Aurora menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis itu tersenyum begitu puas dengan dress motif bunga yang ia kenakan saat ini. Semangat membuncah dalam dirinya karena hari itu adalah hari pertama ia masuk kuliah. Aurora tidak sabar ingin cepat-cepat berangkat.
“Aurora, ayo kita sarapan. Mama antar kamu ke kampus!” seru Fanya dari luar kamar Aurora.
“Iya, Ma,” jawab Aurora.
Aurora menyudahi acara bercermin. Ia mengais tasnya yang berada di atas ranjang, kemudian mengarah pada meja rias untuk mengambil botol parfum. Auroa menyemprotkan cairan beraroma vanila itu ke beberapa bagian tubuhnya seperti leher, dan pergelangan tangan. Baru setelah itu Aurora keluar dari kamar.
Di meja makan, Aurora melihat mamanya sudah menyiapkan sarapan. Sepiring nasi goreng. Menu yang biasa Aurora makan jika di Indonesia.
“Pagi, Ma,” sapa Aurora seraya mencium pipi Fanya.
“Pagi, Sayang.”
”Nasi goreng?”
“Kemarin Mama belanja di supermarket Asia. Sekalian aja beli beras.”
“Aurora kangen banget masakan Indonesia. Padahal kita baru tinggal di sini, Ma.”
“Lidah kita hanya belum menyesuaikan saja, Nak.”
Aurora mengangguk setuju. Setelah percakapan singkat itu, keduanya tidak lagi bicara dan fokus menghabiskan seporsi nasi goreng yang terhidang di piring.
Usai sarapan, Fanya langsung mengantarkan Aurora sebelum dirinya berangkat bekerja. Mobil Fanya berhenti tidak jauh dari gerbang universitas. Aurora sendiri yang minta berhenti di sana karena ia ingin berjalan kaki. Lagi Aurora malu jika diantar sampai dalam. Terlebih orang tua. Bukannya apa, Aurora tidak mau dicap sebagai gadis manja meski sebenarnya ia memang manja. Anak seusianya sudah sepatutnya mandiri, terlebih itu di Las Vegas. Sekali lagi, culture di sana jauh berbeda dengan Indonesia.
“Nanti Mama jemput jam berapa?” tanya Fanya.
“Nggak usah dijemput, Ma. Aurora naik bis kota aja.”
”Yakin?” Fanya memastikan.
“Setidaknya Aurora mandiri untuk pulang ke rumah. Aurora malu kalau harus diantar jemput kayak anak TK.”
“Ok, Mama ngerti. Tapi kabari Mama oke?”
“Pasti, Ma.”
Di sepanjang trotoar Aurora berjalan, ia melihat anak kampus datang menggunakan mobil dan sepeda. Beberapa dari mereka juga berjalan kaki seperti Aurora. Bisa ditebak kalau mereka usai menggunakan kendaraan umum. Semakin dekat langkah Aurora memasuki area kampus, semakin jantungnya berdebar. Ia jadi gugup tanpa sebab.
Setelah bingung menyusuri fakultas, akhirnya Aurora sampai di kelasnya. Di dalam sudah sangat ramai dengan mahasiswa dan mahasiswi. Sialnya, kelas pertamanya ia sudah satu kelas dengan senior yang juga mengambil mata pelajaran dosennya saat ini. Cukup membuat Aurora merasa terintimidasi mengingat ia adalah mahasiswa baru. Aurora hanya berharap bukan hanya dia mahasiswa baru di kelas itu.
Kelas tersebut suasananya tidak terlalu berbeda dengan kelas Aurora semasa SMA dulu. Gaduh dan sibuk sendiri. Hanya tatanan bangku dan luas kelas saja yang berbeda. Jika saat sekolah kita duduk per deret, tidak dengan bangku kuliah yang memanjang dan bertingkat.
Deretan depan sudah terisi penuh, begitu juga dengan tengah. Mungkin karena Aurora datang terlambat, ia kebagian bangku paling belakang. Tidak mau banyak mengeluh, Aurora menaiki satu persatu tangga untuk sampai di bangku deretan paling belakang. Ada seorang mahasiswa yang tidak asing di mata Aurora. Barney, mereka bertemu di toko roti.
“Hai!” Sapa Aurora melambaikan tangannya seraya tersenyum manis ke arah Barney.
Barney membenarkan letak kacamata bulatnya. Ia seperti menelisik wajah Aurora seolah tengah mengingat, sebelum akhirnya Barney menunjuk Aurora. “Kau gadis yang di toko roti?” Barney tampak memastikan takut salah.
