhenti kerja di kafe, atas alasan yang tak ia jelaskan. Rafael bilang, jangan terlalu banyak beraktivitas agar tetap "prima dan tersedia" bila dibutuhkan. Sarah hanya mengangguk.
Sebulan berlalu, dua kali transfer masuk. Total 100 juta.
Ia pakai sebagian besar untuk membayar utang. Tapi yang membuatnya kaget, adalah saat Rafael mengirim satu pesan siang itu:
‘Besok malam kamu mulai tugas pertamamu. Dia mau kamu temani dinner di Ritz. Nggak ada yang aneh. Cuma makan. Anggap aja latihan.’
Sarah membaca pesan itu seperti membaca surat kematian.
Dia belum siap. Tapi dia tak bisa mundur.
---
Keesokan malamnya, Sarah berdiri di depan cermin.
Dia mengenakan gaun yang dikirim khusus oleh Rafael.
Biru gelap. d**a sedikit terbuka. Riasan wajah profesional.
Sarah menatap bayangannya sendiri. Cantik... tapi asing.
“Siapa kamu?” bisiknya pada refleksi itu.
Tapi bayangan itu tak menjawab.
Jam 19.00, mobil jemputan datang. Sopir pribadi. Tanpa pengantar. Sarah naik ke dalam, dan sepanjang jalan menuju hotel mewah itu, ia menahan napas.
Sesampainya di sana, ia dibawa ke ruang privat. Dan di sana, dia hanya menemukan... meja kosong dengan lilin menyala.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawa makanan. “Tuan kami hari ini ada urusan mendadak. Beliau hanya ingin memastikan Anda menikmati hidangan, dan akan menelpon Anda nanti malam.”
Sarah tak tahu harus lega atau kecewa.
Tapi dari malam itulah, peran barunya resmi dimulai.
---
Hari demi hari berlalu.
Leonard—nama samaran yang diberikan Rafael—tak pernah menunjukkan wajah. Hubungan mereka hanya sebatas pesan, telepon singkat, dan transfer dana yang terus mengalir.
Setiap dua minggu, 25 juta masuk rekening Sarah.
Kadang ada permintaan kecil: kirim foto saat sedang membaca buku, kirim suara saat menyanyi pelan, kadang hanya ucapan “selamat tidur”.
Tak pernah lebih.
Sarah mulai terbiasa. Bahkan mulai membentuk rutinitas.
Pagi: yoga ringan.
Siang: belajar bisnis online.
Malam: menunggu perintah.
Tapi dalam diamnya, Sarah mulai menyadari sesuatu...
Dia kehilangan arah.
---
Hingga suatu malam …
Leonard menelpon. Suaranya berbeda.
“Aku mau ketemu,” katanya tegas.
Sarah terdiam.
“Kapan?” tanyanya.
“Besok malam. Kita makan malam. Aku sudah tidak sabar. Aku ingin tahu siapa yang sudah kubiayai selama ini.”
---