Cahaya mentari pagi menembus tirai tipis jendela kamar hotel yang masih remang.
Sarah perlahan membuka matanya, kelopak matanya berat dan pikirannya masih buram. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, membiasakan pandangan pada siluet ruangan yang kini terang oleh cahaya matahari.
Udara kamar dingin. Tapi tubuhnya terasa panas. Bukan karena suhu. Tapi karena kenyataan yang masih belum sepenuhnya bisa ia terima.
Ia duduk perlahan di ranjang, membetulkan gaun hitamnya yang kini kusut dan setengah terbuka di bahu. Nafasnya tercekat saat matanya menatap lurus ke arah balkon yang kini terbuka, tempat di mana Kavindra duduk dengan santai—mengenakan hanya celana pendek abu-abu, d**a bidangnya terbuka dan berkilau disiram sinar pagi.
Tubuhnya kekar. Terlatih.
Dan itu membuat Sarah muak. Tapi juga... kesal karena otaknya sempat terpaku menatapnya terlalu lama.
Sialan.
“Menikmati pemandangan pagi?”
Suara berat itu menyentak kesadarannya. Suara yang mengalun tenang, tetapi sarat dengan kesombongan yang menjengkelkan.
Sarah buru-buru menoleh ke arah lain, wajahnya merah padam.
Ia ingin marah. Tapi ia sadar—ia telah memilih berada di kamar ini semalam.
"Aku nggak minta dilihat," ucap Kavin santai sambil menyilangkan kaki, memegang secangkir kopi, dan menatap Sarah dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan datar tapi mengintimidasi.
Sarah balas menatap. Dingin.
“Aku juga nggak minta pemandangan semacam ini pagi-pagi,” gumamnya ketus.
Kavin hanya menyeringai kecil.
Tak menjawab. Tapi dari matanya, jelas ia menikmati tatapan sinis itu. Seolah merasa menang.
Lelaki itu kemudian mengambil map coklat dari meja kecil di sebelah kursi, dan tanpa peringatan, melemparkannya ke arah ranjang.
Sarah buru-buru menangkapnya.
“Apa ini?” tanyanya curiga.
Kavin berdiri, berjalan perlahan ke arah kamar mandi tanpa mengenakan atasan, sambil berkata datar:
“Itu perjanjian.”
Sarah membuka map itu.
Dua lembar kertas tebal, disusun rapi dan dicetak formal.
Di bagian atasnya tertera:
“Kontrak Kesepakatan Sugar Baby dan Sugar Daddy”
Jantung Sarah berdetak dua kali lebih cepat.
Tangannya bergetar saat membaca setiap poin dalam perjanjian itu. Semakin lama matanya menelusuri baris-baris kalimatnya, semakin dalam napasnya tercekat.
Poin pertama, standar: menjaga kerahasiaan identitas masing-masing.
Poin kedua, menuruti seluruh permintaan sugar daddy baik dalam bentuk pendampingan sosial, perjalanan, maupun “hubungan intim atas permintaan” tanpa hak penolakan.
Poin ketiga, jika Sarah melanggar satu aturan saja, ia akan dikenai denda sebesar 300 juta rupiah.
Poin keempat, jika Sarah taat dan menjalankan perjanjian dengan baik, ia akan menerima 250 juta rupiah per bulan sebagai kompensasi.
Sarah menutup map itu cepat-cepat. Napasnya berat.
“Ini gila,” bisiknya.
Kavin keluar dari kamar mandi, kini mengenakan kaus putih yang membentuk tubuhnya, rambutnya basah, tapi rapi.
“Gila? Tapi kamu di sini,” katanya pelan, duduk kembali di kursi dan menyeduh kopinya.
“Aku… aku nggak tahu akan seperti ini.” Suara Sarah mulai bergetar.
“Berapa banyak dari kita yang tahu hidup akan seperti ini?” Kavin meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap Sarah lurus-lurus. “Tapi kita tetap bangun pagi, tetap menjalani hari, dan tetap membuat pilihan. Kamu sudah buat pilihan, Sarah.”
Sarah menggigit bibirnya.
“Ini bukan hubungan. Ini p********n,” bisiknya pelan.
“Tidak,” balas Kavin dingin. “Ini perjanjian. Kamu bisa menolak, sekarang. Tapi semua bantuan keuangan akan berhenti. Dan kamu tahu konsekuensinya. Aku tidak akan menghalangi. Tapi kamu tahu, Rafael bukan cuma g***o. Dia juga tahu semua orang yang kamu pinjami uang.”
Sarah merasakan tubuhnya lumpuh.
Ia menunduk. Tak bisa lagi berkata-kata. Tangannya mengepal map itu, hampir merobeknya.
“Kalau kamu butuh waktu, silakan,” kata Kavin sambil bangkit berdiri. Ia melangkah menuju lemari, mengambil sebuah tas kecil dan meletakkannya di atas meja.
“Ada 100 juta di sana. Uang Mukamu semalam sudah cukup membuktikan kamu layak dibayar.”
Sarah ingin menampar wajah itu. Tapi ia hanya diam. Terpaku. Membatu.
“Ambil. Itu uang mukamu. Sisanya 150 juta kalau kamu tandatangani dan kirim kontrak itu sebelum malam ini.”
Kavin mengenakan jam tangannya, lalu menoleh sekali lagi.
“Dan Sarah... jangan terlalu serius. Ini cuma bisnis.”
Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan pintu kamar terbuka.
Meninggalkan Sarah yang duduk terdiam, dengan map perjanjian di tangannya dan rasa hancur yang tak bisa lagi disembunyikan.
---
Beberapa jam kemudian
Sarah berjalan kaki pulang dari hotel, menolak tawaran sopir.
Ia merasa kotor. Penuh debu. Tapi bukan tubuhnya—jiwanya yang kotor.
Di tangannya, tas kecil berisi 100 juta itu bergoyang mengikuti langkahnya.
Ia tahu ia bisa pergi ke ATM, melunasi satu bagian utang, menyelamatkan dirinya satu bulan lagi...
Tapi apa harga dari semurah itu?
Dirinya. Harga dirinya.
---
Di kamar kecil kontrakannya, Sarah duduk diam selama berjam-jam.
Perjanjian itu ia buka lagi. Dibaca ulang. Lalu kembali ditutup. Dibuka lagi. Dan dilempar ke lantai.
Air matanya tak berhenti mengalir.
Bukan hanya karena perjanjian itu. Tapi karena di dalam dirinya, ada suara kecil yang berkata:
“Kamu akan tanda tangan. Kamu tahu kamu akan melakukannya. Karena tidak ada yang bisa membantumu selain diriku.”