Aurora mengangguk menyetujui. Ternyata Barney mengingatnya. “Iya, aku gadis di toko roti yang tidak sengaja menabrakmu dan membuatmu terjebak ke dalam masalah. Sungguh aku tidak sengaja, maaf untuk itu.”
“Tidak apa-apa, semuanya bukan salahmu.”
“Um… apa aku boleh duduk di sampingmu?” tanya Aurora meminta izin.
”Tentu saja, duduklah di sini,” balas Barney bergeser dan memberi Aurora tempat.
Aurora duduk seraya mengucapkan terima kasih. Gadis itu meletakkan tasnya dan mengulurkan tangan di hadapan Barney, membuat Barney kebingungan dengan apa yang dilakukan Aurora saat ini. Alisnya yang terpaut membuat Aurora tergelak. “Aku rasa kita belum berkenalan dengan benar.”
Setelah paham maksud tangan yang Aurora julurkan, Barney menerima uluran tangan tersebut. “Aku Barney.”
”Aku Aurora,” balas Aurora.
“Namamu cantik.”
”Terima kasih.”
Baru saja Aurora mengeluarkan buku-bukunya, kelas yang awalnya gaduh menjadi hening saat beberapa orang memasuki kelas. Awalnya Aurora pikir karena dosen sudah memasuki kelas, namun ternyata karena datangnya beberapa mahasiswa yang berjalan menuju bangku paling belakang.
Aurora tidak menyadari kehadiran mereka karena ia sedang sibuk dengan buku-buku yang ia keluarkan. Sebelum akhirnya ia merasa Barney yang duduk di sampingnya diseret menjauh. Dan sebuah tas terlempar begitu saja di meja sebelah Aurora menggantikan buku-buku Barney yang awalnya tertata rapi. Aurora cukup terkejut dan menoleh ke arah orang yang melemparnya.
Mata Aurora membulat sempurna melihat laki-laki yang merundung Barney kini melayangkan tatapan tajam seraya memamerkan smirk andalannya kepada Aurora. Dia Christian.
Aurora tidak bereaksi apa-apa selain terkejut, ia mencari keberadaan Barney yang sudah berada di antara dua teman Christian. Barney menunduk dalam terlihat tertekan dan ketakutan. Christian merebut bangku Barney, dia duduk di samping Aurora tanpa beban. Alhasil satu deret belakang sudah terisi, bedanya samping Aurora bukan lagi Barney melainkan Christian. Barney sendiri duduk di samping Christian. Aura Christian benar-benar tidak menyenangkan, membuat Aurora menjaga jarak dengan laki-laki itu.
Mata Aurora tidak sengaja melihat satu bangku kosong yang ada di deret ketiga. Gadis itu hendak beranjak untuk pindah sebelum pergelangan tangannya ditahan oleh tangan besar bertato. Tangan itu milik Christian.
“Kalau kau pindah tempat duduk, aku akan menghajar Barney selesai kelas,” ancamnya.
Aurora mengernyit tidak suka dengan ancaman Christian. Ia hendak melawan, namun Barney bersuara gagap. “D- duduk saja, Aurora.”
Aurora tidak tega melihat ekspresi Barney, ia pun kembali duduk. Tak lupa melepaskan tangan Christian dari pergelangan tangannya. Aurora benar-benar tidak nyaman duduk di samping si perundung Christian.
***
Aurora bisa bernapas dengan lega saat dosen mengakhiri kelas. Dengan gerakan tergesa, Aurora membereskan buku-bukunya. Christian tidak bergeming di tempatnya, namun bisa Aurora rasakan tatapan tajam Christian tengah tertuju padanya. Sepanjang kelas berlangsung, Aurora tidak sedetik pun merasa tenang. Ia tidak nyaman duduk di samping Christian.
Aurora berdiri setelah membereskan bukunya, ia hendak pergi namun lagi-lagi Christian menahan pergelangan tangannya. Ia dengan kasar menarik Aurora untuk kembali duduk.
”Kalian semua pergi!” sentak Christian kepada para mahasiswa dan mahasiswa yang masih berada di sana.
Perasaan Aurora semakin tidak nyaman. Gadis itu merasa Christian adalah orang berbahaya, buktinya semua takut padanya, termasuk Aurora yang entah kenapa jadi ikut takut. Aurora berusaha melepaskan cengkeraman tangan Christian di pergelangan tangannya, namun nihil. Perasaannya semakin tidak tenang saat semua murid sudah meninggalkan kelas. Tersisa Aurora, Christian, Barney, dua teman Christian bernama Samuel, dan Noah.
