Bab 06

1420 Kata
Hening kamar kontrakan Sarah pecah oleh suara keras ketukan pintu. Sarah yang tengah duduk memeluk lutut di sudut ranjang menoleh lemas. Wajahnya masih sembab, rambutnya kusut, dan kertas perjanjian dari Kavindra masih tergeletak di lantai seperti setan yang mengejek ketidakberdayaannya. Ketukan berubah menjadi gedoran. Kasar. Penuh emosi. “Sarah! Buka pintunya sekarang!” Sebuah suara perempuan melengking dari luar, penuh kemarahan. Sarah menutup telinganya. Tapi suara itu terus memburu. “Aku tahu kamu di dalam! Jangan pura-pura jadi mayat!” Dengan langkah gontai, Sarah menyeret kakinya menuju pintu. Tubuhnya seperti robot kehilangan nyawa. Saat pintu dibuka, udara panas menyambut, bersama sosok perempuan kurus tinggi bernama Ria —teman lama Sarah, yang dulunya satu circle waktu mereka masih hura-hura dengan uang kartu kredit. Wajah Ria merah karena emosi. Matanya melotot melihat Sarah dengan penampilan menyedihkan. “Enam puluh juta, Sarah!” bentaknya tanpa basa-basi. Sarah terdiam. Tidak berusaha menjelaskan. “Aku udah baik, tahu?! Udah setahun aku kasih kelonggaran! Kamu tahu aku juga dikejar-kejar orang karena bantuin kamu dulu?! Sekarang waktunya bayar!” Ria mendorong pundak Sarah dengan kasar, membuat tubuh kecil Sarah terhuyung ke belakang. “Aku… aku belum ada uang segitu, Ria…” Suara Sarah serak, seperti pasir yang diseret paksa di tenggorokan. Ria menyeringai sinis. “Belum ada uang? Tapi kamu bisa sewa hotel! Bisa beli parfum mahal! Bisa update story tiap malam?! Kamu pikir aku bodoh?!” Sarah menunduk. Dia bahkan tak punya energi membela diri. “Aku kasih waktu sampai malam ini. Enam puluh juta. Atau aku langsung datengin rumah nyokap lo! Gue gak peduli!” Ria menyeringai tajam. “Lo pikir gue bercanda?” Tanpa menunggu balasan, Ria berbalik dan pergi. Langkahnya keras. Dentuman sepatunya menghantam tanah seperti palu godam yang menggedor nurani Sarah. --- Sarah jatuh terduduk di lantai. Menangis. Tangannya meraih map yang tadi ia buang ke lantai. Tangannya gemetar saat membuka lembar demi lembar kontrak perjanjian itu. Dunia seperti berhenti berputar. Jantungnya berdetak sangat cepat, tapi tubuhnya kaku. Ia membaca lagi bagian akhir kontrak: > “Pihak Kedua (Sarah Adison) menyatakan bersedia menjalankan peran sebagai pendamping pribadi sesuai permintaan dan kebutuhan Pihak Pertama (Kavindra Leonardo), dalam bentuk fisik, emosional, dan sosial, termasuk tetapi tidak terbatas pada…” Sarah tidak melanjutkan. Dia tahu isinya. Dia tahu artinya. Dan kini… dia tahu tidak ada jalan lain. Air matanya mengalir, perlahan menetes di kertas perjanjian itu. Tinta pena hampir basah oleh tetesan air matanya saat tangannya bergerak otomatis. Dengan tarikan napas terakhir yang berat dan panjang, Sarah menandatangani kontrak itu. Tangannya lemas saat menarik pena menjauh. Dadanya sesak. Dia memejamkan mata dan berbisik lirih: “Tuhan… maafkan aku. Ini jalan satu-satunya…” --- Beberapa jam kemudian… Sarah mengirimkan foto kontrak itu ke nomor yang diberikan Kavin. Tidak ada balasan. Hanya centang biru. Tapi tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Bukan dengan marah seperti Ria. Kali ini, dengan sopan. Seorang sopir laki-laki berseragam rapi berdiri di depan pintu. Tangannya membawa tas kecil hitam dan sebuah amplop. “Permisi, Nona Sarah?” ucap pria itu sopan. Sarah mengangguk perlahan. “Ini dari Tuan Kavindra,” katanya sambil menyerahkan tas dan amplop. Sarah membuka amplop itu. Isinya hanya selembar catatan tulisan tangan: “250 juta. Bulan pertama. Jangan buat aku menyesal.” Tangannya gemetar membuka tas kecil itu. Uang tunai, diikat rapi. Nominalnya pas. Uang asli. Nyata. Bukan mimpi. Dan itu membuat dadanya seperti diremas-remas dari dalam. --- Sarah bukan lagi Sarah yang sama. Ia kini menjadi milik seseorang. Setiap detik, ada bayangan kontrak yang menggantung di atas kepalanya seperti pisau. Tapi hidup harus terus berjalan. Ia membayar utang ke Ria. Ia membayar utang kartu kreditnya. Ia mulai membenahi tampilan hidupnya—dari luar tampak bersinar. Tapi dari dalam, ia mulai retak perlahan. Kavin? Masih dingin. Masih sinis. Masih memperlakukannya seperti properti. Mereka jarang bicara. Tapi ketika mereka bertemu, Sarah tahu, tubuhnya bukan miliknya lagi. — Sarah duduk sendiri di balkon apartemen mewah yang disediakan Kavin, ia memeluk lututnya sambil menatap langit kota yang gemerlap. Kepalanya penuh suara. Hati dan pikirannya saling berperang. Dan pelan-pelan, satu pertanyaan muncul dalam benaknya: “Sampai kapan aku bisa bertahan dalam hidup seperti ini?” *** Kavindra mengetuk pintu apartemen Sarah dengan kasar, suaranya menggema seperti ancaman. Sarah terlonjak, handuk putih melilit tubuhnya usai mandi. Jantungnya berdegup kencang. Dengan langkah tergesa, ia membuka pintu apartemennya. Kavindra berdiri di ambang pintu, menatap Sarah dari ujung rambut sampai ujung kaki. Matanya menyipit, lalu pelan-pelan tersenyum miring. Siulan kecil keluar dari bibirnya yang tipis. Jarinya terangkat dan mencolek pipi Sarah. "Sarah seksi," ucapnya datar namun menohok. Sarah tidak menjawab. Matanya menunduk, senyumnya tipis. Ia menyingkir dari pintu, menyilakan Kavindra masuk ke dalam apartemennya yang mewah namun terasa dingin. Pria itu melangkah santai ke dalam, langsung menuju sofa panjang warna abu-abu. Tubuhnya menjatuhkan diri dengan santai, lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel yang terlihat sangat mahal. Jari-jarinya mulai sibuk menari di atas layar. Sarah masih berdiri di tempatnya, memegang ujung handuk dengan gelisah. Kavindra menatapnya sekilas, lalu berkata tanpa mengangkat wajah dari ponselnya, "Siap-siap." Sarah mengerutkan dahi. Kavindra melanjutkan, "Malam ini kamu ikut saya ke klub malam." Tanpa membantah, Sarah hanya mengangguk dan melangkah masuk ke dalam kamar. Ia membuka lemari pakaian, mengeluarkan gaun mini ketat warna merah darah. Gaun itu diberikan langsung oleh Kavindra bersama sepatu hak tinggi berwarna senada. Sarah tahu, jika Kavindra sudah memberi perintah, tidak ada ruang untuk berkata tidak. Tangannya mulai memulaskan lipstik merah menyala di bibir. Rambutnya dibiarkan tergerai, lurus dan rapi. Mata Sarah bertemu bayangannya di cermin. Wajahnya cantik, tubuhnya anggun, tapi hatinya kosong. Sarah keluar dari kamar dan berdiri di hadapan Kavindra. Pria itu mengangkat wajahnya dari ponsel. Matanya menelusuri tubuh Sarah tanpa bicara. Ia melempar ponselnya ke meja kaca dan berdiri. "Kita pergi sekarang." Kavindra melangkah lebih dulu, Sarah mengikutinya. Mereka masuk ke dalam mobil sport yang terparkir di basement. Mobil meluncur tanpa suara. Sepanjang perjalanan, tidak ada kata yang keluar dari mulut Kavindra. Tangannya hanya memegang kemudi dengan satu tangan, dan sesekali mengecek notifikasi di ponsel menggunakan tangan lainnya. Sarah duduk diam, tangannya bertumpu di pangkuan, berusaha menahan rasa mual di dadanya. Ia bukan Sarah yang sama seperti dahulu. Kini dirinya hanya bayangan perempuan yang dijual ke dalam kontrak diam-diam, dipaksa tampil mempesona demi harga dirinya yang sudah dibuang entah ke mana. Mobil berhenti di depan sebuah klub malam elit. Cahaya neon berwarna ungu menyala terang. Musik berdentum dari dalam, mengguncang jantung. Kavindra membuka pintu mobil dan melangkah keluar, lalu mengitari mobil untuk membukakan pintu bagi Sarah. Ia tak menatap Sarah, hanya berkata, "Jangan bikin malu." Sarah melangkah masuk ke dalam klub malam bersama Kavindra. Mereka disambut oleh pelayan yang segera membawa mereka ke lantai VIP. Banyak mata memandang. Pria-pria berdasi mewah, wanita-wanita dengan gaun berlian menatap Sarah seakan ia wanita penghibur mewah yang baru dibeli Kavindra dari lelang rahasia. Kavindra duduk di sofa bundar, membuka botol wine dan menuangkannya ke dalam dua gelas. Sarah duduk di sampingnya. Salah satu temannya menghampiri mereka. Lelaki tinggi, mengenakan kemeja hitam dan jas silver. Ia menyeringai menatap Sarah. "Ini yang baru ya?" tanyanya pada Kavindra sambil menunjuk ke arah Sarah. Kavindra hanya mengangguk sambil menyeruput winenya. "Namanya siapa?" "Sarah," jawab Kavindra santai. Lelaki itu tertawa kecil. "Manis. Kamu seleranya makin gila, Vin." Kavindra tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke arah Sarah dan berkata, "Tersenyumlah. Itu bagian dari kontrak." Sarah tersenyum paksa. Gelak tawa, suara botol dibuka, dentuman musik, semuanya menggempur telinganya. Sarah tidak ingat berapa kali ia harus berpura-pura tertawa pada lelucon yang tidak lucu. Tidak ingat berapa kali tangan Kavindra merangkul pinggangnya seolah ia hanya boneka pelengkap gaya hidup. Kavindra memperkenalkannya ke banyak orang malam itu. Pejabat, pebisnis, hingga investor yang wajahnya tidak asing dari layar televisi. Beberapa dari mereka menatap Sarah dengan pandangan yang menusuk. Pandangan yang tidak manusiawi. Kavindra hanya tersenyum dingin di balik gelas winenya. Setelah beberapa jam, Kavindra menggenggam tangan Sarah dan membisikkan di telinganya, "Kita pulang." Sarah hanya mengangguk. Mereka keluar dari klub. Sarah merasa seluruh tubuhnya panas dan lelah, tapi ia tahu—ini baru permulaan. Di dalam mobil, Kavindra menyandarkan tubuhnya ke jok kursi dan menatap lurus ke depan. "Besok siapin diri. Kita makan malam bersama kolega saya. Pakai dress yang gue kasih minggu lalu. Yang belahan punggungnya sampai bawah." Sarah hanya diam. Kavindra menoleh sekilas, matanya mengunci mata Sarah. "Ingat, kamu bukan pacarku. Kamu bukan istriku. Kamu hanya bagian dari kesepakatan. Tapi kamu harus terlihat seolah-olah kamu segalanya untukku." Sarah menarik napas panjang. Tidak menjawab. Mobil terus melaju membelah jalanan. Tidak ada kata lain malam itu. Hanya kesunyian yang makin dalam dan suara detak jantung yang mulai kehilangan irama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN