05 - He Knows

1339 Kata
“Aku akan mengantarmu pulang. Aku ingin tahu di mana rumahmu,” ujar Christian. Ia menurunkan tubuh Aurora dari atas wastafel dan menjauh untuk memberi jarak di antara mereka. Cukup kasihan karena gadis itu tidak berhenti ketakutan. Sebenarnya tanpa mengantar Aurora pulang saja Christian sudah tahu di mana rumah Aurora, dan sudah mengetahui semua tentang gadis itu. Katakan saja Christian gila, ia bertanya hanya untuk menguji Aurora bahwa dia gadis baik yang tidak suka berbohong. Benar, dia menjawab dengan jujur. Meski sempat berbohong saat Christian bertanya kenapa ia menghindari Christian. “Nggak bisa,” jawab Aurora belum berhenti sesenggukan meski sudah berhenti menangis. Dia seperti anak SD yang usai menangis karena dimarahi guru. “Menolakku lagi?” “Bukan begitu maksudnya, Christian. Mama mau jemput aku, jadi aku harus pulang bareng mama.” “Mana handphone-mu,” pinta Christian. “U- untuk apa?” “Cepat, Aurora. Atau kau mau aku merabamu untuk mencari di mana ponselmu?” Aurora segera mengeluarkan ponselnya yang ada di saku celana belakang. Ia langsung memberikannya kepada Christian. “Password?” “654321.” Setelah ponsel Aurora berhasil Christian buka, ia segera mengetik nomor ponselnya sendiri dan meneleponnya sampai ponsel milik Christian di saku berdering. “Itu nomorku, nanti kuhubungi.” “Kalau malam tidak bisa. Aku harus belajar dan ponsel dipegang Mama.” Christian berdecak kesal. “Apa kau anak SD? Kenapa ibumu memperlakukanmu seperti anak-anak sih?” tanya Christian kesal. Aurora menggeleng tidak tahu. Namun ia juga tidak masalah dengan apa yang dilakukan mamanya kepadanya. Lagi pula saat malam Aurora juga tidak terlalu butuh dengan ponsel. Kamarnya dilengkapi dengan komputer untuk kebutuhan belajar. “Apa aku harus menyingkirkan ibumu agar tidak menjadi halangan aku menghubungimu?” “T- tidak Christian jangan! Mama nggak salah apa-apa. Aku cuma punya mama, jangan usik mama aku mohon,” lirih Aurora tanpa sadar menggenggam tangan Christian untuk memohon. Christian melihat tangannya yang Aurora genggam. Pria itu tertawa kemudian, “Aku hanya bercanda, Aurora. Bukankah syarat mendekatimu, aku harus mengambil hati ibumu lebih dulu?” Aurora bisa bernapas lega. Gadis itu kembali mendongak menatap Christian. “Jika malam, kau bisa hubungi aku melalui telepon rumah. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengangkat telepon darimu.” Aurora mengambil bulpoin dari dalam tasnya. Gadis itu menarik tangan Christian dan mencatat nomor rumahnya di telapak tangan Christian tanpa izin. “Itu nomor rumahku.” “Merepotkan. Apa kau tidak bisa tidak usah menyerahkan ponselmu kepada ibumu jika malam?” “Nanti aku coba bilang mama.” “Jadi kalau malam kau fokus belajar?” tanya Christian memastikan dan dibalas anggukan oleh Aurora. “Berarti kau akan berada di kamarmu terus?” sekali lagi Christian memastikan dan sekali lagi Aurora memgangguk. “Sampai bertemu kembali. Ingat! Jangan hindari aku atau aku akan berbuat hal gila. Aku benci ditolak. Dengan kau menghindar membuatku merasa ditolak. Paham?” “Iya.” “Pintar,” puji Christian mengusap puncak kepala Aurora singkat. Christian keluar dari kamar mandi perempuan. Dan bersamaan saat Aurora mendengar pintu tertutup rapat, Aurora jatuh terduduk karena sudah tidak kuat menumpu tubuhnya dengan kaki gemetar takut. Aurora menangis sesenggukan karena masih shock dengan hal gila yang Christian lakukan tadi kepadanya. *** Aurora berdiri di depan gerbang fakultas untuk menunggu mamanya menjemput. Gadis itu berdiri di sana seraya berkali-kali melihat ke arah ponsel. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi saat melihatnya berbisik secara terang-terangan kemudian berlalu saat Aurora menatapnya. Mereka jelas-jelas sedang membicarakan Aurora secara terang-terangan. ”Pasti karena Christian!” dumel Aurora. Siapa lagi orang yang wajib ia salahkan selain laki-laki gila itu? Karena semenjak hidupnya direcoki oleh Christian, Aurora selalu menjadi pusat perhatian. Mereka terutama para perempuan memperhatikan Aurora dari bawah sampai atas seolah menilai dirinya. Siapapun pasti kesal jika ditatap seperti itu oleh orang lain. Aurora tidak butuh dinilai seperti itu. Jika mereka heran kenapa Christian merecokinya, harusnya mereka bertanya langsung kepada si gila itu. Andai mereka tahu betapa menyeramkannya Christian, mereka tidak akan mau direcoki sekalipun oleh pria tampan, pintar, dan berpengaruh seperti Christian. Dia sangat sangat berbahaya dan gila. Aurora pikir dunia perkuliahan lebih indah dari dunia SMA, nyatanya semua semakin buruk. Di Indonesia maupun Las Vegas semua sama. Murid tampan dan populer menjadi sorotan tanpa peduli bagaimana sikap mereka. ”Mama ke mana, sih?” keluh Aurora karena pasalnya ia sudah setengah jam menunggu namun mamanya tidak datang-datang. Hingga ponsel Aurora berdering. Terlihat mamanya sedang menelepon dirinya, segera Aurora mengangkatnya. “Halo, Ma? Mama di mana? Aurora tunggu Mama sudah setengah jam lebih.” “Sayang maafin Mama. Tiba-tiba Mama ada meeting mendadak di kantor. Kayaknya Mama harus lembur.” “Jadi Mama nggak bisa jemput Aurora?” tanya Aurora memastikan. ”Tidak bisa, Sayang. Kemungkinan Mama juga pulangnya malam banget. Kamu makan malam di luar, ya? Ada uang di laci dapur, kamu ambil saja untuk membeli makanan. Soalnya bahan makanan di kulkas juga sedang habis.” Aurora menunduk sedih, “Iya, Ma.” “Sekali lagi Mama minta maaf ke kamu, ya, Sayang? Mama nggak tahu akan jadi seperti ini. Klien tiba-tiba minta meeting dadakan.” ”Nggak apa-apa, Ma. Aurora ngerti kok. Hal ini juga bukan kemauan Mama. Mama hati-hati, ya nanti malam pulangnya. Mama juga jangan lupa untuk makan malam. Mama nggak boleh telat makan,” oceh Aurora. Terdengar suara tawa di seberang telepon. “Harusnya Mama yang mengoceh seperti itu kepada kamu, Sayang. Putri Mama yang cantik sudah besar ternyata, sudah bisa mengomel kepada mamanya.” ”Ih! Aurora, kan, ngomel demi kebaikan Mama juga. Akhir-akhir ini Mama sibuk bekerja, Aurora cuma takut mama sakit. Jangan lupa vitaminnya diminum, Ma. Aurora nggak mau Mama sampai sakit hanya karena kelelahan bekerja.” “Iya, Mama akan dengarkan omelan Aurora. Ya sudah kamu pulangnya hati-hati, ya, Sayang. Sampai rumah kirimi Mama pesan.” “Iya, Ma.” Baru saja Aurora mengakhiri teleponnya bersama mamanya, ia dikejutkan dengan mobil sport yang entah sejak kapan berhenti di hadapannya. Saat mobil itu membuka atap mobilnya, Aurora langsung tahu pemilik mobil yang sok keren itu adalah Christian. Sial! batin Aurora. ”Naiklah!” titah Christian. “Hah? Um… aku—“ ”Kau berbohong, aku akan marah.” Dasar pemarah! batin Aurora lagi. Bagaimana bisa dia akan tahu jika aku hendak berbohong? Apa selain gila dia merangkap menjadi dukun yang tahu masa depan? dumel Aurora. Tentu saja di dalam hati, ia tidak berani kepada Christian setelah semua yang terjadi padanya karena ulah Christian. ”Aku naik taksi saja. Aku tidak mau merepotkanmu.Terima kasih atas tawarannya, Christian,” balas Aurora menunjukkan senyum paksanya sebelum berlalu. Gadis itu berjalan cepat di jalur trotoar untuk keluar dari kampusnya untuk mencari taksi. Namun mobil Christian berjalan pelan mengikutinya. Christian juga menekan klakson berkali-kali membuat banyak pasang mata melihat ke arahnya. Awalnya Aurora berusaha untuk tidak peduli dan terus berjalan, namun lambat laun ia jadi tidak tahan lagi. Semakin banyak pasang mata yang mantap ke arah mereka karena suara berisik klakson mobil Christian. Telinga Aurora juga merasa terganggu. Aurora berhenti melangkah, ia menghadap Christian dan berucap, “Baiklah aku pulang bersamamu.” “Naik.” Aurora pun naik ke mobil Christian. Ia malu sendiri, apalagi atap mobil Christian terbuka. Sudah pasti ia semakin dibicarakan karena hal ini. Aurora tertekan tanpa sebab. Padahal ia sedang duduk di kursi empuk mobil mahal. Bukannya senang ia justru merasa sesak. Aurora ingin menghilang dari dunia ini barang sejenak karena menahan malu. Sepanjang perjalanan ada yang aneh. Aurora dan Christian tidak berbicara satu patah kata pun. Christian tidak bertanya di mana letak rumah Aurora, namun laki-laki itu menjalankan mobilnya ke arah yang benar. Hingga sampailah Christian di pekarangan depan rumah Aurora. Pria itu memarkirkan mobilnya di sana membuat Aurora shock. Aurora tidak pernah memberi tahu siapa pun alamat rumahnya di Las Vegas, dari mana Christian tahu? Aurora mematung di tempatnya. Bahkan saat Christian sudah turun dari mobil, Aurora masih terdiam. ”Kau tidak mau turun?” tanya Christian akhirnya buka suara setelah diam selama perjalanan. Aurora menatap takut kedua mata Christian. “Dari mana kau tahu rumahku, Christian?” tanya Aurora takut-takut. - to be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN