Malam menurunkan sunyinya secara perlahan di langit desa yang masih basah oleh hujan sore. Pemakaman sudah usai, Felicia, Livia juga Hugo menginap di rumah simbok. Di beranda rumah simbok yang tua, lampu gantung dengan cahaya temaram bagai satu-satunya cahaya yang tersisa setelah mereka kehilangan Icha. Rumah itu terasa lebih sempit, meski luasnya tidak berubah. Hanya saja, kepergian satu jiwa membuat segalanya terasa berlubang dan lubang itu kini berdiam di d**a Felicia, sangat dalam.
Felicia duduk termenung di meja makan. Tatapan matanya kosong, dia hanya menatap nasi hangat yang baru saja diletakkan di depannya oleh Hugo. Di hadapannya, tersaji sepiring lauk sederhana, tempe goreng kesukaan Icha, tumis kangkung tanpa cabai, dan kerupuk udang yang selalu disimpan rapi di toples kaca. Simbok bilang, dia sengaja masak menu kesukaan Icha.
Usai makan, Livia duduk di ruang tengah, memeluk lututnya. Dia ketakutan melihat mamanya yang nampak berbeda. Felicia nampak linglung, belum bisa memercayai bahwa Icha sudah meninggalkan mereka untuk selamanya. Sedari tadi Felicia tidak mau makan, tidak juga mau minum. Bahkan tangannya hanya menggenggam sendok tapi tidak dia gunakan. Tidak ada suara dari mulutnya, sesekali dia terisak dan mengusap air mata.
Hugo berdiri di ambang pintu, menggigit bibir, menahan sesuatu yang berat dalam dadanya. Felicia bahkan terlihat lebih menyedihkan dari dua puluh satu tahun lalu, saat pertama kali Hugo melihatnya duduk menggigil dengan tubuh bergetar di pojok kamar. Hugo seorang terapis yang disewa oleh oma Wijaya.
Livia menggigit bibir bawahnya, matanya tak lepas dari pintu dapur yang setengah terbuka. Felicia tinggalkan meja makan kemudian sibuk di dapur. Dari dalam, terdengar suara sendok beradu pelan dengan piring. Lalu suara lemari yang dibuka cepat seperti kebingungan mencari sesuatu, kemudian langkah kaki perlahan. Tak lama kemudian terdengar... seperti gumaman lirih, seperti sebuah doa yang kacau, seperti percakapan yang tidak mendapat balasan atau malah terdengar seperti Felicia yang meracau. Livia, yang duduk bersandar di dinding ruang tamu, memeluk lututnya dan menatap lantai. Dia dan Hugo tahu. Mereka melihatnya tapi tidak tega untuk menghentikan Felicia.
Kali ini, Hugo duduk bersandar di dinding rumah yang ikut dingin, melirik jam dinding yang bagai berhenti berdetik. Tubuhnya merinding tiap kali angin masuk, seolah ikut menggigil. Ia berdiri perlahan, hendak ke dapur, tapi Livia menggeleng cepat, menahan dengan gelengan kepala, “biarin dulu, Pah. Biarkan mama,” bisiknya.
Namun mereka tidak perlu lama menunggu.
“I-Icha pasti lapar dan kedinginan di sana…” gumam Felicia nyaris tak terdengar, namun cukup jelas menusuk hati siapa pun yang mendengarnya. Dia muncul di ambang pintu dapur, membawa nampan kayu berisi semangkuk nasi hangat, kangkung dan tambahan telur dadar yang baru dimasak, juga segelas teh manis hangat. Wajahnya tampak damai... terlalu damai malahan. Tapi matanya tidak fokus, senyumnya nampak lemah dan ganjil. Tangannya sedikit gemetar, tapi langkahnya mantap. Ia berjalan melintasi ruang tengah, melewati Livia dan Hugo, tanpa menoleh sedikit pun ke arah keduanya.
“Mama mau ke mana?” tanya Livia, berdiri dan menghadang jalan Felicia.
