Bab 09

1131 Kata
Sarah duduk memeluk lutut di trotoar seberang klub malam. Tumitnya dilepas, kaki telanjangnya menapak dinginnya aspal yang mulai lembap oleh embun dini hari. Rok pendek yang ia kenakan tak mampu menghangatkan tubuhnya. Tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Jiwanya. Harga dirinya. Itulah yang beku. Matanya masih sembab. Pandangannya kosong. Suara musik dari klub malam di seberang terdengar samar, bercampur tawa, denting gelas, dan suara-suara genit yang mengingatkan kembali pada pemandangan yang baru saja ia tinggalkan. Pemandangan menjijikkan. Kavindra, sugar daddy-nya—lelaki yang membelinya atas nama kontrak—tadi duduk di sofa mewah itu dengan tiga wanita sekaligus. Tertawa. Minum. Meraba. Membiarkan dirinya disentuh. Dan semua itu dilakukan di depan mata Sarah, seakan-akan ia ingin menghancurkan sisa-sisa martabat yang masih berusaha ia pertahankan. "Menjijikkan," gumam Sarah lirih. Tangannya menggenggam erat tas kecil yang berisi dompet, ponsel, dan beberapa uang tunai yang diberikan Kavindra sebelumnya. Satu amplop tipis, isinya sepuluh juta. Uang itu terasa berat di tangannya. Seberat beban hidup yang sejak awal membuatnya terjun ke kubangan ini. Sialan. Ia sudah melunasi semua hutangnya. Seratus tujuh puluh lima juta ke temannya. Dua puluh juta untuk kartu kredit yang terus menumpuk, dan sisanya untuk ke pinjaman online. Lima belas juta untuk tunggakan kos dan listrik. Semua lunas. Semua sudah diselesaikan dengan uang dari pria itu. Pria yang sekarang tengah bersenang-senang dengan wanita lain, dan mungkin sebentar lagi akan naik ke ranjang yang sama tempat dia pernah disentuh. Sarah menunduk. "Apa gunanya aku tetap di sini?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Apa aku harus terus menjalani ini? Membiarkan diri dipermainkan, dipermalukan, dihinakan?" Ia menarik napas panjang. Menengadah ke langit. Mendung. Seolah langit pun mengerti muramnya hati. “Sudah cukup,” katanya, kali ini dengan nada tegas. Tangannya gemetar saat ia membuka tas kecilnya. Ia mengambil ponsel, membuka aplikasi kereta api dan mulai mencari tiket ke luar kota. Tujuannya: Surabaya. Ia punya saudara jauh di sana. Tidak dekat, memang. Tapi cukup untuk membantunya mulai dari nol lagi. Ia tak ingin lagi hidup dari tubuhnya. Ia tak ingin lagi melihat wajah pria itu. Ia tak ingin lagi menginjak klub malam, kamar hotel, atau mobil mewah yang hanya jadi kendaraan menuju kehancuran dirinya. “Lari,” bisiknya lirih, “Aku akan lari. Sekarang.” Ia berdiri. Mencari ojek online. Matanya sesekali menoleh ke klub di seberang. Masih ramai. Kavindra pasti belum sadar ia keluar. Atau mungkin tahu tapi tidak peduli. Itu lebih baik. Biarkan saja. Ia menyelinap di antara kendaraan, menyebrangi jalan dengan cepat, dan menuju halte kecil tempat ojeknya akan menjemput. Jantungnya berdetak cepat. Ada rasa lega bercampur takut. Tapi ia lebih memilih ketakutan karena bebas, daripada kenyamanan dalam kurungan. Ojek itu datang. Sarah naik dengan terburu-buru. "Ke Stasiun Bandung, cepat," ucapnya pada pengemudi. Motor melaju. Sarah tak menoleh ke belakang. --- Namun ketika motor itu baru melintasi dua blok dari klub, telepon Sarah berdering keras. Nama itu terpampang di layar: Kavindra Leonardo. Jantung Sarah mencelos. Ia mematikan panggilan itu. Namun belum sempat ia mengatur napas, ponsel berdering lagi. Masih nama yang sama. Lalu muncul pesan. > “Turun. Sekarang.” Sarah menelan ludah. Bagaimana dia bisa tahu? Apakah seseorang melihatnya keluar? Pesan lain masuk. > “Berani kabur, kau akan tahu akibatnya.” Sarah membeku. Jari-jarinya gemetar saat membuka pesan berikutnya. Satu foto dikirim. Foto dirinya yang sedang duduk di trotoar tadi. Diambil dari sudut atas, seolah ada mata-mata yang mengikuti gerak-geriknya sejak tadi. Napas Sarah tercekat. Dia tidak bisa