Dibanding-bandingkan

923 Kata
“Gelasnya di mana?” “Di atas ….” Aruna menunjuk lemari kitchen set yang berada di atas kepala Rika. “Mama Tina pake gula diet … kalau kak Rina pakai gula biasa tapi cukup satu sendok.” Aruna memberi instruksi. Aruna sudah paham tentang kebiasaan keluarga dari suaminya karena bila berkunjung ke rumah mama Tina—ia lah yang menggantikan tugas asisten rumah tangga di rumah itu. Rika hanya menganggukan kepala tanpa bersuara menanggapi ucapan Aruna. “Mami? Mam … mami?” celoteh Abrizam, tangan mungilnya diletakan di pipi Aruna. Aruna bisa melihat Bian di mata Abrizam, mata mereka begitu mirip. Teduh dan hangat, itulah kenapa Aruna jatuh hati pada Bian semenjak hari pertama Bian menjadi dosen tamu di kampusnya. Empat tahun lalu, Bian adalah perwakilan dari perusahaan Swasta yang mengikuti program ‘Bakti pada masyarakat’ yang diadakan pemerintah. Selama satu semester Bian mengajar satu mata kuliah di kampus Aruna. Bian mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan deskjob-nya di perusahaan tersebut. Aruna dan Bian jatuh cinta pada pandangan pertama. Cinta Bian bersambut dan tidak menunggu waktu lama pria itu langsung melamar Aruna. Keadaan papanya Aruna yang saat itu sakit-sakitan menjadi alasan kuat keputusan beliau akhirnya menyerahkan sang putri kepada Bian. Dan benar saja, satu jam setelah akad nikah berlangsung—sang papa mengembuskan napas terakhirnya. “Mami?” Suara lucu itu mengembalikan Aruna dari lamunan. Aruna kemudian menyadari jika tinggal dirinya dan Abrizam saja di dapur, Rika sudah membawa minuman yang ia buat untuk mama Tina dan kak Rina ke ruang televisi. Kemudian Aruna menyusul ke sana. “Aruna, kamu tuh gimana sih … masa Rika kamu suruh bikin minum? Mama tahu kamu suka anak kecil karena belum bisa punya anak tapi ya enggak dengan mengabaikan tamu juga,” tegur mama Tina dengan suara lembut tapi menohok. Aruna hanya bisa melongo bingung. Salah lagi ‘kan dia. Sepertinya bernapas pun, Aruna akan disalahkan oleh mama Tina dan kak Rina karena mungkin menurut mereka akan menghabiskan oksigen di bumi. “Enggak apa-apa Ma, Rika yang mau kok … lagian tadi Rika enggak tega ngeliat Aruna yang asyik banget main sama Abrizam.” Sungguh, alasan Rika itu tidak sesuai dengan kenyataan. Sekarang Aruna yakin kalau Rika manipulatif. Informasi yang disampaikan Danu sedikit banyak mempengaruhi Aruna. Aruna memberikan Abrizam kepada Rika lalu duduk di single sofa. Ia memang menyukai anak kecil tapi ia kesal karena mamanya Abrizam playing victim. Semakin benci saja mama Tina dan kak Rina pada Aruna gara-gara Rika. “Diminum ya, Rika … makasih banget udah dibuatin minum.” Kak Rina berujar sembari melirik sinis pada Aruna sebelum akhirnya menyeruput teh yang dibuat Rika. Tingkah mereka itu seperti sedang bertamu ke rumah Rika, bukan ke rumah Aruna karena Aruna merasa diabaikan. Selama tiga tahun masa pernikahannya dengan Bian—Aruna melakukan berbagai cara untuk mengambil hati mama Tina dan kak Rina. Tapi mereka selalu menganggap Aruna musuh dalam selimut. Mama Tina beranggapan kalau Aruna merebut perhatian Bian darinya sehingga beliau tidak menyukai Aruna. Tapi ketika Rika datang membawa Abrizam, mama Tina dan kak Rina langsung menyambut baik dan penuh suka cita. Sangat tidak adil. “Oh ya, kayanya kamu enggak jujur ya Aruna?” Kak Rina menatap Aruna penuh curiga. “Maksudnya, Kak?” Aruna mengembalikan pertanyaan tersebut. “Kakak liat mobil kamu ganti dengan yang lebih mahal … apa kamu beli dari uang simpanan Bian yang enggak kamu kasih tahu sama kita?” Kak Rina sedang membicarakan mobil BMW yang terparkir di garasi rumah ini. “Oh … bukan, Kak … mobil aku ditabrak orang, dan mobil BMW di depan adalah mobil pengganti sementara yang dipinjamkan oleh si penabrak … mobil aku lagi di bengkel, sekarang …,” tutur Aruna menjelaskan. Meskipun tuduhan kak Rina begitu menyakiti hati tapi Aruna masih bersikap sopan kepada mantan kakak iparnya itu. “Beruntung banget kamu.” Mama Tina berkata demikian seraya mendelik sebal. Aruna menundukan pandangannya menatap kedua tangan yang berada di atas pangkuan. Delikan, tatapan tajam, tatapan mencemooh dan tatapan sinis sudah kenyang Aruna terima dari mereka berdua. Abrizam turun dari atas pangkuan Rika, bocah dua tahun yang sudah bisa berjalan itu berlarian ke sana ke mari sambil memainkan mainan pesawat di depan televisi. “Abrizam suka sama rumah ini?” Mama Tina bertanya dengan suara lembut. “Suka,” jawab Abrizam dengan bibir mangerucut. “Abrizam suka rumah ini katanya, kamu udah pertimbangkan belum saran Mama?” desak mama Tina. Aruna mengangkat pandangan menatap mama Tina, kemudian kak Rina dan terakhir Rika yang tampak seperti sedang menunggu jawaban darinya. “Udah Ma, aku memutuskan untuk mempertahankan rumah ini ….” Aruna menjawab tenang. Kak Rina dan Rika sontak melebarkan matanya, mereka tampak syok sementara mama Tina menatap nyalang Aruna. Apa mereka benar-benar berpikir kalau Aruna akan menyerahkan rumah ini pada Rika? Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Apa karena selama ini Aruna selalu diam saja dan mengalah apapun yang dilakukan mama Tina dan kak Rina? Dan mengikuti semua keinginan mereka? “Kamu enggak malu? Kamu itu enggak bisa kasih keturunan untuk keluarga kami tapi Rika bisa … kamu harus tahu diri donk.” Seharusnya Aruna sudah imun dengan kalimat yang dilontarkan sang mantan mama mertua mengenai dirinya yang tidak bisa memberi keturunan tapi Aruna masih saja merasa sakit hati. Apalagi ia dibanding-bandingkan dengan perempuan rendah yang telah merebut hati suaminya secara paksa. Aruna tidak terima dibandingkan dengan wanita yang hamil anak Bian di luar pernikahan. Apakah mama Tina tahu tentang hal itu? Satu tetes air mata kesedihan yang mendalam lolos dari sudut mata kiri Aruna. Aruna mengusapnya pelan menggunakan punggung tangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN