10. Dalam Sunyi, Aku Pulang

1577 Kata
“Cha, jangan lupa minggu depan ke Bali ya. Tiket sudah mama kirim ke emailmu. Nanti kami akan jemput kamu di Bandara Ngurah Rai.” Kata Felicia, usai wisuda. “Iya, bener Kak Icha, aku udah gak sabar lagi mau main sama Kakak. Nanti kita tidur sekamar ya, Kak.” Teriak Livia gembira sambil mengitari Icha. Icha yang sesungguhnya kelelahan, berusaha sembunyikan itu semua, “iya, sayang, Kak Icha juga ingin main sama kamu.” “Euum C-cha, kamu kan sudah lulus kuliah. K-kalau mama minta agar kamu ikut kami ke Swedia, mau kan?” tanya Felicia, gugup, membuatnya terbata-bata. “Mauuu, aku mau bangeeet Kak Icha ikut ke Swedia! Mama bener ya, itu?!” tanya Livia penuh harap. Icha terkejut, tapi kemudian terbitkan senyum kecil. Dia ingin sekali berkata iya, tapi sepertinya itu tidak mungkin. “Kenapa, Cha? Apa yang membuatmu keberatan?” tanya Hugo, bisa menduga kalau Icha merasa enggan. “E-enggak harus sekarang kok, Cha. M-mama ingin menebus semua kesalahan mama padamu. Izinkan mama ya, Cha.” Pinta Felicia, suaranya melirih, terdengar menyentuh hati. Dia takut Icha menolak karena masih dendam padanya. Ma, bukannya aku tidak mau, hanya saj, waktuku… “Atau kamu memikirkan simbok ya? Gimana kalau simbok juga ikut ke Swedia?” sambung Hugo lagi. Kembali Icha paksakan sebuah senyum, walau sekarang kepalanya semakin berkunang-kunang. “Nanti ya mah, aku akan kabari lagi. Masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di sini.” “Ma, aku mau Kak Icha ikut kita ke Swedia.” Livia menggoyang tangan Felicia, berharap agar ide itu bisa terwujud. “M-mama tunggu ya, Cha. Mama ingin kita berkumpul sebagai sebuah keluarga utuh. Hugo sudah mencari info untuk pindah warga negara juga. T-tapi itu bisa kita bicarakan lagi nanti, Cha.” Icha menatap sendu Felicia, andai saja mamanya berkata itu jauh sebelum vonis umurnya, dia pasti akan teriak kegirangan. “Kak Icha, aku tunggu Kakak ya!” Livia tetap saja ceria, melompat kesana-kemari terlalu excited. Icha mengangguk, mengusap rambut Livia penuh kasih. “Kita pulang ya, kasian Icha, sepertinya kecapaian. Setelah ini makan yang banyak dan istirahat ya, Cha, sepertinya kamu sangat kelelahan.” Kata Hugo yang bisa tahu ada sesuatu yang salah pada Icha tapi dia tidak tahu apa. “Iya, terima kasih.” Mereka bertiga pamit, tapi saat hendak beranjak, tiba-tiba Icha berkata lirih, “mah, bolehkah kita foto berdua saja? Bolehkah aku peluk mama?” tanyanya dengan suara sangat lirih. Felicia mengangguk, tersenyum haru, sesungguhnya dari tadi dia ingin memeluk dan foto berdua saja dengan Icha. Hanya saja dia tahu diri siapa dia yang tidak mampu untuk gantikan posisi simbok walaupun Icha berasal dari rahimnya. Hugo mengambil foto mereka berdua, beberapa kali. Kemudian saat Icha memeluk Felicia, tiba-tiba saja Felica ganti memeluk Icha sangat erat. Dia usap bulir air mata yang meluruh di pipi Icha, “terima kasih, Cha. Mama bangga padamu.” Katanya, kemudian mencium kening Icha, lamaaa dan lembut. Felicia merasa kening Icha dingin, tapi dia kira itu karena Icha kelelahan saja, hingga dia abaikan. Saat Felicia hendak masuk mobil, dia menoleh ke arah Icha dan berikan senyum semanis mungkin, sebuah senyum kelegaan, kebanggan juga senyum penuh kasih yang selama ini tidak pernah dia berikan pada putrinya. Felicia menatap dengan penuh rindu, lalu menunduk, menghormati gadis yang lahir dari luka, tapi tumbuh jadi cahaya. Icha lambaikan tangannya seiring kepergian mobil mewah itu, menoleh ke arah simbok yang sedari tadi berdiri di belakangnya, "Mbok," katanya lirih. Simbok memapah Icha penuh kasih. Sebagai seorang 'ibu' yang selama ini merawat Icha, simbok tahu Icha sakit tapi dia menghormati Icha tanpa pernah bertanya penyakitnya. Yang simbok mampu lakukan adalah selalu selipkan nama Icha di setiap doanya, minta yang terbaik untuk 'cucunya' yang tidak pernah merasakan kebahagiaan sebuah keluarga sejati. "Ya, nduk..." "“Udah selesai, Mbok…,” katanya lirih. “Icha lulus…” Simbok mengangguk, suaranya pecah. “Iya, sayangku… kamu udah lulus.” "Aku sayang simbok. Terima kasih sudah merawatku penuh kasih, mbok." Mereka berdua bertangisan, seakan tahu bahwa waktu mereka tidak lama lagi. * Sehari setelah wisuda, Felicia mulai lebih sering melakukan panggilan video, bukan lagi sekadar pengamat diam dari balik pintu, tapi sosok nyata yang perlahan masuk ke dalam hari-hari Icha. Felicia tidak pernah memaksa. Ia tahu dirinya datang terlambat. Tapi ia tetap mencoba. Satu demi satu, meniti jembatan rapuh terutama dari sisinya. Goresan-goresan masa lalu yang dulu tak berani ia sentuh, kini berani dia hadapi, dengan gemetar, dengan air mata yang diam-diam ditahan. Tapi Icha, justru melakukan hal sebaliknya. Ia tetap tersenyum, tetap hangat. Hanya saja, ada tembok tipis yang ia pasang di sekeliling hatinya. Bukan karena ia marah. Justru karena ia mulai menyayangi Felicia. Tapi rasa sayang itu membuatnya takut. "Kalau kami terlalu dekat sekarang," bisiknya pada Senja suatu malam, "nanti waktu aku pergi... mama Feli akan lebih menderita lagi. Aku nggak mau dia nyalahin dirinya sendiri seumur hidup karena menyangka dia dan Livia penyebabnya." Senja hanya menggenggam tangannya erat. Tak bertanya lebih jauh. Ia tahu tubuh Icha makin melemah, tapi tekadnya justru makin keras. Felicia merasakannya, jarak itu, jarak yang dibuat putrinya. Icha tampak bersahabat, terbuka, bahkan membiarkannya masuk. Tapi ada ruang yang tidak bisa disentuh. Ada kalimat-kalimat yang tak pernah sampai. Tidak pernah ada percakapan panjang tentang perasaan. Tidak pernah ada pembicaraan tentang masa lalu ataupun masa depan. Felicia kadang bertanya dalam hati, apa putriku masih membenciku? Ah, putriku, anakku, malaikat tak bersayapku. Akhirnya, setelah dua puluh satu tahun, dia berhasil ikhlas mengakui Icha sebagai darah dagingnya. Yang Felicia tidak tahu, bahwa Icha tidak pernah membencinya. Ia hanya takut... jika ia memberikan seluruh dirinya, kemudian pergi, ibunya akan tinggal dalam kehancuran, sekali lagi menyesal, kenapa dan kenapa. Icha ingin menjauh, bukan karena tak ingin dicintai. Tapi karena ia tak ingin kepergiannya menjadi luka baru bagi seorang ibu yang baru ia izinkan kembali masuk ke hatinya. Suatu sore, saat hujan turun dan Jogja diselimuti mendung tipis, Felicia kembali melakukan panggilan video dengan Icha, hanya berdua, karena Livia sedang tidur. “Mah, terima kasih,” kata Icha pelan. Dia merasa waktunya tidak akan lama lagi, jika dia tidak sampaikan isi hatinya, dia takut tidak akan sempat. Felicia terkejut, lalu tersenyum, “seharusnya Mama yang berterima kasih, Cha, walau terlambat. Kamu anak yang baik, sangat baik walau mama…” Felicia tidak mampu lanjutkan. Yang mampu dia lakukan hanyalah mengusap layar gawainya, andai Icha ada di depannya, pasti akan dia peluk erat dan bersimpuh meminta maafnya. Icha menunduk. Ada