lari. Tidak semudah itu. Kavindra bukan pria biasa. Dia pengusaha yang punya banyak koneksi. Banyak kekuasaan. Banyak uang. Dan uang itu bisa membeli apa pun. Termasuk pengawasan ketat atas seorang wanita bernama Sarah yang pernah menandatangani kontrak bersyarat. Motor berhenti di lampu merah. Sarah memandang jalan di depannya. Pilihan di tangannya. Tapi dunia seolah hanya memberi dua: kembali ke jerat yang menyakitkan… atau kabur dan menghadapi risiko yang lebih mengerikan. Dengan tangan gemetar, ia mengetik balasan. > “Aku cuma butuh udara.” Pesan itu dibaca, tapi tak dibalas. Lalu satu notifikasi masuk. Transfer masuk Rp250.000.000,- Satu catatan menyertainya: > “Beli barang sebanyak yang kamu mau. Tapi tetap kembali. Jangan buat aku mencarimu.” Sarah menatap layar ponselnya. Pikirannya bising. Dadanya sesak. Kini bukan hanya kontrak yang mengikatnya. Tapi juga ancaman. Kekuasaan. Dan godaan kenyamanan semu yang dibungkus kemewahan. Ia menunduk, menghapus air mata yang jatuh di pipinya. Ia menekan tombol panggilan. "Lewatkan stasiun. Bawa aku kembali ke hotel bintang lima itu." *** Kavindra membanting pintu kamar hotel itu hingga bunyinya menggema ke seluruh lorong. Sarah yang berdiri di depan jendela, sontak menoleh. Tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu dari nada langkah kaki itu… amarah pria itu sedang membara. Kavindra menatapnya. Tatapan itu menusuk. Membekukan darah. Sorot matanya gelap, penuh kekecewaan dan kemarahan yang menekan begitu dalam. “Sarah,” ucapnya dengan nada dingin dan lambat. Suaranya terdengar pelan, tapi setiap katanya seperti pecahan es yang ditusukkan ke dalam d**a. “Berani-beraninya kamu mencoba kabur.” Sarah tidak menjawab. Ia ingin bicara, ingin menjelaskan, ingin membela diri, tapi suara itu tertahan di tenggorokannya. Tercekik rasa takut yang tidak mampu ia lawan. Langkah Kavindra mendekat. Setiap tapaknya menggema di lantai marmer. Ia berhenti tepat di depan Sarah. Menunduk. Nafasnya teratur tapi mengandung bara. “Apakah kamu pikir setelah semua uang yang kukeluarkan, kamu bisa pergi begitu saja?” bisiknya. Sarah menunduk, membisu. “Aku membayarmu. Aku melunasi semua hutangmu. Aku memberimu kehidupan yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Dan balasanmu?” Ia tertawa kecil. Dingin. Penuh penghinaan. “Kamu duduk di trotoar. Seperti pengemis.” Sarah masih diam. Tubuhnya bergetar. Tangan gemetar di sisi tubuhnya. Air matanya jatuh tanpa suara. Kavindra mengangkat dagunya dengan satu jari. Kasar. Paksa. Mata mereka kini sejajar. “Aku akan buat kamu mengerti. Kamu milikku. Sampai kapan pun. Jangan pernah pikir kamu bisa lepas. Karena kamu tidak akan pernah bisa.” Kepalanya mendekat, menyeringai tipis. “Dan mulai malam ini, kamu akan tinggal di bawah pengawasanku. Kamu tidak akan punya akses untuk pergi ke mana pun sendiri. Setiap langkahmu… akan diawasi. Jangan pernah coba-coba lari, Sarah. Sekali lagi kamu coba… aku akan membuat hidupmu jauh lebih hancur dari sebelumnya.” Kavindra melangkah menjauh. Mengambil ponselnya dari meja, lalu menelepon seseorang. “Pindahkan dia ke apartemen elit milikku. Unit penthouse. Pastikan ada dua orang bodyguard yang berjaga di setiap pintu. Akses ke luar dibatasi. Hanya atas izinku.” Sarah menahan napas. Ia benar-benar masuk ke dalam kurungan emas. Tidak bisa ke mana-mana. Tidak bisa bebas. Tidak bisa berpikir jernih. Dunia mewah di sekitarnya kini tidak lagi tampak indah—melainkan seperti penjara raksasa yang tak terlihat, tapi menekan dari segala arah. Kavindra menutup telepon. Lalu menoleh padanya lagi. “Kamu akan tetap jadi milikku. Karena kamu sendiri yang menjual dirimu padaku. Jangan pernah lupakan itu.” “Dan aku ingin menyentuhmu sekarang memasuki lubang v****a sialanmu itu dengan penisku Sarah!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN