University of Nevada, entah keberuntungan dari mana lagi yang menghampiri Aurora. Ia bisa diterima di universitas ternama itu. Skor TOEFL dan IELTS miliknya juga melampau dari target. Senang, perasaan Aurora begitu berbunga-bunga. Rasa berat hati saat pertama kali mamanya memberitahu kalau mereka akan pindah sirna entah ke mana.
Tidak buruk, setidaknya itu yang Aurora bayangkan. Ia adalah gadis yang tidak mudah untuk bersosialisasi, namun nanti Aurora akan mencoba untuk bersosialisasi di sana.
Teman baru, kehidupan baru, lingkungan baru. Semuanya serba baru dan itu sangat menyenangkan untuk Aurora.
Aurora membuka jendela mobil yang sedang ia tumpangi. Mamanya menyetir dengan pelan. Bangunan tinggi, orang-orang yang berlalu lalang di trotoar. Aurora dan mamanya seperti orang asing yang tinggal di sana. Tentu saja, ia dan mamanya berasal dari negara yang berbeda.
Las Vegas di siang hari tidak seburuk apa yang ada di dalam pikiran Aurora.
“Sayang kita mampir membeli roti dulu ya?” ujar Fanya.
“Iya, Ma. Boleh,” balas Aurora.
Mobil Fanya menepi di salah satu toko roti di pinggir jalan. “Kamu turun dulu cari meja dan pesan roti. Mama nyusul tapi parkir mobil sebentar.” Fanya memberikan satu lembar uang lima puluh dollar kepada Aurora.
Meski ragu, Aurora menerima uang dari mamanya dan turun dari mobil memilih menuruti mamanya.
Aurora mendongak menatap bangunan yang ada di depannya. Ia menelan ludahnya susah payah. Jantungnya berdebar dengan kencang. Mungkin karena ini pertama kalinya Aurora membeli sesuatu di negara asing? Aurora takut ia terlihat aneh. Padahal membeli sesuatu di negara manapun prosedurnya tetap sama yang penting membayar.
Setelah menimang, akhirnya Aurora melangkah untuk masuk ke dalam toko roti. Suasana di dalam tampak ramai. Beberapa pasang mata ada yang tercuri atensinya saat Aurora masuk, sebagian ada yang tidak peduli dan tetap melakukan kesibukan masing-masing.
Hingga ada seorang yang tidak sengaja Aurora tabrak saat ia hendak mengantre untuk pesan roti. “Maaf,” ujar Aurora.
Seorang laki-laki berkacamata bulat sedang menatap nanar roti yang jatuh di lantai. Dia bertubuh gemuk dengan wajah bulat dan poni lurus yang khas.
Aurora semakin merasa bersalah saat laki-laki itu terlihat ketakutan mengambil roti yang jatuh di atas lantai. “Aku akan menggantinya. Sekali lagi aku minta maaf atas kecerobohanku.”
“Barney! Cepat kemari!” panggilan dari kursi pengunjung membuat laki-laki itu tergesa menghampiri meja beberapa anak laki-laki di sana.
Pandangan Aurora mengikuti langkah laki-laki bernama Barney tadi. Aurora merasa ada yang aneh dengan situasi yang ada.
“Barney! Sialan!” umpat salah satu yang ada di sana. Membuat Aurora terkejut. Ia melirik sekitar, dan pengunjung toko roti tidak ada yang peduli.
“Kamu menjatuhkan roti yang kami pesan! Kamu mau mati!”
Meski takut, meski Aurora tidak yakin dengan apa yang hendak ia lakukan, namun Aurora memberanikan diri untuk melangkah mendekati meja tempat kegaduhan terjadi. Aurora tidak tega melihat Barney yang menunduk bahkan untuk menatap mata orang di sana ia tidak berani. Aurora tahu jelas mereka bukan teman laki-laki bernama Barney tadi. Mereka terlihat seperti sedang mem-bully Barney.
“P-permisi,” ucap Aurora pelan.
Semua mata di meja itu menatap Aurora kecuali Barney yang masih menunduk dalam.
“Ada urusan apa?” tanya salah satu dari mereka.
“Um… b-bukan dia yang menjatuhkan roti kalian. Tapi aku. Tadi aku tidak sengaja menabraknya. Aku minta maaf atas kecerobohanku,” ujar Aurora gugup. Ia bahkan tidak berhenti memainkan jari-jarinya.
“Hei! Barney! Dia kekasihmu? Hahaha,” goda salah satu dari mereka.
Brak!
Gebrakan di meja membuat semua orang di meja itu terdiam. Aurora menatap seorang laki-laki bernetra hijau itu. Mata yang indah, Aurora memuji mata itu sebelum sang empu melayangkan tatapan tajam yang membuat Aurora merasa terintimidasi.
“Kau hanya meminta maaf?” tanya laki-laki itu.
“Christian, kau yakin akan melepaskan mereka?”
Laki-laki netra hijau yang dipanggil Christian itu hanya melirik tajam salah satu temannya yang bertanya tadi, namun berhasil membuatnya kembali bungkam bahkan menunduk hanya dengan ditatap tajam oleh Christian. Tatapan tajam itu sama seperti sebuah ancaman.
Setelah dirasa hening, Christian kembali bersuara. “Kau tidak menjawab pertanyaanku tadi? Kau hanya akan meminta maaf?”
“Uh? Um… a- aku akan mengganti roti yang aku jatuhkan.”
Christian tersenyum simpul. Senyumnya seperti sebuah ejekan dan terlihat seram di mata Aurora.
Aurora melirik Barney, kemudian kembali menatap Christian. “Kalau begitu aku akan ganti. Karena ini pertama kalinya aku membeli roti di sini, boleh aku mengajak dia pesan? Aku tidak tahu roti apa yang aku jatuhkan tadi.”
Christian tidak menjawab, ia hanya mengurut pelipisnya. Melihat itu salah satu temannya kembali bersuara. “Jangan membuat Christian marah dengan tingkah konyolmu gadis asing!”
Aurora bingung. Ia ingin bertanggung jawab, tapi kenapa laki-laki bernama Christian itu justru marah?
“M-ma-maaf. A- aku hanya berusaha bertanggung jawab. Dia tidak salah. Aku yang salah.”
“Kau memang salah jalang! Kau mengganggu kesenangan kami!” desis Christian seraya memaki kasar Aurora.
Aurora semakin bingung dibuatnya. Apa ia melakukan hal salah? Lagi! Sebutan jalang terlalu kasar untuk Aurora yang tidak mengenal mereka. Ah dari penampilannya saja mereka terlihat seperti preman. Mulut mereka seperti tidak disekolahkan.
“Excuse me?”
“Kenapa? Kau tidak suka kupanggil Jalang?” tanya Christian tidak berhenti mengejek Aurora.
“Aku bukan orang yang kau sebutkan itu. Jadi kau harus minta maaf!”
Semua yang ada di meja tertawa keras karena Aurora menyuruh Christian meminta maaf kepadanya. Perasaan Aurora semakin kuat bahwa di meja itu adalah kumpulan laki-laki perundung yang nakal!
Aurora melirik Barney, ia merasa kasihan kepadanya. d**a Aurora kembang kempis menahan emosi. Mereka sungguh-sungguh menyebalkan! Aurora sangat kesal karenanya.
Christian berdiri, ia mendorong Barney untuk menduduki tempatnya kemudian melangkah mendekati Aurora. Maju selangkah demi selangkah membuat Aurora memundurkan langkahnya seiring dengan langkah Christian yang mendekat.
“Ayo,” ucap Christian.
Aurora diam saja seraya mengerutkan keningnya bingung.
“Kau bilang mau mengganti rotinya?” Christian pun melangkah ikut antre. Membuat teman-temannya yang ada di meja tampak takjub. Ini pertama kalinya Christian memaafkan mangsanya.
Aurora mengikuti langkah Christian. Ia berdiri di sampingnya dengan wajah kesal. Sungguh kesal! Laki-laki itu belum meminta maaf padanya.
“Dari mana kau berasal?” tanya Christian.
Aurora diam saja. Ia malas menjawab karena kesal dengan sebutan Christian kepadanya tadi.
“Kau akan menyesal mengabaikanku.”
Masih, Aurora tidak peduli. Ia harap hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan laki-laki bernama Christian.
“Apa aku harus menjawab pertanyaan orang yang mengataiku jalang?” tantang Aurora.
Chrstian memiringkan kepalanya, bibirnya tersungging. “Apa semua orang asia tidak bisa diajak bercanda sepertimu?”
“Bercanda? Kita tidak saling mengenal, tapi kau bercanda hal seperti itu?” Aurora tidak habis pikir.
“Menarik.”
Alis Aurora terpaut. “Kau aneh.”
“Kalau kita bertemu lagi, aku bersumpah menjadikanmu milikku, dan aku tidak akan melepasmu dengan mudah.” Christian mendekat seraya berbisik di telinga Aurora. “Sampai kau menyesal telah bertemu denganku.Dengan pria gila sepertiku.”
Aurora mendorong d**a Christian. Kembali netra coklat Aurora dan netra hijau Christian saling bertabrakan. Bulu kuduk Aurora meremang. Entah kenapa tiba-tiba ia menjadi takut kepada pria yang mengantre bersama di sampingnya itu.
“Why? Are you scared?” ejek Christian.
“Ki-kita tidak akan bertemu lagi!”
Aurora menarik tangan Christian, kemudian memberikan uang lima puluh dollar miliknya.
Di luar toko roti, Aurora melihat mamanya melambai ke arahnya dari dalam mobil. Sudah bisa ditebak kalau mamanya tidak menemukan lahan parkir.
“Aku harus pergi. Kau bisa, kan, beli roti sendiri? Jangan menyuruh orang lain lagi. Kembaliannya ambil saja.”
“Kau gila? Mau mati? Kenapa berani menyu…”
Belum selesai berbicara, Aurora memotong ucapan Christian. “Mamaku tidak menemukan lahan parkir. Aku harus segera pergi.”
Aurora meninggalkan tempatnya mengantre untuk segera keluar dari toko roti. Ia sedikit berlari. Setiap langkahnya tidak luput Christian perhatikan. Apalagi saat ia masuk ke dalam sebuah mobil dan pergi kemudian.
Christian membuka kepalan tangannya, ia melihat selembar uang lima puluh dollar pemberian Aurora.
“Kita pasti akan bertemu lagi. Dan kau akan menyesal sudah berani mengusikku gadis asing.”
Christian bisa sangat yakin setelah melihat gantungan kunci milik Aurora di tasnya. Gantungan kunci bertuliskan nama kampus itu, Christian juga memilikinya. Mereka satu kampus.
***
“Kamu sudah beli rotinya?” tanya Fanya mama Aurora.
Aurora nyengir seraya menggaruk tengkuknya. Ia menceritakan kejadian yang ada di toko roti. Untung saja Fanya tidak marah, tapi Fanya memperingati Aurora untuk lebih berhati-hati. Fanya ingin Aurora bisa menjaga diri mengingat kota tempat mereka tinggal jauh berbeda dengan Indonesia.
“Maaf sekali lagi, Ma. Aurora ceroboh.”
“Yang penting kamu nggak apa-apa Aurora. Mama nggak masalah. Tapi ingat ucapan Mama. Las Vegas, kota berbahaya untuk kamu yang polos dan tidak tahu apa-apa. Jadi harus waspada.”
“Ma, Aurora bukan anak kecil.”
“Kamu tetap anak kecil di mata Mama, Aurora. Mama cuma takut kamu gegabah selama tinggal di sini dan merugikan diri kamu sendiri.”
“Aurora nggak akan melakukan hal gegabah itu. Mama tenang aja.”
“Semoga kamu menepati ucapan kamu itu. Mama sangat berharap kamu bersungguh-sungguh. Meski culture di sini jauh berbeda dengan Indonesia, Mama tidak mau kamu terjerumus. Paham, Aurora?”
Aurora mengangguk mengerti.
- To be continued -