Kangen Mami

875 Kata
“Papiiiiii ….” Isvara menjerit seraya berlari berhamburan menghampiri papinya yang baru saja keluar dari ruang kerja di rumah mereka yang besar. Di hari Sabtu yang cerah ini Adrian malah memulai paginya dengan bekerja. “Kenapa sayang?” Adrian menghentikan langkah, sedikit membungkuk dengan kedua tangan terentang kemudian mengangkat Isvara begitu sang gadis kecil berada dalam jangkauan lalu menggendongnya. “Ara kangen mami.” Isvara mengerutkan wajah, bibir mungil gadis kecil itu mengerucut begitu menggemaskan. Setiap hari satu kalimat itu selalu diucapkan Isvara. Adrian memberikan banyak alasan untuk membujuk Isvara agar berhenti merindukan Aruna tapi sekarang sudah hampir satu minggu dan ia kehabisan alasan. “Papi?” panggil Isvara lagi. Mata bulatnya mengerjap lucu. “Ya sayang?” Adrian menyahut, tidak lupa mengecup pipi Isvara. “Apa hari Sabtu juga mami masih sibuk?” Adrian belum bisa menjawab pertanyaan Isvara, ia malah membawa sang putri ke ruang televisi kemudian mendudukkannya di sofa. “Papiiiiii.” Isvara menjerit gemas karena sang papi diam saja. “Ara mau ketemu mami?” Adrian menyerah. “Iyaaaa, Ara mau ketemu mami … Ara kangen mami … kita ajak mami jalan-jalan yuk, Pi.” Isvara meraih tangan Adrian. “Ayoooo … ajak jalan-jalan mamiiii.” Kemudian menggerakan tangannya ke kiri dan ke kanan. Adrian tersenyum lantas mengulurkan tangan mengusak puncak kepala Isvara. “Bi Atun, tolong panggilkan Pak Malik …,” titah Adrian pada asisten rumah tangga yang kebetulan lewat di ruang televisi. “Baik, Pak.” Bi Atun memutar badan, tidak jadi melewati ruang televisi dan kembali ke bagian belakang rumah untuk memanggil driver keluarga ini. Tidak lama pak Malik datang dengan tergopoh-gopoh. Pak Malik masih merasa bersalah karena tanpa sengaja menabrak mobil Aruna dan membuat kerusakan di mobil majikannya. Rasa bersalah itu semakin hebat karena Adrian sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut, hanya memperingatinya agar lebih hati-hati dan tidak menjawab telepon saat mengemudi. “Pak Adrian manggil saya?” Pak Malik bertanya saat langkahnya sudah tiba di ruang televisi. “Iya ….” Adrian menyahut. “Apa bu Aruna pernah kasih copy-an data dirinya untuk keperluan memasukan mobil ke bengkel?” lanjut Adrian bertanya. “Oh iya, Pak … bu Aruna kasih saya foto copy KTP, kalau enggak salah saya simpan satu karena bu Aruna kasih dua lembar dan pihak asuransi hanya minta satu lembar.” Pak Malik mengeluarkan dompetnya dari saku celana. “Ini Pak, foto copy KTP bu Aruna.” Pak Malik memberikannya kepada Adrian. “Saya juga punya No. hape bu Aruna, kalau Pak Adrian perlu akan saya kirim melalui WA.” “Boleh … kirim nomor hapenya ke saya,” kata Adrian seraya membaca kertas kecil foto copy KTP Aruna di tangannya. “Baik, Pak.” Pak Malik segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana depan. Adrian tercenung saat melihat status pernikahan di KTP Aruna bertuliskan ‘cerai mati’. Ia pikir Aruna belum pernah menikah. Dari data diri itu juga baru Adrian ketahui kalau Aruna hanya terpaut lima tahun lebih muda darinya. “Pak Malik?” Adrian mendongak. “Ya, Pak?” “Siapkan mobil, saya dan Ara mau ke rumah Bu Aruna—“ “Yeaaaaaay!” Isvara bersorak kegirangan, menyela ucapan Adrian. “Saya yang akan mengemudikan sendiri mobilnya,” imbuh Adrian dan langsung mendapat anggukan patuh dari pak Malik. *** Ting … Tong … Suara bel berbunyi, Aruna menghentikan aktivitas mencuci piring kemudian menoleh ke arah ruang tamu. Ting … Tong … Ting … Tong … Bergegas menyelesaikan pekerjaannya kemudian mengelap tangan dengan handuk tangan yang menggantung di bawah bowl sink. Aruna pun berlari menuju pintu utama untuk mengecek siapa orang yang menekan bel tidak sabaran di luar sana. Aruna sempat mengintip dari jendela di samping pintu lalu memejamkan mata sebentar bersama hembusan napas panjang setelah mengetahui siapa tamunya. Dan Aruna merasa sedang diserang. Aruna mengulurkan tangan, memegang handle pintu tapi menahannya sebentar untuk menguatkan mental. Menarik napas dalam bersama pejaman mata erat sebelum membuka pintu. “Ma … Kak Rina …,” sapa Aruna kepada mantan ibu mertua dan mantan kakak iparnya. “Lama banget buka pintunya, kasian mama berdiri kelamaan di luar.” Adalah Rina yang selalu membenci Aruna, entah kenapa. Apapun yang Aruna lakukan selalu salah di mata mantan kakak iparnya itu. “Oh maaf, Kak … tadi aku lagi cuci piring.” Aruna memberi alasan meskipun tahu mereka tidak akan peduli. Kak Rina dan mama Tina masuk melewati Aruna yang masih berdiri dekat pintu karena harus menyapa dua tamu Agung lagi. “Aruna … ini Abrizam katanya kangen sama tante Aruna.” Itu Rika yang kemudian memberikan Abrizam-anaknya Bian kepada Aruna untuk digendong. Aruna tersenyum kecut, sejujurnya enggan menggendong darah daging suaminya dari wanita lain tapi tidak tega melihat mata bulat Abrizam yang menatapnya dengan kedua tangan terulur minta digendong. Dada Aruna terasa sesak, matanya memanas dan darahnya berdesir hebat tatkala Abrizam sudah berada dalam gendongannya. “Buatin Mama minum donk Aruna, haus nih!” Mama Tina berteriak dari ruang televisi. “Iya, Ma … sebentar.” Aruna masuk lebih jauh ke dalam rumah sambil menggendong Abrizam tanpa menutup pintu. “Udah … aku aja yang buat minum untuk mama dan kak Rina, kamu gendong Abrizam aja,” kata Rika yang sudah berada di dapur lebih dulu. “Oh … gitu?” Aruna jadi tidak enak hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN