Mobil hitam mewah itu melaju mulus di jalan tol menuju Bandung. Di dalamnya, aroma parfum pria mahal dan pendingin udara yang terlalu dingin memenuhi kabin. Sarah duduk di kursi belakang, di samping Kavindra, dengan diam. Lelaki itu mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, jam tangan hitam yang harganya mungkin bisa melunasi hutang Sarah seketika. Matanya menatap lurus ke depan, sesekali membalas pesan di ponselnya tanpa peduli pada keberadaan Sarah.
Sarah hanya menatap keluar jendela. Langit mendung, jalanan lengang. Tapi dalam hatinya, badai berkecamuk. Ia tidak tahu untuk apa dia dibawa. Ia tidak diberi penjelasan. Hanya diperintah ikut, seperti boneka hidup yang sudah dibayar lunas.
Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di sebuah hotel berbintang lima di kawasan Dago. Lobi hotel itu luas, mewah, dipenuhi lampu gantung kristal dan suara musik klasik lembut. Seorang resepsionis sudah berdiri menunggu mereka, memanggil Kavindra dengan penuh hormat, lalu mempersilakan mereka ke presidential suite paling atas.
Sesampainya di kamar, Kavindra langsung membuka jas dan melemparnya ke sofa. Ia mengambil telepon kamar, memesan wine, buah, dan beberapa botol sampanye.
"Kamu boleh istirahat di kamar dalam," ucap Kavindra tanpa menoleh. "Aku ada urusan malam ini."
Sarah mengangguk pelan, berdiri hendak masuk ke kamar dalam, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Kavindra lagi.
"Tapi kamu harus ikut," ucapnya sambil menyampirkan jas hitam ke pundaknya. "Biar kamu tahu, hidupku tidak butuh cinta."
Sarah menatap punggung lelaki itu. Dingin. Penuh kuasa. Penuh kesengajaan untuk menyakiti.
Beberapa jam kemudian, mereka sudah berada di sebuah klub malam mewah di pusat kota. Musik berdentum keras. Lampu warna-warni menari di langit-langit. Orang-orang tertawa, minum, dan menari seolah hidup mereka hanya untuk malam itu.
Kavindra duduk di sofa VIP paling eksklusif, dikelilingi oleh tiga wanita berpakaian minim. Salah satu dari mereka duduk di pangkuannya, tangan lainnya menggulung rambutnya di jari telunjuk sambil terkikik genit. Satu lagi menyandarkan tubuhnya di bahu Kavindra, membisikkan sesuatu di telinganya hingga lelaki itu tertawa kecil. Sarah duduk di ujung sofa, memeluk tasnya sendiri, menatap semua itu dengan d**a sesak.
Tangannya mengepal di atas pangkuan. Ia menahan diri untuk tidak bangkit dan pergi. Tapi kontrak itu seperti borgol tak terlihat yang menahannya tetap di tempat.
Kavindra menyadari tatapan Sarah. Ia menoleh sekilas, lalu tersenyum setengah mengejek. Tangannya melingkari pinggang salah satu wanita itu, menarik tubuh wanita itu lebih dekat ke dadanya. Matanya tetap menatap Sarah saat melakukan itu.
Sarah menggigit bibirnya. Ia ingin berteriak. Ingin menghina lelaki itu di depan semua orang. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Ia bukan siapa-siapa. Bahkan ia dibayar untuk melihat ini semua.
Salah satu wanita itu menyodorkan gelas ke mulut Kavindra, memaksanya minum dari tangannya. Lelaki itu menurut, sambil tertawa. Sarah memalingkan wajah. Mual. Pahit. Menyakitkan.
Ia berdiri. Ingin keluar.
Namun baru dua langkah, suara berat Kavindra menghentikannya.
"Mau ke mana?"
Sarah menoleh. Matanya berkaca-kaca. Tapi ia menahan semuanya.
"Udara di sini... terlalu sesak," jawabnya lirih.
Kavindra menatapnya. Wanita-wanita di sekitarnya ikut menatap, tertawa pelan. Salah satunya berbisik, "Cemburu, ya?"
Sarah mematung.
Kavindra berdiri pelan, menghampiri Sarah. Ia berdiri sangat dekat, membungkuk dan membisik di telinga wanita itu.
"Ini dunia yang kamu pilih," bisiknya. "Kalau tidak kuat, pergi. Tapi jangan lupa, kamu sudah dibayar lunas."
Ia berjalan kembali ke sofa, duduk, dan menarik satu wanita ke pangkuannya. Musik kembali berdentum keras, seakan mengiringi rasa sakit yang menampar hati Sarah tanpa ampun.
Sarah melangkah keluar dari ruangan itu. Udara malam menyambutnya dingin. Ia bersandar di dinding luar, memejamkan mata, menahan air mata agar tidak jatuh.
Ini bukan hanya tentang tubuh.
Ini tentang harga dirinya yang diremukkan perlahan. Dengan tatapan. Dengan tindakan. Dengan sikap yang menunjukkan bahwa ia bukan lebih dari sekadar barang.
Dan ironisnya, ia sendiri yang menandatangani perjanjian itu.