Di Luar Apa Yang Aruna Harapkan

538 Kata
“Maaf … karena Ara, kamu jadi harus pulang malem.” Aruna terkejut saat menutup pintu kamar Isvara kemudian memutar badan, dia menemukan Adrian tepat di hadapannya. “Eng … enggak apa-apa,” katanya bersama senyum tipis. Keduanya lantas beriringan menuruni anak tangga, Adrian mengantar Aruna ke depan teras. Aruna berhasil menidurkan Isvara selagi Adrian menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja di samping kamar Isvara. Sebelumnya Aruna harus mendongeng dulu dan meyakinkan Isvara kalau ia dan Adrian tidak bisa tidur bersama karena belum menikah. Isvara banyak bertanya mungkin karena bingung dengan apa yang Aruna sampaikan juga kondisi yang terjadi sekarang. Tapi akhirnya—mungkin karena kelelahan—Isvara tertidur pulas dan Aruna bisa pulang. Sesungguhnya dalam hati Aruna kesal karena Adrian tidak membantunya sama sekali menjawab pertanyaan-tanyaan Isvara tentang hubungan mereka jadi Aruna sok tahu saja yang penting Isvara berhenti bertanya. Biar nanti jadi urusan Adrian bila jawabannya memang tidak sesuai. “Tapi, aku enggak enak tadi berani-berani ngaku jadi maminya Ara … aku enggak tega,” imbuh Aruna kemudian sambil mengerutkan wajahnya. Adrian hanya tertawa kecil sebagai tanggapan. Menyebalkan bukan? “Apa Ara selalu seperti itu setiap ketemu wanita yang Mas bawa pulang?” Adrian mengangkat kedua alisnya bingung. Pertanyaan Aruna itu seperti sebuah tes. “Eh … maksudnya, setiap ketemu wanita sebaya mamanya … itu, tadi aku ‘kan ke sini sama Mas … terus … jadi ….” Aruna gelagapan membuat Adrian tertawa renyah dan membuatnya semakin … tampan. “Iya … saya ngerti.” Eh, ngerti apa nih? “Ara enggak pernah melihat wajah maminya secara langsung, maminya meninggal ketika dia lahir … hanya ada satu foto maminya di ruang kerja saya, Ara sering menatapnya selama berjam-jam dan sepertinya harus saya pindahkan.” Adrian menjelaskan sambil menuntun Aruna ke garasi. “Ini mobilnya.” Adrian menunjuk sebuah sedan BMW warna putih. Aruna tahu kalau mobil itu dipasarkan enam atau tujuh tahun lalu, ia juga bisa melihat dari angka kecil di plat nomornya. “Mobil ini kadang digunakan mengantar Ara ke sekolah atau ke rumah omanya, kadang juga dipake asisten rumah tangga ke pasar dan kadang digunakan oleh saya sendiri … jadi, mobil ini masih berfungsi dengan baik.” Adrian seolah mengerti apa yang Aruna pikirkan. “Aku mikir apa sih? Ya jelas aja masih dipake, kalau enggak dipake pasti udah dijual.” Aruna mengumpati dirinya di dalam hati. Tadi Aruna sempat berpikir, bisa jadi mobil itu mogok ketika ia kendarai di tengah jalan karena bertahun-tahun tidak digunakan oleh pemiliknya yang sudah meninggal. “Ini kebagusan, Mas … aku enggak bisa terima, enggak apa-apa deh aku pake mobil aku aja, nanti-nanti lagi diperbaikinya.” Adrian mengerjap, heran dengan sikap rendah hati Aruna. Jaman sekarang bukannya wanita itu matrelialistis ya? Semestinya Aruna senang mendapat mobil pengganti sementara yang bagus sehingga ia memiliki kesempatan flexing di depan teman-temannya. “Aruna ….” “Ya?” Langkah Aruna terhenti ketika hendak menghampiri pak Malik yang berdiri tidak jauh dari mereka. “Kalau begitu saya akan meminta pak Malik untuk mengantar jemput kamu dari rumah ke tempat kerja kamu selama mobil kamu diperbaiki.” “Heu ….” Aruna melongo, dia meminta sedikit tapi dikasih banyak oleh Adrian dan ketika dia menolak malah dikasih lebih banyak lagi oleh pria itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN