Felicia mulai menapaki satu per satu jalan yang pernah ia tinggalkan. Bukan sebagai seorang ibu yang sempurna, melainkan sebagai seorang manusia yang mencoba menebus luka dirinya juga seorang anak yang lahir dari rahimnya, dengan langkah-langkah kecil, walau tahu semuanya mungkin sudah terlambat. Mencoba semua itu bukanlah hal mudah, butuh perjuangan sangat berat baginya untuk menyingkirkan trauma masa lalu yang sudah berkarak.
Ia tidak lagi menghindari Icha, tapi juga tidak memaksakan diri untuk hadir dalam tiap detik hidup anak itu. Ada jarak yang ia pelihara, bukan karena tak ingin dekat, tapi karena takut kehadirannya justru melukai sang malaikat tanpa sayap itu lebih dalam. Ia tahu diri, tahu bahwa luka yang ia tinggalkan tidak bisa disembuhkan hanya dengan permintaan maaf atau pelukan semata. Butuh waktu, butuh proses juga keikhlasan darinya juga Icha.
Setiap hari, Felicia menyaksikan dari jauh bagaimana Icha terus menjalani harinya: menulis skripsi, belajar menjelang sidang, dan tertawa dengan Livia saat mereka melakukan panggilan video. Terkadang Felicia duduk mendekat Livia, untuk bisa mencuri dengar suara tawa kedua putrinya menembus jendela kamar. Kadang matanya berkaca-kaca, namun ia menahannya. Ia tidak mau menangis. Ia tidak berhak menangis. Sesekali Hugo akan mendekatinya, memberinya semangat untuk tidak patah arang, menyakinkannya bahwa mereka pantas untuk bersama menjadi sebuah keluarga utuh.
Livia kini lebih sering menelepon. Kedekatan yang tak bisa Felicia miliki dengan Icha justru tumbuh secara alami antara kakak-beradik itu. Icha menyebut Livia “anak Mama”, sedangkan Livia menyebut Icha sebagai “bintang kecilku.” Felicia mendengar itu dalam diam, merasa ada ruang dalam hatinya yang dulu beku kini mulai mencair, pelan-pelan, seperti salju yang malu-malu meleleh di matahari musim dingin.
Pulang umroh, menjelang wisuda, Icha khusus menelepon Felicia untuk sampaikan kabar gembira itu. Di tangan kurusnya, ada undangan wisuda, dicetak sederhana, dengan namanya tertulis di bagian atas: Ischia Felicia Wijaya.
“Kalau Mama sempat… datang ya,” katanya pelan, "a-aku lulus dengan predikat summa cumlaude." Sungguh Icha berharap mamanya sempatkan datang dan ikut merayakan kebahagiaannya. Apalagi, mungkin saja itu akan jadi hal terakhir sebagai kenangan yang bisa dia berikan pada Felicia.
Felicia terdiam menatap undangan itu. Sebuah nama yang dulu ia tolak untuk dikenali, kini mencantumkan nama keluarganya. Ia menelan ludah yang terasa begitu kering. “Livia pasti akan senang sekali datang. Hugo dan a-aku juga. Aku bangga padamu, Cha."
"Terima kasih, Mah." Kata Icha, terharu. Matanya berkaca-kaca, ada rasa asing yang menyeruak di dadanya. Apakah itu bahagia? Sebuah rasa yang tidak pernah dia alami selama ini. Bulir air matanya meluruh, tapi segera Icha hapus, tidak ingin Felicia tahu ada rahasia besar lain yang dia sembunyikan.
"Cha, nanti usai wisuda, kita berlibur ke Bali ya. Hanya kita kok, kamu, Livia, Hugo dan m-mama." Felicia menelan ludahnya. Akhirnya dia berhasil menyebut dirinya sendiri sebagai mama pada Icha.
