Gadis Pemaksa Menggemaskan

713 Kata
“Non Ara belum makan malam, Pak.” Seorang wanita paruh baya menggunakan seragam Nanny memberitau. “Aku mau makannya disuapin Mami.” Isvara memeluk leher Aruna, seakan tidak ingin lepas dari gendongannya. “Ara, jangan gitu donk … tantenya nanti cap—“ “Tante … tante … bukan tante … ini mami, piiii.” Gadis kecil berusia lima tahun itu menjerit gemas menyela ucapan sang papi sampai wajahnya mengerut. Aruna melirik Adrian, dengan tatap matanya meminta penjelasan kenapa Isvara sampai memanggilnya dengan sebutan mami. Tapi Adrian sepertinya tidak memiliki jawaban, ia juga meringis dengan sorot mata meminta maaf. “Mami … mami mau suapin Ara, kan?” Isvara melonggarkan lingkaran tangannya di leher Aruna agar bisa menatap wanita yang ia anggap sebagai maminya. Aruna mengerjap. “Heu?” Tapi sepertinya Isvara adalah gadis pemaksa, jadi ia menunggu sampai Aruna menjawab ‘ya’. “I-iya … boleh, ayo mam-mi ….” Aruna meringis, menyesal memanggil dirinya sendiri dengan sebutan mami. Mau bagaimana lagi, Isvara duluan yang memanggilnya begitu. “Suapin,” sambungnya lagi menyanggupi, menghasilkan surakan penuh suka cita dari Isvara. “Yeaaaayyy.” Aruna tidak tega menghancurkan kebahagiaan Isvara yang memanggilnya mami. Jadi ia berakting kalau dirinya memang maminya Isvara. Aruna memperlihatkan wajah penuh penyesalan kepada Adrian ketika melewatinya untuk masuk lebih dulu ke dalam rumah dituntun sang Nanny. Adrian tersenyum sangat tipis, sambil menundukan pandangan ketika Aruna lewat. Apa arti dari senyum itu miskah? Apakah Adrian tidak menyukai tindakan impulsif Aruna tapi tidak bisa menegurnya di depan Isvara atau sebaliknya atau bagaimana? Aruna tidak mengerti, semestinya Adrian menolongnya kalau dia tidak suka dengan Aruna yang ngaku-ngaku sebagai maminya Isvara? Jangan diam saja, Aruna ‘kan tidak tega apalagi dia belum dikaruniai anak. Aruna pernah sangat menginginkan anak sewaktu masih bersama mas Bian tapi Tuhan belum percaya menitipkan satu malaikat kecil untuknya. “Mami … aku tadi dapet nilai A di sekolah,” celoteh Isvara begitu antusias. Mereka sudah duduk di kursi meja makan, seorang Nanny sedang menyiapkan piring untuk Isvara. “Waw … pinter ya Ara.” Aruna mengusap puncak kepala Ara. “Aku enggak usah, Mbak.” Aruna menolak ketika seorang pelayan menyimpan piring di depan Aruna. “Mami kenapa enggak makan?” Isvara protes bertepatan dengan Adrian yang duduk di kursinya di ujung meja. Aruna menatap Adrian kemudian beralih pada Isvara. “Mami ‘kan mau suapin Ara dulu.” Duh, Aruna sudah fasih sekali memanggil dirinya dengan sebutan Mami. Dan jujur, rasanya menyenangkan. Seorang pelayan memberikan piring kepada Adrian, pria itu lantas menuang sendiri nasi dan lauk-pauknya. Sesekali melirik Aruna yang tengah menyuapi Isvara yang belum berhenti berceloteh menceritakan kegiatan di sekolah setiap kali selesai menelan makanan. Aruna tersenyum, menanggapi setiap celotehan Isvara meski ia harus terlihat bodoh lalu mereka tertawa bersama. Tiba-tiba d**a Adrian bergemuruh, ia belum pernah melihat Isvara sebahagia ini. Adrian masih bertanya-tanya kenapa Isvara menganggap Aruna sebagai maminya sementara banyak wanita yang ia kenalkan pada Isvara malah diabaikan oleh sang putri. “Mami … nanti aku mau tidurnya dikelonin mami.” “Araaaa,” tegur Adrian yang sudah menyelesaikan makan malamnya begitu juga Isvara. “Kenapa?” Isvara menunjukkan ekspresi tidak terima. “Ara ‘kan anak pintarnya papi, udah besar … udah bisa tidur sendiri,” bujuk Adrian dengan nada lebih lembut. “Oh … Ara udah bisa tidur sendiri? Waaa hebat ya.” Aruna memuji sebagai penghargaan kepada Isvara yang katanya sudah bisa tidur sendiri. “Iya Mami … Ara udah bisa bobo sendiri tapi sekarang Ara mau tidur dikelonin Mami, Ara kangen sama Mami … nanti, kalau Mami sama papi udah kasih Ara adik, baru Ara mau bobo sendiri.” Adrian terbatuk karena tersedak kopi yang disesapnya. “Ara … tante Aruna harus pulang, ini udah malem.” “Piiii! Ini mami … bukan tante.” Isvara membentak tapi matanya berkaca-kaca lalu menangis dengan membuka mulutnya lebar. “Uuu, sayang ….” Aruna membawa Isvara ke atas pangkuannya. “Araaa.” Adrian mengerang. “Papi ja-haaat,” kata Isvara sambil menangis. “Oke … Mami temenin Ara tidur ya, tapi setelah Ara tidur … mami pulang, gimana?” Aruna memberi penawaran agar ketika Isvara bangun nanti dan dirinya tidak ada, gadis kecil itu tidak kecewa. “Kenapa Mami enggak bobo sama papi?” Isvara menghentikan tangisnya dan menunggu jawaban Aruna.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN