Bab 07

1488 Kata
Kavindra duduk di ruang tamu apartemen Sarah. Kaki kirinya digoyangkan pelan-pelan, jemari tangan kanannya mengetuk-ngetuk permukaan sofa dengan gerakan monoton. Matanya menatap tajam ke arah jam tangan mewah di pergelangan tangannya. Sudah hampir satu jam. Satu jam yang menyebalkan. Matanya menatap pintu kamar Sarah yang tertutup. Napasnya mulai berat. Rahangnya mengeras. Suara tertawa kecil dari dalam kamar hanya menambah rasa tidak sabarnya. Tak ada jawaban ketika ia mengetuk pintu sepuluh menit lalu. Dan kini… kesabarannya habis. Tanpa ragu, tangannya meraih gagang pintu kamar Sarah. Ia membukanya dengan kasar. Pintu itu terhempas terbuka, membuat seorang penata rias wanita yang sedang memulas pipi Sarah terkejut. Tangannya gemetar, kuas riasannya jatuh ke lantai. Seorang penata rambut pria juga menoleh cepat, wajahnya langsung pucat, tubuhnya menegang seperti patung. Sarah, yang duduk di depan cermin dengan rambut yang masih digulung setengah, langsung menoleh. Aura Kavindra memenuhi ruangan dengan tekanan yang tidak tertahankan. Sorot matanya tajam, rahangnya terkunci, tubuhnya tegak lurus dengan aura d******i yang menusuk. Suara langkah kakinya terdengar ketika ia melangkah masuk dengan dingin. "Berapa lama lagi?" tanyanya pelan, tapi tegas. Sangat tegas. Tidak ada yang menjawab. Para penata rias dan penata rambut hanya tertunduk, keringat dingin membasahi pelipis mereka. Sarah masih diam, matanya memandangi bayangan Kavindra dari cermin. "Aku membayar kalian sebagai profesional. Tapi kalian bekerja seperti amatiran," ucap Kavindra, tanpa menoleh sedikit pun dari tempatnya berdiri. Matanya tetap menatap Sarah melalui cermin. Penata rias wanita buru-buru membungkuk dan memungut kuas yang jatuh. Tangannya gemetar saat kembali memulas pipi Sarah. Penata rambut juga langsung mengambil alat catokan dan melanjutkan pekerjaannya tanpa berani mengangkat wajah. "Sudah waktunya berangkat," lanjut Kavindra dengan nada dingin. "Aku tidak suka menunggu." Sarah menelan ludahnya. Ia tahu Kavindra tidak sedang marah. Pria itu jarang menunjukkan emosi secara terang-terangan. Tapi aura seperti ini lebih buruk dari kemarahan. Kavindra berbalik dan melangkah keluar kamar. Tapi sebelum menutup pintu, ia sempat berkata, "Lima belas menit. Kalau tidak selesai, aku akan menyuruh mereka pergi dan kamu ikut denganku seperti apapun keadaanmu." Pintu ditutup. Suasana dalam kamar menjadi lebih mencekam. Penata rias mempercepat sapuan kuasnya. Penata rambut mengebut menyelesaikan gaya rambut Sarah. Sarah hanya diam. Matanya menatap bayangan wajahnya sendiri yang hampir selesai didandani. Gaun hitam beludru itu sudah melekat pas di tubuhnya. Lehernya dihiasi kalung permata yang juga diberikan Kavindra. Lipstiknya merah marun, bulu matanya lentik sempurna. Tapi yang terlihat di balik riasan itu hanyalah sepasang mata yang penuh tekanan dan kepasrahan. Selesai. Dalam waktu sepuluh menit, semuanya rampung. Para penata langsung membereskan alat-alat mereka, mengucapkan salam buru-buru lalu meninggalkan kamar Sarah tanpa berani menoleh ke belakang. Sarah bangkit dari duduknya. Ia melangkah keluar kamar dengan langkah tenang namun berat. Ketika ia muncul, Kavindra sedang berdiri dengan jas hitam rapi, dasi wine yang membingkai lehernya sempurna. Pria itu menoleh sekilas. Tatapannya menelusuri Sarah dari atas hingga bawah. Sorotnya seperti menilai karya seni yang mahal. "Lebih baik," ucapnya singkat. Sarah tidak menjawab. Ia hanya mengambil clutch kecil dan berdiri di sebelah Kavindra. Tanpa bicara lagi, Kavindra berbalik dan berjalan ke arah pintu apartemen. Sarah mengikutinya. Mereka melangkah menuju lift, menuruni gedung, lalu masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, suasana hening. Kavindra menyetir dengan satu tangan, wajahnya datar tanpa ekspresi. Sarah duduk di sampingnya, menatap ke luar jendela, melihat kota yang bersinar terang, tapi tak terasa hidup baginya. Mereka tiba di ballroom hotel bintang lima, di mana gala dinner diadakan. Sejumlah tokoh penting sudah memenuhi ruangan. Kamera, wartawan, pelayan dengan nampan perak. Semuanya glamor. Mewah. Penuh pretensi. Kavindra meraih tangan Sarah dan menggenggamnya. Kuat. Hangat. Namun penuh penguasaan. "Aku tidak butuh kamu bicara terlalu banyak," bisik Kavindra sambil menoleh. "Hanya berdiri di sampingku. Tersenyum. Dan ketika aku menyentuh punggungmu, artinya kita berpindah." Sarah mengangguk kecil. Mereka masuk. Cahaya sorotan mengikuti langkah mereka. Beberapa orang langsung berbisik. Banyak mata melirik Sarah. Beberapa senyum menyapa Kavindra. Selebihnya menatap Sarah seperti hiasan eksotis di lengan pria itu. Sepanjang malam, Sarah terus berdiri di sisi Kavindra. Ia dipeluk di pinggang, disentuh punggungnya, digiring dari satu grup tamu ke grup lainnya. Ia mengenal wajah-wajah besar yang sering muncul di layar kaca. Beberapa dari mereka menyapa dengan ramah. Namun semuanya terasa palsu. Di tengah keramaian, seorang wanita paruh baya mendekati mereka. Rambutnya disanggul rapi, gaunnya elegan. Ia tersenyum kecil melihat Sarah. "Sarah, bukan?" tanyanya halus. "Saya pernah melihatmu bersama Fiona. Kau adiknya, ya?" Sarah tertegun. Kavindra segera berkata, "Ibu Devina, malam ini kita bicara soal kerja sama saja. Soal keluarga bisa lain waktu." Wanita itu tertawa kecil. "Baiklah, baiklah." Sarah menunduk pelan. Tubuhnya menegang. Nama itu—Fiona—masih seperti belati di dalam d**a. Selesai gala dinner, mereka kembali ke mobil. Di dalam mobil, Kavindra menatap Sarah cukup lama sebelum menyalakan mesin. "Kamu berhasil malam ini," ucapnya pelan. "Kamu terlihat seperti milikku." Sarah hanya diam. "Dan jangan lupa," tambahnya, matanya menatap ke depan. "Kamu memang milikku sekarang." Mobil melaju meninggalkan gemerlap lampu. Sarah menatap bayangannya sendiri di kaca jendela. Ia milik seseorang. Dan ia telah menjual dirinya untuk menjadi itu. *** Kavindra membuka pintu kamar hotel dengan satu tangan, karena mereka akan menginap di hotel malam ini. Tangannya yang lain menarik pergelangan tangan Sarah, menggiring gadis itu masuk begitu saja. Suara pintu yang tertutup terdengar nyaring di dalam ruangan yang begitu sunyi. Lampu kamar menyala otomatis. Kamar suite itu begitu luas, mewah, dengan nuansa emas dan abu-abu yang mengilap. Tapi semua kemewahan itu tak berarti apa-apa bagi Sarah. Langkah kaki Kavindra begitu tenang namun penuh kendali. Tubuh tegapnya berdiri di belakang Sarah. Tatapannya menusuk punggung wanita itu. Sarah tidak berani menoleh. Nafasnya sesak, jantungnya berdetak cepat. Dia tahu ia tak bisa mundur sekarang. Tidak setelah menandatangani kontrak. Tidak setelah menerima uang. Tidak setelah menjual dirinya pada lelaki ini. Kavindra mendekat. Tubuhnya hanya beberapa senti dari punggung Sarah. Kedua matanya tajam menatap rambut panjang gadis itu. Jemarinya terangkat pelan dan menyentuh ujung rambut Sarah. Perlahan. Sangat pelan. Kemudian tangannya bergerak ke pipi gadis itu. Ia menyentuh pipi Sarah dengan punggung tangannya, mengusapnya seolah itu milik yang telah ia beli. Dan mencium bibir Sarah beberapa