Tiba-tiba Icha menangis tersedu, membuat Felicia panik, "Cha, k-kenapa? Ada apa? Apakah ada yang sakit? Kamu di rumah sama siapa? Adakah yang bisa mengantarmu ke rumah sakit?" rentetan pertanyaan Felicia membuat Icha paksakan sebuah senyum terbit.
"I-ini karena aku senang, mah, akhirnya mama mengakui diri sebagai mamaku. Terima kasih, mah. Ini akan jadi kado yang tidak akan terlupakan untukku." Kata Icha, sesenggukan.
Felicia sangat ingat, sebentar lagi adalah ulang tahun Icha, itulah kenapa dia bermaksud memberi hadiah liburan bersama.
"Cha, m-mama, Livia dan Hugo akan datang ke wisudamu. Tunggu kami," janji Felica dengan mata yang juga berkaca-kaca.
“Mama enggak perlu datang terlalu awal gak papa,” Icha tersenyum kecil, menatap matanya. “Aku ingin... merayakannya dulu dengan Simbok, Ghaniyya, dan Senja. Mereka orang-orang yang selalu ada untukku selama ini. A-aku ingin nikmati momen terakhir ini bersama mereka.”
Kalimat itu tidak menyakitkan. Justru sebaliknya, terasa seperti kejujuran yang indah. Felicia mengangguk. “Mama mengerti. Mama akan datang saat kamu sudah selesai tersenyum dan foto-foto dengan mereka.” Karena terlalu gembira, Felicia abai pada kata momen terakhir yang dikatakan Icha. Sudah terbayang di benaknya apa yang akan mereka lakukan berempat di Bali, menghabiskan kebersamaan sebagai keluarga kemudian meminta Icha untuk ikut dengannya ke Swedia, menjadi warga negara Swedia bila perlu. Huga sedang mencari informasi apa saja yang harus dilakukan untuk itu. Felicia hanya bisa berharap, Icha mau menerima idenya ini, walau tidak untuk sekarang.
*
Mentari pagi Yogyakarta sepenuhnya mampu menghangatkan udara di sekitar Balairung Universitas Gadjah Mada. Namun, ribuan hati telah membara oleh semangat dan kebanggaan. Hari ini, toga-toga hitam dengan samir beraneka warna menandakan puncak perjuangan, termasuk bagi Ischia Annisa Wijaya, atau Icha, gadis 21 tahun dengan senyum yang dipaksakan lebih sering terbit daripada yang ia inginkan. Sebuah senyum penuh kesakitan, dalam artian sebenarnya.
Suasana wisuda UGM begitu khas. Gamelan mengalun syahdu, menyambut para wisudawan dan keluarga mereka yang berjalan anggun dalam balutan kebaya dan batik terbaik. Tawa haru, pelukan hangat, dan kilatan blitz kamera menjadi pemandangan jamak. Di antara lautan kebahagiaan itu, Ghaniyya dan Senja, dua sahabat Icha, melompat kecil penuh euforia. Wajah mereka berseri-seri, menggenggam map ijazah dengan bangga.
Ketika namanya dipanggil, "Ischia Annisa Wijaya, Sarjana Sains, Fakultas Farmasi, dengan pujian, summa cumlaude!" gemuruh tepuk tangan membahana. Tertatih Icha berjalan ke depan, setiap langkah terasa seperti menembus kabut tebal. Ia menerima map ijazah, samir summa cumlaude berwarna jingga-kuning-putih melingkari lehernya. Sebuah pencapaian gemilang, buah dari malam-malam panjang belajar sambil menahan sakit kepala yang menyiksa, mual yang tak tertahankan, dan kesadaran bahwa semua ini mungkin tak akan lama ia nikmati.
Di tengah keramaian itu, hatinya menjerit sunyi. Terbayang wajah sang mama, Felicia. Wanita yang membuangnya bertahun-tahun lalu, yang tidak tahu bahwa putri yang tak diinginkannya ini telah berjuang seorang diri, melawan penyakit dan kerasnya hidup, hingga meraih predikat tertinggi. Sebuah kerinduan akan pelukan dan ucapan selamat dari mamanya, membuncah, terasa menyakitkan tapi tak terucap.
Mama, akhirnya aku bisa berikan sebuah kebanggaan terakhir untuk mama. Aku lulus dengan predikat summa cumlaude. Apakah mama bangga padaku? Pertanyaan itu menggantung, tak berjawab, menambah perih di hatinya.
Penderitaan fisiknya tak terungkapkan. Denyut di pelipisnya semakin kencang. Pandangannya sesekali kabur. Ia tahu, waktunya tak banyak. Ia tak mau menyusahkan Ghaniyya dan Senja yang tengah merayakan kebahagiaan murni mereka. Ia tak ingin merusak momen indah ini dengan keluhannya. Ia memilih menelan semua rasa sakit itu sendirian, seperti yang selama ini ia lakukan.
"Cha! Akhirnya kita lulus!" seru Ghaniyya, memeluk Icha erat usai seremoni. Senja menimpali, "Lihatlah, kita semua lulus summa cumlaude! Selamat, Cha! Kita memang luar biasa!"
Icha tersenyum, senyum yang terasa begitu berat untuk diukir. "Kalian juga hebat," bisiknya, mencoba menahan gelombang pusing yang mulai menyerang. Di balik senyum tipisnya, ada dunia yang berbeda. Dunia di mana setiap helaan napas adalah perjuangan, di mana monster ganas bernama tumor otak stadium akhir terus menggerogoti sisa waktunya.
"Tapi Niyya, itu yang datang sama mas Ghazi siapa sih? Nempel banget gitu kayak lintah." Sungut Senja. Niyya dan Icha tersenyum kecil. Mereka tahu jika Senja ini menyukai Ghazi dalam diam. Niyya memaksanya untuk ungkapkan perasaannya tapi Senja menolak dengan alasan harga diri.
"Namanya Ella, flight attendant SQ. Kalau kamu gak segera ngomong, telat ntar nangis bombay."
"Biarin deh, kamu ingat kan prinsipku tentang harga diri. Lagian, bisa-bisa ntar aku dirujak sama mas Guntur kalau nekat nyatain duluan."
"Cha, kamu pucat sekali," suara Senja terdengar khawatir, menyentuh lengannya. Ghaniyya juga melihat ke arah Icha dan segera memapahnya untuk kembali duduk.
Icha menggeleng pelan, memaksakan senyum lagi. "Hanya sedikit lelah dan terharu. Ini hari besar, kan?"
Di balik toga dan samir summa cumlaude yang membanggakan, Icha adalah gambaran ketangguhan yang paling rapuh. Prestasinya di UGM adalah monumen perjuangannya, sebuah elegi untuk hidupnya yang singkat namun penuh makna. Gejolak batinnya antara bangga akan pencapaian, rindu yang tak terobati akan kasih hangat seorang ibu, kepahitan akan penolakan dan kebutuhan ironis keluarganya, serta rasa sakit fisik yang tak tertahankan, berpadu menjadi simfoni elegi yang menyayat hatinya. Yang Icha inginkan elegi itu hanya dia saja yang senandungkan, bukan mamanya ataupun Livia juga simbok. Sebuah syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita saat ajal menjemputnya.
Ia memandang Ghaniyya dan Senja yang kini berfoto dengan keluarga mereka. Tawa mereka, kehangatan keluarga mereka, adalah sesuatu yang hanya bisa ia impikan. Baginya, wisuda ini bukan hanya akhir dari masa studi, tapi mungkin juga salam perpisahan pada dunia yang memberinya sedikit kebahagiaan di tengah badai penderitaan.
Air mata akhirnya menetes dari sudut matanya, bukan karena haru bahagia seperti wisudawan lainnya, melainkan karena campuran kompleks antara lega, sakit, dan kesadaran akan akhir yang semakin dekat. Ischia Annisa Wijaya, sang summa cumlaude dengan tumor otak ganas, berdiri tegak untuk terakhir kalinya, membuktikan bahwa bahkan dalam keterbatasan dan penderitaan terdalam, manusia bisa mengukir prestasi, meski harus membayarnya dengan sisa usia yang tak ternilai harganya.
Kesedihannya yang mendalam adalah melodi bisu yang mengiringi langkahnya, sebuah lagu pilu tentang kekuatan dan kerapuhan, tentang kerinduan yang tidak akan pernah sampai. Dan bagi siapa pun yang memahami ceritanya, hatinya akan ikut tersentuh, merasakan secuil dari beban berat yang dipikul Icha, sebuah penderitaan yang diam-diam ia bawa hingga ajal menjemputnya.
Icha melangkah pelan menuju simbok yang sudah menunggunya bersama Livia juga Felicia. Di tangannya masih dia pengang erat, buket bunga dari Simbok, yang duduk bangga dengan kebaya sederhana dan rambut disanggul. Livia berlari kecil ke arah kakaknya sambil membawa boneka kecil dengan pita merah.
“Kak Icha! Kamu cantik banget!” teriak Livia ceria.
Icha tertawa dan memeluk adiknya erat-erat, menahan air mata yang mengancam jatuh. Tubuhnya terasa lebih lemah dari biasanya hari itu. Tapi ia menahannya. Ia ingin hari ini sempurna, baginya, juga Felicia dan simbok.
Sementara itu, Felicia berdiri dalam diam. Ia mengenakan setelan biru tua, wajahnya dipulas ringan, tapi matanya menyimpan awan yang tak kunjung pergi. Ia memandangi Icha dari jauh, seperti biasa. Melihat dari celah kerumunan bagaimana anaknya tertawa, menangis bahagia, memeluk sahabat yang jadi keluarganya selama ini.
Felicia tahu, ia tak bisa mengambil tempat Simbok. Bahkan dia tidak akan bisa merebut posisi Ghaniyya dan Senja. Tapi dia berharap, walau sedikit saja, kehadirannya hari ini adalah bentuk dari pengakuan yang selama ini ia tahan. Ketika Icha menoleh ke arah Felicia berdiri, mata mereka bertemu.
Tidak ada lambaian tangan. Tidak ada pelukan. Hanya sekejap pandang, mata ke mata, luka ke luka, yang entah bagaimana cukup untuk mengerti bahwa keduanya sama-sama berjuang di balik sunyi untuk saling memaafkan dan mengikhlaskan masa lalu. Livia berhasil membuat sibuk Icha dengan mengajak swafoto berkali-kali.
Saat hari berakhir, saat matahari mulai turun dan para wisudawan mulai pulang dengan bunga dan tawa, Felicia berjalan perlahan ke arah Simbok.
“Terima kasih, Mbok,” katanya dengan suara pelan, “sudah merawat Icha sangat baik.”
Simbok menoleh, menatap Felicia lama sebelum menjawab, “Non, simbok nggak jaga. Simbok cuma jadi rumah. Dia yang menjaga dirinya sendiri selama ini."
Felicia mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia menangis dalam diamnya. Bukan karena bersalah, tapi karena harapan kecil yang tumbuh, bahwa mungkin, di sisa waktu si malaikat tanpa sayap yang belum ia tahu begitu sedikitnya, ia masih bisa menyentuh hati anaknya, walau hanya dengan diam dan penyesalan yang jujur. Hugo merengkuh tubuhnya memberinya kekuatan.
Icha tertatih mendekati Felicia, "mah, aku ingin kita foto berdua sebagai kenang-kenangan. Bolehkah?" tanyanya penuh harap. Felicia mengangguk, mencium kening Icha, lembut dan lama. Tidak ada yang memahami lebih lanjut arti kenang-kenangan itu pada euforia wisuda. Andai saja mereka menyadari apa yang Icha maksud, sebelum semua terlambat dan kembali Felicia memeluk penyesalan.