“Mama mau bawakan makan malam untuk kakakmu, kasian dia. Dia belum makan dari pagi... pasti lapar sekali,” katanya pelan, paksakan sebuah senyum. Suaranya lemah tapi tenang, seolah yang ia ucapkan barusaja adalah masuk akal. Langkahnya pelan, nyaris seperti mimpi buruk yang diputar ulang dalam hening. Tak ada sepatu di kakinya, hanya sandal rumah yang sudah aus, sandal rumah kesayangan Icha.
“Mah, tapi kan kak Icha sudah…”
“Fel, kamu juga belum makan loh.” Kata Hugo dengan lembutnya, memutus apapun yang hendak dikatakan Livia.
“Mbok, aku minta selimut dan payung untuk Icha. Sekarang Mbok, mana..?” dia jadi rusuh sendiri, panik.
Simbok melirik ke arah Hugo yang kemudian mengangguk. Simbok berikan selimut dan payung ke Felicia. Segera, tangannya kini melipat selimut kecil, yang kata simbok dulu sering dipakai Icha saat demam. Ia menyelipkan selimut itu ke dalam tas kain besar, bersama dengan botol air putih, payung dan rantang susun putih kecil bergambar bunga mawar yang sudah kusam berisi makanan yang dipindah Felicia.
Hugo menelan ludah, “Fel...” Ia berdiri. Felicia sudah mencapai pintu depan tapi langkahnya terhambat karena Livia menghadangnya.
“Malam ini Icha pasti kedinginan, Liv, kakakmu sendirian, gerimis turun dari tadi, tidak ada yang memeluk tubuhnya, Liv. Kasian kakakmu, p-pasti tanahnya jadi lembab...” gumam Felicia, bergeser ke kiri untuk hindari tubuh mungil Livia, sambil membuka daun pintu yang berderit nyaring.
Hugo buru-buru menyusulnya, mencoba menarik lengan istrinya yang tampak hancur itu dengan lembutnya, “Fel, enggak bisa. Enggak boleh ke makam malam-malam seperti ini. Gelap dan rawan di sana. Kita bisa ke sana besok pagi ya,” suaranya pelan, takut semakin menyakiti.
Felicia menatap Hugo, mata itu basah dan bingung, tapi tak lagi merah. Seolah sudah terlalu sering menangis, kini yang tersisa hanyalah kehampaan yang menusuk.
“T-tapi Icha sendirian, Hugo. Kasian dia.” Bibirnya melengkung sedikit, bukan sebuah senyum yang terbit, tapi luka yang dipaksa terlihat biasa.
Simbok berdiri diam di belakang, tubuhnya gemetar. Tangannya mengepal, matanya juga basah dan hatinya juga hancur. Tak tahu harus berkata apa. Livia mulai menangis perlahan, memeluk bantal kecil di pangkuannya. Tapi tidak tahu harus berbuat apa, dia masih terlalu kecil untuk memahami semua kejadian ini.
Felicia meletakkan tas yang sebenarnya berat itu, ke lantai, lalu berdiri, hendak pergi lagi.
“Fel, Icha udah nggak di sana lagi. Dia tidak akan kembali ke sini dan berkumpul bersama kita,” suara Hugo gemetar, putus di ujung kata, bahkan nyaris putus asa.
Felicia berhenti. Bahunya naik turun. Nafasnya tersendat. Ia mendongak perlahan, menatap langit-langit rumah, lalu menunduk kemudian menggelengkan kepalanya sangat keras, menolak apapun yang dikatakan Hugo.
“Kalian salah! Icha pasti akan pulang. D-dia cuma ketiduran… sebentar saja kok. Nanti dia pasti bangun. Dan dia pasti lapar, Hugo. Pasti! Mbok, kita harus siapin makanan yang lebih banyak lagi buat Icha ya Mbok, ya.. ya…Icha sukanya makan apalagi, Mbok, biar aku yang masak. A-aku sudah janji akan merawat Icha, Mbok hu...hu..."
Malam kembali menelan suara itu. Seisi rumah menahan tangis yang menggumpal di d**a, karena tahu, kehilangan tidak selalu datang dengan jerit histeris, kadang ia menyelinap diam-diam, merayap dalam bentuk kebiasaan yang tak bisa dihentikan. Dalam bentuk sepiring nasi hangat, selimut kecil, dan langkah kaki yang berniat menelusuri jalan ke makam dengan penuh harap.
Felicia tidak gila. Ia hanya sedang meraba celah sempit antara realitas dan cinta seorang ibu yang datang terlambat. Kini, yang hanya bisa dia hantarkan lewat sepiring makanan yang tidak akan pernah dimakan, dan selimut yang tidak akan pernah lagi menyelimuti siapapun selain sebuah sesal tak berujung yang akan menggerogoti jiwanya.
“Mbok, ayok temani aku ke tempat Icha tadi tidur yuk. A-aku belum pernah keloni Icha, Mbok. Aku belum pernah menggendongnya, menyuapinya, membacakan cerita untuknya. N-nanti Simbok temani aku ya, kita berdua akan menemani Icha ya, Mbok.” Kata Felicia penuh harap pada simbok, menggoyang tangan keriput simbok untuk mau segera pergi bersamanya menemui Icha.
Felicia menoleh sebentar ke Hugo. Ada senyum samar di wajahnya, seperti anak kecil yang sedang ingin main petak umpet. “Hugo, aku minta izinmu, aku cuma mau ke tempat Icha tadi tidur, sebentaaarr saja. Kasihan Icha sendirian. Nggak ada yang ngelonin dia malam ini loh.” Katanya, wajahnya dibuat ceria agar Hugo menyetujui permintaannya.
“Fel, jangan gini, Fel. Kumohon sadarlah, sayang.” Kata Hugo yang mulai terisak.
Simbok menutup mulutnya dengan kedua tangan, suaranya tercekat. “Ya Allah Gusti, Non Felicia jangan gini.”
Hugo segera maju dan memegang lengan Felicia, bingung mencari kata untuk menyadarkan istrinya, “Felicia, sayang, ini udah malam. Di luar hujan gerimis... Icha... dia... dia nggak butuh ini, Fel.”
Felicia menarik lengannya pelan, tidak kasar, tapi pasti. “Jangan bilang begitu. Icha pasti kedinginan. Dia... dia takut gelap kan. Aku mau peluk dia, Hugo. Kamu janji aku boleh tidur dan memeluk Icha kalau kita berkumpul!” tegasnya.
Matanya berkaca-kaca. Kini terlihat jelas, pupilnya seolah kehilangan pijar. Ia bukan sedang mengigau. Ia sedang berusaha memercayai sesuatu dengan segenap jiwanya, karena kalau tidak, ia harus mengakui kehilangan yang tidak sanggup dia tanggung. Kehilangan sebuah pengakuan dari seorang anak yang dia sia-siakan.
Livia akhirnya melangkah maju, memeluk Felicia dari samping. Tidak bicara. Hanya diam. Hanya memeluk erat.
Felicia terdiam, perlahan meluruh duduk di lantai dengan tas yang kembali dia seret. “W-waktu itu Icha bilang dia ingin makan nasi sama telur dadar buatanku. Dia bilang, ‘Mama, masakin ya, tapi jangan gosong.’ Aku janji. Aku janji akan masak untuknya.”
Hugo jongkok di hadapannya, menatapnya lekat-lekat. “Dia tahu itu, Fel. Icha tahu kalau kamu masak dengan cinta, kalau kamu mencintainya, kalau kita semua mencintainya. Minumlah teh manis ini Fel, perutmu juga butuh diisi.” Felicia menerima gelas dari Hugo tapi tanpa meminumnya.
Dia menunduk, air matanya menetes membasahi bajunya. Bulir pertama, lalu kedua, lalu ketiga. “Padahal aku sudah janji...” bisiknya berulang-ulang. “Aku janji akan jaga dia... aku janji akan temani dia sampai kapanpun... aku janji akan mengganti semua waktu yang dia lalui sendirian dalam kesakitan…Aku sudah janji." Getir suara penuh kesakitan.
Tangannya gemetar, dan akhirnya gelas beling itu jatuh ke lantai. Gelas yang pecah menimbulkan bunyi nyaring, memecah kesunyian, mengalirkan air manis ke ubin yang dingin. Seperti sebuah luka yang tumpah, diam-diam, tanpa letupan tapi sakitnya terasa.
Simbok mendekat, berlutut, dan menggenggam kepala Felicia, membelainya. “Non Felicia, anakku... Gusti ngerti... Gusti ngerti hatimu... tapi Icha wis tentrem... Icha sudah tidak lagi merasa sakit dan menderita di sana, dia sudah kembali kepada pemilik-Nya.”
Felicia tidak menjawab. Akhirnya pecahlah tangisnya, terisak perlahan, dan di sela-sela tangis itu, ia terus mengulang satu kalimat,
“Maaf, Icha… maaf, Mama telat…Maafkan mama, Icha, mama sayang kamu, nak…”
Malam itu, rumah Simbok dipenuhi suara tangis yang tidak berani pecah terlalu keras. Isak yang ditahan, kata yang tak mampu dilanjutkan. Dan di luar, hujan rintik terus turun, menampar genting satu-satu seperti ingin ikut menangis, karena merindukan seorang anak yang tidak akan pernah pulang lagi, juga seorang ibu yang tidak tahu bagaimana caranya melepaskan.
*
Empat Belas Tahun Kemudian
Seorang gadis berperawakan tinggi, berkulit pucat, berambut sepundak dan memakai kain untuk menutupi rambutnya, duduk bersimpuh di depan makam di sebuah desa di kota Yogyakarta. Dia menyiramkan sebotol air ke makam yang tertera sebuah nama : Ischia Anissa Wijaya.
"Hai kak Icha, apa kabar? Maaf aku baru sempat ke sini lagi setelah tahun kemarin gak ke sini. Kamu tahu kak, sekarang aku sudah resmi menjadi seorang dokter. Aku sudah janji tidak akan sia-siakan pengorbanan kakak yang memberikan sum-sum tulang belakang kepadaku. Aku sudah bergabung dengan sebuah LSM dan lusa, kami akan berangkat ke Kongo untuk misi kemanusiaan." Livia menumpukan dagu di lututnya, agar jadi lebih nyaman.
"Aku ingin mengabarkan kalau mama baik dan sehat, hanya saja terkadang menjerit di tengah malam, mencari kakak kemudian menangis minta maaf. Mama selalu memeluk foto wisuda kakak, tidak pernah mau dilepaskan. Kata mama, itu agar mama bisa selalu peluk kakak, sebuah hal yang tidak pernah mama lakukan."
Livia menunduk sebentar, kemudian kembali berkata-kata sendiri, "aku sudah besar kak, sudah tahu apa yang terjadi pada mama dan kak Icha di masa lalu. Tapi..., aku sangat bangga padamu, kak, karena tidak pernah mendendam pada kami. Hufft... tiap kali mengingat itu, aku pasti menangis. Sudahlah kak, aku pamit ya. Tahun depan mungkin aku tidak bisa mampir ke sini, sampai waktu yang benar-benar longgar. Aku sayang kak Icha. Sampai bertemu lagi, kak."
Livia berdiri, menepuk-nepuk celananya kemudian melangkah pergi dari pemakaman dengan langkah kaki mantap. Kisah Icha memang sudah usai belasan tahun lalu, sebuah kisah yang menyentuh hatinya. Tapi, bukankah hidup harus tetap berjalan? Livia berjanji akan meneruskan warisan Icha yang dititipkan padanya : sebuah kebaikan tanpa pamrih, pada siapapun.
- T A M A T -