saat. "Manis," ucap Kavindra pelan. Sarah tak menjawab. Matanya menatap lantai. Bibirnya yang baru dicium oleh Kavindra. Tidak berani mengatakan apapun. Kavindra menyeringai kecil. Ia menunduk, menyamakan tinggi tubuhnya dengan Sarah. Matanya menatap wajah gadis itu dari dekat. Napasnya nyaris menyentuh kulit pipi Sarah. "Kakakmu juga seperti ini," bisik Kavindra datar. "Diam. Patuh. Tunduk demi uang." Ucapan itu menghantam Sarah seperti palu. Rahangnya mengencang. Matanya tetap tertunduk, namun tubuhnya sedikit bergetar. Ia ingin membalas. Ia ingin menjawab. Tapi kata-kata Kavindra seperti rantai yang membungkam mulutnya. "Kakak dan adik ternyata tak jauh beda," lanjut Kavindra. "Sama-sama menjual diri karena uang." Pipi Sarah memanas. Tapi bukan karena sentuhan lembut itu. Melainkan karena rasa malu, hina, dan sakit hati yang merayap seperti racun. "Menjijikkan sekali, ya?" ujar Kavindra sambil tertawa rendah di telinga Sarah. "Tapi tetap kamu lakukan." Sarah menunduk lebih dalam. Bahunya menegang. Tapi ia tidak menjawab. Tidak ada kata yang bisa melawan kenyataan yang sudah terjadi. Kavindra kembali menatapnya dengan senyuman setengah. "Kenapa diam? Kamu manis saat menangis, tahu?" ucapnya sambil menyentuh dagu Sarah dan mengangkatnya pelan agar gadis itu menatapnya. Namun mata Sarah tetap memalingkan arah. Ia tak kuasa melihat mata pria itu. Matanya penuh penghinaan. Penuh kuasa. Kavindra berdiri tegak kembali. Ia menghembuskan napas pelan, lalu berjalan ke minibar. Mengambil botol wine dan menuangkannya ke dalam dua gelas kristal. Ia berjalan kembali ke arah Sarah, menyodorkan segelas padanya. Sarah menerimanya dengan tangan gemetar. "Minumlah," perintah Kavindra singkat. Sarah meneguknya sedikit, nyaris seperti air racun. Rasanya pahit, menghangat di tenggorokannya. Ia tahu ia tak punya pilihan. Kavindra menatapnya lagi. Ia berjalan pelan ke arah tempat tidur dan duduk di ujung ranjang. Kakinya disilangkan, satu tangan memegang gelas wine, tangan lainnya menyandar di lutut. "Jadi... apa kamu puas dengan pilihanmu?" tanyanya, sinis namun tenang. Sarah mengangkat wajahnya pelan. Matanya berkaca-kaca. "Aku tidak punya pilihan," bisiknya. Kavindra terkekeh. "Semua orang selalu bilang begitu setelah menjual dirinya. Tidak punya pilihan." Matanya menatap tubuh Sarah dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mata yang menelanjangi tanpa menyentuh. "Aku tidak akan menyentuhmu malam ini," ujarnya tiba-tiba. Sarah kaget. Matanya menatap Kavindra. Bingung. "Aku hanya ingin kamu tahu apa yang kamu pilih," lanjutnya. "Aku ingin kamu tidur malam ini dengan menyadari bahwa mulai sekarang, kamu milikku. Dan ada tiba saatnya aku menghentak kasar penisku ke dalam lubangmu itu." Ia berdiri, meletakkan gelas wine di meja, lalu menatap Sarah dari dekat. "Bukan hanya tubuhmu. Tapi waktumu. Hari-harimu. Senyummu. Pandangan matamu. Semuanya sudah dibayar lunas." Sarah hanya diam. "Dan kalau kamu coba berkhianat…" bisik Kavindra sambil menyentuh pipi gadis itu sekali lagi, "konsekuensinya akan lebih besar dari hanya kehilangan uang." Kavindra melangkah pergi menuju pintu. Ia membuka pintu, menoleh sebentar. "Besok kita ke Bandung. Aku ada urusan bisnis. Kamu ikut." Pintu ditutup. Sarah berdiri di kamar hotel itu, hanya ditemani dengusan AC dan bayangan dirinya sendiri di cermin besar di sudut ruangan. Gaun hitam itu masih melekat di tubuhnya. Wajah cantik dengan riasan sempurna itu memantul di cermin, namun tak menunjukkan satu pun kebahagiaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN