Sarah menatap cermin untuk kesekian kali malam itu.
Gaun mini hitam yang dikenakannya membentuk lekuk tubuh dengan sempurna, seperti kulit kedua yang melekat. Gaun itu dikirim Rafael pagi tadi bersama sepucuk catatan kecil bertuliskan:
“Jangan buat dia kecewa. Ini malam penting.”
Rambutnya terurai lepas, disisir rapi dengan gelombang di ujungnya.
Wajahnya dipulas riasan bold, tapi tetap elegan—mata dengan eyeliner tajam dan bibir merah menyala.
Bibir yang terasa pahit karena kegelisahan yang tak kunjung reda.
Sarah berdiri sendiri di depan pintu kamarnya, menatap sepatu hak tinggi yang sejak tadi belum ia kenakan. Jantungnya berdetak cepat. Pikirannya berputar tanpa arah.
“Apa yang sedang kulakukan…?”
Dia menutup mata, menarik napas dalam-dalam.
Bayangan utang-utang, rentetan tagihan, dan wajah orang-orang yang ia sakiti karena belum bisa membayar, menampar logikanya.
Ini bukan soal kehormatan lagi. Ini soal bertahan hidup.
Dengan tangan gemetar, Sarah mengambil ponselnya. Pesan dari Rafael sudah ada sejak siang:
‘Hotel The Grand Liora, kamar 1609. Jangan telat. Dia tidak suka menunggu.’
---
Pukul 19.47
Sopir pribadi menjemputnya. Mobil mewah mengantarnya melewati lampu-lampu kota yang gemerlap. Tapi dalam mobil senyap itu, tidak ada yang berkilau di dalam dirinya.
Setiba di lobi hotel, Sarah nyaris membatalkan semuanya. Ingin kabur, ingin kembali menjadi Sarah yang dulu, gadis yang menertawakan hidup lewat pesta-pesta mahal.
Tapi gadis itu sudah mati. Terkubur bersama kenangan rumah besar orangtuanya.
Terkubur bersama kekosongan rekeningnya.
Dia melangkah masuk. Setiap langkah terasa seperti menjatuhkan tubuhnya ke dalam jurang yang lebih dalam.
---
Kamar 1609.
Pintu dibuka oleh pelayan hotel. Dengan sopan, lelaki itu mempersilakan Sarah masuk, lalu pergi.
Saat pintu tertutup di belakangnya, Sarah tak bisa berkata apa-apa.
Hatinya membeku.
Kamar itu... seperti kamar pengantin.
Kelopak mawar merah berserakan di lantai karpet putih.
Lilin-lilin kecil menyala di sudut ruangan, dan di tengahnya, ada meja bundar dengan makan malam lengkap, dua gelas anggur, dan vas bunga segar.
Romantis. Menjijikkan. Menyakitkan.
Sarah nyaris menangis.
Dia berbalik untuk pergi. Tapi langkahnya terhenti. Karena suara berat itu terdengar dari balik jendela balkon:
“Sarah?”
Ia mengenali suara itu. Suara yang dulu hanya terdengar saat reuni keluarga. Suara yang dulu mengucap janji suci di altar bersama kakaknya.
Sarah membalikkan badan.
Dan di sana, berdiri tegak, mengenakan kemeja hitam yang digulung di lengan dan celana panjang abu gelap…
Kavindra Leonardo.
Mantan suami kakaknya. Mantan kakak iparnya.
Dan ternyata adalah— sugar daddy-nya.
---
Jantung Sarah berhenti berdetak.
Seluruh tubuhnya menegang, tangan gemetar hebat.
Lidahnya kelu. Otaknya menolak percaya.
Tapi matanya tak bisa berbohong.
“K... Kavin?” suara Sarah pecah, hampir seperti bisikan.
Lelaki itu hanya tersenyum kecil. Kalem. Tidak terkejut. Tidak panik.
Seolah memang mengharapkan pertemuan ini.
“Sudah lama, ya,” ujarnya ringan sambil mendekat. “Kamu semakin cantik, Sarah.”
Sarah mundur satu langkah.
Tangannya mencengkram tas kecilnya erat-erat, seolah itu bisa melindunginya.
“Apa… kamu?”
Dia tak bisa menyelesaikan kalimat itu.
Lelaki itu tertawa pelan, lalu mengangguk.
“Ya. Aku yang kirim uang. Aku yang minta Rafael mencarikan seseorang, dan aku memilihmu.”
Sarah nyaris muntah.
“Kenapa… kenapa aku?” suaranya terdengar kecil dan tercekik.
Kavindra tidak langsung menjawab. Dia melangkah ke meja makan, menuang anggur ke dua gelas.
“Karena kamu berbeda. Aku mengenalmu sejak dulu. Kamu keras kepala, tapi punya martabat. Dan aku ingin melihat, seberapa jauh kamu bertahan.”
“Ini permainan buat kamu?”
“Bukan.”
Dia menatap Sarah dalam-dalam. “Ini... hadiah.”
Hadiah? Sarah ingin melempar gelas ke wajahnya.
“Kamu pikir ini bentuk cinta, Vin?” gumam Sarah. “Atau balas dendam pada Fiona?”
“Fiona sudah jadi masa lalu,” jawabnya santai. “Kamu masa kini. Dan mungkin, masa depan.”
Sarah tertawa. Satu tawa getir yang keluar dari luka paling dalam.
“Kamu gila.”
“Dan kamu butuh uang,” potong Kavindra tenang. “Dan kamu sudah menerimanya. Tanpa tahu siapa aku. Sekarang, kamu bisa pergi, dan biarkan utangmu kembali menumpuk. Atau… kamu tetap di sini. Duduk. Makan. Dan mulai semuanya dari menjadi pelacurku sayang.”
Diam. Hening. Berat.
Sarah berdiri di sana, tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin melawan. Ingin menampar lelaki itu. Tapi ia tahu... ia tidak punya daya.
Air mata turun satu per satu. Tapi bukan karena lemah.
Karena dia tidak bisa berbuat apapun.
---
Malam itu, Sarah tidak langsung tidur dengan lelaki itu.
Mereka makan malam. Hening. Sesekali berbicara.
Tapi dunia dalam dirinya telah hancur.
Bukan hanya karena hubungan haram ini.
Tapi karena orang yang menjeratnya… adalah keluarga sendiri. Mantan kakak iparnya.
GILA!