sesuatu yang menggantung di tenggorokannya. Tapi ia telan bulat-bulat. Ia tidak akan membuat Felicia merasa bersalah lagi. Tidak, dia tidak tega. “Terima kasih, karena akhirnya mama mau mengakui aku sebagai putri mama. Andai saja aku punya lebih banyak waktu bersama kalian,” kata Icha lirih. Felicia mengangguk, “kan sebentar lagi kita akan ketemu di Bali. Mama tunggu kamu, Icha.” Mereka tak berkata apa-apa lagi. Hanya suara hujan yang berbicara, seperti mencoba menyampaikan semua yang tak sanggup mereka ucapkan. * Dua hari kemudian, Icha mulai lebih sering jatuh pingsan bahkan muntah darah hingga akhirnya dia dibawa ke rumah sakit dan dirawat inap. Simbok, Ghaniyya dan Senja makin sering berjaga. Mereka tahu waktunya semakin sempit. Tapi mereka berjanji, untuk tidak mengatakan apa pun kepada Felicia, bukan karena benci, tapi karena menghormati keputusan Icha. Ruang rawat inap yang berwarna putih itu, entah terasa terasa remang. Hanya lampu kecil di sudut yang menyala temaram. Icha terbaring diam, tubuhnya dilingkupi selimut putih. Selang infus tergantung lemah, alat bantu hidup terpasang di sekujur tubuhnya. Napasnya pelan… sangat pelan. Sudah dua hari Icha koma. Hanya detak jantung di monitor yang jadi tanda ia masih bertahan. Ghaniyya dan Senja bergantian berjaga. Simbok duduk di sisi tempat tidur, memegangi tangan Icha yang terasa dingin. Mungkin karena feeling seorang ibu, membuat Felicia akhirnya menelepon simbok dan wanita sepuh yang lugu itu akhirnya bercerita kondisi Icha, membuat dunia Felicia yang barus aja terang benderang, seketika runtuh. Pagi itu, Felicia datang. Ia berlari ke kamar Icha bersama Livia dan Hugo. Begitu masuk, simbok berdiri. Mata Felicia berkaca-kaca. “Mbok… bolehkah saya menjaga Icha?” suara Felicia serak. Simbok mengangguk. “Duduklah, Non. Non Felicia, ibunya. Icha lebih membutuhkan Non daripada simbok.” Kata simbok, berusaha tegar. Air matanya habis sudah dua hari ini. Felicia duduk di sisi kanan Icha. Ia menyentuh pipi anak gadisnya yang kini pucat. “Cha… ini mama nak, mama di sini…” bisiknya, menahan tangis. “Kalau kamu dengar… mama minta maaf. Untuk semuanya. Karena membuangmu. Karena terlalu lama takut mengakuimu.” Tangisnya tumpah, Felicia sesenggukan. Dia ciumi punggung tangan Icha yang terasa dingin. Ketakutan seketika menyergapnya, takut akan ditinggal putri yang baru saja dia akui, untuk selama-lamanya. Livia menggenggam tangan kakaknya. “Kak Icha... jangan pergi dulu, ya?” suara kecilnya pecah. “Kita belum main-main lagi, kakak janji akan main sama aku…” Seperti keajaiban kecil, kelopak mata Icha bergetar. Matanya terbuka perlahan, samar. Ia menoleh sedikit ke arah Felicia, sangat lemah, tapi sadar. “Mah…” suaranya nyaris tak terdengar. Felicia mendekat. “Mama di sini, sayang…” “I-Icha… senang… m-mama… datang…” Air mata Felicia jatuh di tangan putrinya. Ia mencium kening Icha dengan lembut. “Maaf… maafkan mama, Cha,… T-tolong jangan tinggalkan mama. M-mama sayang Icha.” Icha tersenyum kecil. “S-sudah… tidak apa-apa… Icha cuma… ingin, m-mama bahagia…” Felicia memeluknya lembut, kepala bersandar di d**a Icha. Tangisnya pecah dalam bisu, pundaknya naik turun. Livia memeluk tangan kakaknya erat. Dan dalam heningnya pelukan dua orang yang paling ia rindukan, Icha menarik napas pelan… lalu melepaskannya perlahan dan monitor jantung membentuk garis lurus ________
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN