11. Bumi yang Menunggu

1721 Kata
Bip Bip Bip--------- Garis datar muncul. Tapi garis itu justru membuat kehebohan pada mereka yang berada di ruangan itu. Bunyi mesin di ruang ICU itu berhenti berdetak. Seolah waktu memutuskan untuk membeku bersamaan dengan kehidupan Icha yang perlahan menghilang dari dunia. Tubuh kurus itu terbaring kaku di bawah cahaya redup. Kulitnya pucat, hampir transparan, seakan tubuhnya sendiri telah lama tahu bahwa ia hanya sedang menunggu giliran untuk pamit. Beberapa menit sebelumnya, tim medis menyerbu masuk, defibrillator disiapkan, perintah diberikan cepat, listrik menyentak tubuh Icha, sekali, dua kali, tiga kali, tapi nyawa yang pergi tak bisa dipanggil pulang. Felicia berdiri terpaku di pojok ruangan, lututnya gemetar, napasnya tersengal-sengal. Saat monitor menunjuk garis lurus tak bernyawa itu, dia melangkah tak terkendali, lalu tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai. Livia menjerit, mencoba menahan tubuh Felicia yang pingsan dengan tubuh kecilnya, wajahnya memucat seolah sebagian jiwanya ikut terkikis seiring kepergian sang kakak yang menyambungkan nyawa untuknya. Tangisnya pecah tak tertahankan. "Ma… Ma... Mama Felicia…" Hugo memeluk bahu Livia dari belakang, tapi tangan kekarnya pun tak mampu meredam guncangan yang menyelinap ke dalam tubuhnya. Dia menunduk, menyembunyikan air mata yang jatuh di lantai rumah sakit yang dingin dan keras. Pundaknya berguncang. Dunia yang pernah dia kenal tak lagi sama tanpa malaikat penolong putrinya. Simbok berdiri kaku di ujung ranjang. Tangannya menutup mulutnya rapat-rapat, seakan kalau dia bicara, kenyataan akan menjadi lebih nyata dari yang dia mampu terima. Bibir tuanya gemetar, bola matanya memandangi tubuh Icha yang selama ini dia rawat dengan sepenuh jiwanya, sepenuh hati, yang kini tak lagi bisa ia peluk. Icha telah pergi kembali pada Sang Pencipta. Ghaniyya dan Senja berdiri terpaku di ambang pintu. Keduanya saling menggenggam tangan, tubuh mereka bergetar hebat. Senja menunduk, suara isak tertahan keluar dari mulutnya, sedangkan Ghaniyya nyaris tak bisa berdiri, wajahnya membeku, pipinya basah. Mereka berdua mengenal Icha sebagai cahaya yang lembut, dan sekarang cahaya itu telah padam tapi terlalu cepat. Felicia siuman tak lama kemudian. Tapi pandangannya kosong, seperti ada lubang besar di tengah dadanya yang tak bisa lagi ditambal oleh waktu atau doa. Dia berjalan tertatih ke sisi Icha, menyentuh pipi anaknya yang mulai dingin, kemudian menjerit histeris, seakan masih tidak bisa menerima kenyataan, dia ditinggalkan oleh sang putri yang baru saja dia akui. "Anakku... Maafkan Mama... Maafkan Mama... Icha.., kembali, Nak!" Jeritan itu sangat menyayat siapapun yang mendengarnya, melebihi sayatan dua puluh satu tahun lalu. Tidak lantang, tidak dramatis. Tapi parau. Penuh darah dan luka. Seperti suara seseorang yang baru saja kehilangan bukan hanya anaknya, tapi juga separuh dari dirinya sendiri. Hugo berdiri mematung di sudut ruangan, kedua tangan mengepal begitu keras sampai buku-bukunya memutih. “Kenapa... kenapa nggak bisa diselamatkan?!” suaranya rendah, tapi penuh luka. Ia menatap dokter dengan mata yang memerah dan lelah. Dokter tidak menjawab, mereka juga merasa kehilangan dan itu menyakitkan. Yang tersisa di ruangan hanya aroma alkohol, bau plastik masker, dan kesunyian yang berteriak lebih menyakitkan dari sebuah keramaian rumah sakit. Ghaniyya duduk membungkuk di kursi besi lorong. Matanya kosong. Ia menatap sandal Icha yang terselip di bawah ranjang darurat, seperti menolak menerima kenyataan bahwa gadis ceria itu tak akan pernah mengenakannya lagi. Ia menggigit bibir bawahnya, tapi air mata tetap tumpah satu-satu, tanpa suara. Senja berdiri di belakang semua orang, air matanya tidak meluruh turun. Justru ekspresinya yang paling menghancurkan, sebuah tatapan kosong, tanpa satu kata pun. Ia hanya menatap Felicia yang kembali terbaring