“Lepas!” Berontak Aurora karena Christian semakin erat mencengkeram pergelangan tangannya. “Sakit,” rintih Aurora.
“Berhenti berontak.”
“Aku bilang sakit!”
”Aku bilang diam!” sentak Christian.
Aurora terkesiap. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya. Christian berhasil membuat Aurora tidak berkutik. Aurora paling tidak bisa dibentak keras apalagi dikasari seperti ini. Siapa pun pasti tidak suka, terlebih oleh orang menyeramkan seperti Christian. Bahkan air mata Aurora hendak luruh jika ia tidak pintar menahannya.
”Kalian pergilah, aku ingin berbicara empat mata dengan dia,” ucap Christian tanpa mengalihkan pandangannya kepada Aurora.
Tenggorokan Aurora semakin tercekat mendengar itu. Ia tidak mau ditinggal berdua. Aurora mendongak menatap Barney. Dari tatapannya Aurora berusaha untuk meminta tolong, namun Noah tersenyum mengejek. “Barney tidak mungkin bisa menolongmu. Dia saja kewalahan menyelamatkan dirinya sendiri.”
Bibir Aurora mencebik, ia benar-benar tidak mau ditinggal berdua dengan Christian. Ini baru hari pertama ia masuk kuliah, kenapa harus bernasib sial bertemu dengan laki-laki aneh dan menyeramkan ini?
Pintu kelas ditutup dari luar, kini benar-benar tersisa dirinya dan Christian. Aurora semakin dalam menunduk karena takut. Mata Christian indah, tapi menyeramkan. Aurora takut menatapnya lama-lama. Mata itu seolah ingin menelannya hidup-hidup.
“Ingat ucapanku terakhir kali?” tanya Christian.
Aurora masih tidak bergeming. Bukannya tidak ingat, justru karena ia ingat makanya ia sangat ketakutan. Christian bilang jika mereka bertemu kembali, Christian akan menjadikan Aurora miliknya. Aurora tidak tahu apa maksudnya, tapi yang jelas hal itu bukanlah hal yang baik.
”Kalau kau terus menunduk, kita akan terus seperti ini.”
Aurora memberanikan diri menatap kedua mata Christian, “Aku mau pergi.”
”Jawab dulu pertanyaanku. Kau ingat ucapanku terakhir kali?”
Aurora membalas dengan gelengan. Ia pura-pura tidak ingat meski sebenarnya ia ingat dengan jelas.
“Kau milikku, karena kita bertemu lagi. Sesuai sumpah yang aku ucapkan waktu itu.”
”Maksudnnya apa? Aku bukan barang yang bebas kau miliki seenaknya.”
Christian memajukan wajahnya, membuat Aurora sontak memundurkan wajah untuk menjauh. Kedua tangan Aurora menahan d**a Christian sebagai sinyal menyuruhnya berhenti mengikis jarak di antara mereka.
“Kiss me,” desis Christian. Kini ia malah menatap bibir Aurora penuh minat.
“Apa kau m***m?! Kita baru kenal, kenapa minta dicium? Aku pikir kau benar-benar gila Christian! Kau harus periksakan dirimu ke rumah sakit!” hardik Aurora penuh amarah. Ia tidak habis pikir.
“Kau tahu namaku?”
Aurora tidak tahan lagi. Ia mendorong Christian menggunakan sisa kekuatannya. Setelah itu Aurora buru-buru untuk kabur.
Baru saja tangannya menyentuh handle pintu, sebuah tangan besar menarik Aurora menjauh dari pintu. Tubuh Aurora terhuyung sebelum akhirnya dihempaskan kasar pada tembok.
Aurora gemetar takut, untuk meringis saja Aurora tidak ada waktu. “Lepas, Christian!”
“After we kiss,” balas Christian enteng.
“Aku tidak mau! Aku tidak mau berciuman denganmu!”
“Aku bukannya minta izin Aurora.” Christian benar-benar mengunci pergerakan Aurora. Pria itu menahan tengkuk Aurora, kemudian memiringkan wajahnya.
“Christian nggak mau!”
Bibir mereka bertemu. Mereka berciuman atas paksaan dari Christian. Aurora yang awalnya berontak langsung melemah. Ia menangis karena ciuman pertamanya dicuri begitu saja oleh laki-laki gila yang tidak sepenuhnya Aurora kenal.
Setelah tautan bibir mereka terlepas, Christian menangkup wajah Aurora. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipinya lembut. “Kau milikku, Aurora.”
“Are you crazy?”
“Yes! I did.”
- to be continued -