tak sadarkan dirinya. Ada sesuatu yang mengeras di mata Senja, seperti sebuah kemarahan yang akan meluap. Mereka yang paling tahu perjuangan seorang Icha. Di luar kamar ICU, langit Yogyakarta mendung. Angin siang itu menggoyangkan daun-daun di taman rumah sakit. Seolah langit pun tahu, bahwa bumi baru kehilangan satu malaikat tak bersayapnya, seorang anak yang semula tidak diinginkan tapi mampu berikan yang terbaik dari dirinya bagi orang lain. Akhirnya semua senyap. Oma Wijaya yang baru saja datang, juga membisu, tidak ada kata, tidak ada pelukan. Hanya ada sebuah rasa kehilangan yang hening, menyelinap seperti angin, mencubit d**a orang-orang yang tahu, bahwa wanita tua itu diam-diam telah kehilangan darah daging yang selama ini ia abaikan dari jauh. Tongkat kayunya terjatuh saat tubuh rentanya ikut meluruh, beruntung sang asisten sigap memapahnya. Hari itu, semua menangis untuk Icha. Tapi tidak satu pun yang bisa mengembalikannya. "Niyya, akhirnya Icha sudah terbebas dari semua penderitaan dan sakit yang dia derita selama ini. Dia sudah bebas, pasti dia bahagia sekarang kan?" tanya Senja lirih, seperti sebuah desisan yang tidak menuntut jawaban. Di pemakaman, semua berkumpul tanpa suara. Gerimis menambah sunyi suasana. Felicia kini sadar, tapi jiwanya terengah. Mereka mengantar Icha ke peristirahatan terakhir. Rasa kehilangan Oma semakin terasa karena sebuah penyesalan yang menggumpal semakin besar, dia belum pernah berucap kata sayang dan betapa bersyukurnya dia karena punya cucu buyut Icha, yang baru mereka cari saat dibutuhkan. Tanah merah basah disiram gerimis yang jatuh pelan seperti sebuah pengakuan dari langit: bahwa kehilangan ini terlalu besar untuk diucapkan dengan kata-kata. Felicia berdiri kosong di tepi liang lahat dengan dress hitam selutut yang sudah mulai lembap. Rambutnya basah, pipinya bahkan tidak kering sejak pagi. Tidak ada suara keluar dari bibirnya yang bergetar mengucap lirih nama putrinya. Felicia semakin kosong dan hanya bisa menatap hampa, saat jenazah Icha perlahan diturunkan ke dalam liang kubur. Para penggali menutup lubang itu kembali tapi entah kenapa terlalu sunyi. Livia menggenggam tangan Felicia, namun mamanya tidak menggenggam balik. Tangan sang mama sangat dingin, nyaris mati rasa. Matanya hanya menatap satu titik, seakan sedang mencari sisa napas terakhir anaknya di antara kabut pagi. Masih berharap tiba-tiba ada suara lirih Icha memanggil namanya, bahwa ini semua hanyalah prank semata. Simbok duduk di kursi plastik yang disediakan. Tanpa sadar, tangan keriputnya meremas tas jinjingnya sambil menggumam ayat-ayat doa demi cucunya. Satu-satunya suara yang berani bergetar dalam senyap. Hugo berdiri dengan tubuh membungkuk ke depan, wajahnya sembunyi di balik telapak tangannya. Ia tidak sanggup melihat tanah menelan tubuh Icha. Ghaniyya meremas tangannya sendiri. Ia belum berkata apa pun sejak tiba. Senja berdiri di sebelah Ghaniyya dengan tubuh basah kuyup. Tapi dia tetap diam, terlalu tenang. Saat peti itu hilang dari pandangan, ia bergumam pelan, "Cha, kit pernah janji mau main ke laut bertiga. Tapi kali ini kamu bohongi kami. Kenapa kamu ingkari janjimu, Cha?" Tak ada yang menjawab. Hanya angin yang berdesir lirih, seakan menambah mistis suasana. Felicia, pada akhirnya, membuka mulut. Tapi yang keluar hanyalah satu kalimat, parau dan lirih, seolah berasal dari dalam sumur di musim kemarau. “Cha, m-mama yang salah. Mama belum meluk kamu, belum menggendongmu, belum bilang kalau mama sayang kamu. Kembalilah, Cha, kita akan hidup bahagia bersama Livia dan Hugo.” Lirih, bahkan lebih lebih lirih dari hembusan angin. Gerimis terus saja turun. Tak ada satu pun di sana yang menyangkal atau mengiyakan. Karena semua tahu, ini bukanlah salah siapapun. Tapi kesedihan tak perlu logika. Ia hanya perlu ruang. Dan pagi itu, bumi terasa jadi ruang bagi sebuah rasa kehilangan. Felicia menggigit bibirnya. Air mata bercampur air hujan meluruh di pipinya tapi dia abaikan. Di kejauhan, di antara kabut, ia merasa mendengar suara Icha membacakan puisi pendek seperti yang biasa dia lakukan saat panggilan video bersama Livia. Tapi saat dia berkedip, ternyata tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya gerimis. Hanya tanah. Hanya sepi. Hanya sebuah kesakitan dan penyesalan yang tiada ujung. * Beberapa jam sebelum pemakaman Icha Langit mendung menurunkan gerimis tipis. Udara pagi terasa berat dan penuh duka. Di sudut tanah pemakaman yang masih basah, para penggali kubur menyelesaikan tugas mereka. Suara cangkul yang menghantam tanah seperti berdetak pelan di d**a siapa pun yang mendengarnya. "Heran ya…" seorang lelaki tua bertopi usang mengusap keringatnya, meski udara tidaklah panas. "Baru kali ini aku nggali kubur, tapi kok tanahnya empuk banget dicangkul. Gampange poll. Kayane… bumi ini memang sudah nungguin si mayit." "Juga mambu harum loh," tambah penggali lain yang lebih muda, matanya masih berbinar oleh rasa takjub. "Pas mulai gali tadi, aku juga koyone cium wangi bunga melati… tapi pas noleh kanan kiri, enggak ono siapapun yang bawa bunga waktu itu. Hiiy, merinding aku tapi mungkin karena almarhumah orang baik sih ya?" tanyanya retoris. "Anak baik pasti diterima bumi. Mereka malah menunggunya, " ucap seorang pria setengah baya, suaranya pelan, nyaris seperti doa. "Bumi ini enggak mau susah payah kalau yang datang bersih jiwanya. Putune simbok Darmi kan? Cah pinter, sholeha, baik tapi uripe mesakno*." Lelaki bertubuh tinggi yang sejak tadi diam, menancapkan sekopnya ke tanah. Ia hanya menatap lubang makam yang sudah terbentuk sempurna. Bahunya lebar, kulitnya legam, terbakar matahari bertahun-tahun. Wajahnya keras, penuh garis hidup yang tak lembut. Tapi ada satu hal yang paling mencolok, sebuah bekas luka samar di pipi kirinya, menyilang seperti kenangan yang tak bisa hilang. Luka bekas sayatan sebuah pisau tajam di masa lalu, yang membuatnya bak monster bahkan lebih kejam dari binatang buas sekalipun. Dia tidak bicara, hanya menjadi pendengar saja. Tapi tatapannya terpaku pada lubang itu, pada tanah yang baru saja mereka gali. Di ruang kecil yang akan menjadi rumah terakhir gadis yang bahkan tak pernah dikenalnya secara pribadi. Toh, dia hanyalah seorang tukang penggali kubur, sama seperti lelaki-lelaki desa lainnya yang bersamanya saat ini. Hanya saja, terasa ada yang aneh. d**a lelaki itu berdesir. Rasanya seperti desakan yang muncul tiba-tiba, menusuk di antara tulang-tulang rusuk. Tangannya menggenggam kuat gagang sekop, seolah ingin mencengkeram sesuatu yang tak terlihat. Kilasan bayangan masa lalu yang membuatnya menepikan diri ke kampung ini, menghilang dari hiruk pikuk kota. "Hooh, namanya Icha…" bisik salah satu penggali, menyiapkan nisan dari kayu. "Anak yang baik, katanya. Tapi kasihan… enggak pernah tahu siapa ayah kandungnya. Katanya sih, hasil dari luka lama yang enggak akan pernah sembuh. Inget kan pas kerusuhan waktu itu?" Sekilas, pria bertubuh tegap itu menoleh. Tidak lama, tapi cukup untuk menangkap bayang-bayang getir di balik matanya. Ada guncangan penyesalan yang tak mampu dia ucapkan. Sebentuk rasa sesal yang dia coba sembunyikan dalam diam. Bibirnya menegang bahkan sedikit bergetar. Matanya sedikit menyipit, seperti ingin mengingat sesuatu. Tapi tak ada satu pun kata keluar. Hanya ia yang tahu, kenapa hatinya bergemuruh begitu hebat saat mendengar nama "Icha" disebut sebagai anak yang lahir dari luka yang tidak akan pernah sembuh dua puluh satu tahun lalu. Hanya langit yang tahu, kenapa tubuhnya menolak beranjak dari sisi liang lahat itu. Bumi mungkin menunggu dan menyambut datangnya gadis itu dengan lembut. Tapi bumi juga menyimpan luka. Dan kadang, luka itu datang… dalam bentuk seorang lelaki yang hanya mampu berdiri diam, memikul beban dosa yang tak pernah punya nisan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN