_Lelahku hilang saat melihatnya kembali_
“Berapa dia?” Seorang lelaki dengan tatapan lapar menatap Dheana dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Sepertinya barang baru. Masih segel kan, Paula?”
“Tidak tahu. Tapi dia tidak menerima tawaran lain, hanya mengantar minuman saja.”
“Barang bagus jangan disia-siakan, Paula. Kamu akan mendapat keuntungan besar darinya.” Bujuk lelaki itu pada Paula.
“Aku tidak akan memaksa, tidak juga menyuruhnya. Semua terserah padanya.” Paula mengangkat kedua bahunya, “Ingat, jangan paksa dia. Saat dia menolak, artinya dia tidak mau. Mengerti?!”
Lelaki itu menganggukkan kepalanya, tapi dengan senyum yang sangat mencurigakan.
Obrolan seperti itu sudah lama terdengar oleh Dheana. Beberapa lelaki hidung belang sempat menawarnya, meminta lebih dari sekedar dibawakan minuman. Lelaki penuh nafsu itu menginginkan lebih, memuaskan hasrat adalah hal utama bagi mereka berapapun harganya.
Iming-iming bayaran besar, bahkan tawaran menggiurkan lainnya berdatangan padanya. Dheana tidak tertarik, menjual diri adalah hal yang paling di hindarinya. Sesulit apapun kehidupannya saat ini, ia tidak akan sampai nekat menjual diri.
“Lo jadi incaran sugar daddy tuh!” Sri menepuk pundak Dheana, lantas menunjuk ke arah lain dimana lelaki yang tidak diketahui namanya sedang memperhatikannya.
“Aku nggak mau,” Dheana memalingkan wajah. Ia jelas merasa tidak nyaman dengan sikap lelaki itu. Menatapnya seperti makanan.
“Dia terkenal royal, banyak uang dan kaya raya. Lo nggak akan nyesel deket sama dia. Banyak wanita disini yang menginginkannya, lo termasuk salah satu yang beruntung.”
“Beruntung?” Dheana menatap ke arah Sri dengan tatapan kesal. “Didekati lelaki hidung belang seperti itu kamu bilang beruntung?”
“Iya, memangnya apalagi?! Dia kaya raya, hidupmu terjamin dengannya.”
Dheana tersenyum getir. “Terjamin, dia punya istri dan anak di rumahnya. Sementara disini hanya mencari pelampiasan dan kamu bilang beruntung?”
Mengenal lebih dekat Sri, akhirnya Dheana tahu bagaimana kebiasaan wanita itu. Jika selama ini ia hanya mengenal sosok itu sebagai teman baik, nyatanya Sri jauh lebih menakutkan. Dia lebih liat dari dugaannya. Dheana yakin, Sri tidak hanya bekerja sebagai pengantar minuman sepertinya, tapi Sri juga melakukan pekerjaan lainnya.
“Yang penting uang, Dhe.”
“Aku memang butuh uang, tapi aku nggak mau jual diri.”
“Jangan munafik, Dhe! Kita sama-sama tahu, kamu butuh uang untuk pengobatan Ibu, jalan paling cepat dapat uang ya itu,”
“Kalau begitu kamu saja yang melakukannya, aku nggak mau!” Tegas Dheana.
“Aku nggak akan menjual diri hanya untuk uang, meskipun aku sangat membutuhkannya. Jangan ajak aku, kita punya pilihan masing-masing.” Dheana menatap kesal ke arah Sri.
“Sudah sejauh ini, Dhe. Lo nggak bisa mundur.”
“Tentu bisa! Nggak ada paksaan untuk melakukannya. Bu Paula nggak bilang aku harus menjadi gundik lelaki hidung belang.”
“Lo belum tau aja bagaimana hasilnya, Lo hanya perlu belajar.”
“Nggak!” Sentak Dheana. “Aku nggak akan pernah mau menjual diriku!” Tegasnya dengan mata tertuju tajam ke arah Sri.
Dheana mengakhiri obrolan yang hanya membuat hatinya terasa panas. Rasanya tidak berlebihan jika saat ini Dheana merasa Sri hanya memanfaatkannya saja. Wanita itu tidak benar-benar tulus membantunya mencari pekerjaan tambahan. Buktinya Sri kerap menggodanya, masuk kedalam dunia malam yang lebih kelam lagi. Apa yang dijalaninya saat ini hanya sebuah permulaan. Inti permainannya bukan hanya sekedar mengantar minuman, tapi menjadi simpanan atau pemuas nafsu lelaki hidung belang saja.
Termasuk beberapa hari ini, setelah seorang laki menyukai Dheana dan menawarnya dengan harga tinggi.
“Bu,” merasa ia mulai berada dalam situasi yang kurang menguntungkan, apalagi Sri mulai mempengaruhinya setelah selama ini Dheana begitu percaya pada wanita itu.
“Ya,” wanita paruh baya yang kerap berpenampilan nyentrik itu menoleh sekilas ke arah Dheana, yang sengaja menemuinya di ruang pribadi.
“Saya mau bicara sebentar boleh?”
“Silahkan.” Meski bapak acuh, Paula selalu mendengarkan keluhan setiap pekerjanya.
Dheana berjalan lebih dekat lagi. “Saya nggak mau jual diri.” Jujur Dheana. “Saya hanya ingin bekerja seperti biasa saja. Mengantar minuman,” Dheana menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mulai memanas. Takut Paula akan berpihak pada Sri dan memintanya untuk melakukan pekerjaan lain, selain menjual minuman.
“Saya nggak mau, Bu.” Dheana menatap Paula dengan tatapan berkaca-kaca.
Paula tidak lantas menjawab, ia menatap lelaki wajah Dheana seolah tengah memperhatikan sesuatu.
“Kamu cantik,” ucapnya.
“Nama kamu siapa?”
“Dheana,”
“Oh, beda.” Ia menganggukkan kepalanya, entah beda apa yang dimaksudnya, Dheana tidak mengerti.
“Aku pernah mengatakannya bukan, aku tidak akan memaksa seseorang menjual dirinya. Kecuali,” Paula beranjak dari tempat duduknya. “Kamu mau, tentunya tanpa ada paksaan.”
Paula semakin mendekat, menatap Dheana seolah tengah memastikan sesuatu.
“Aku memang mendirikan tempat ini sebagai salah satu fasilitas untuk pengunjung menikmati kehidupan. Kami tidak hanya menyediakan minuman beralkohol, tapi kami juga menyediakan wanita yang bisa mereka bungkus. Tapi,” Paula menjeda ucapannya. “Atas keinginan bersama, bukan keinginan sebelah pihak. Tempat seperti ini identik dengan dunia malam, tapi aku tidak akan memaksa seseorang apalagi sampai menjualnya seperti tempat lain. Management kami tidak seperti binatang, kami masih menghargai keputusan seseorang.”
Dheana merasa lega saat mendengarnya, setidaknya ia tidak akan berakhir di tempat tidur bersama lelaki hidung belang.
“Aku akan melindungi karyawan yang memang tidak berniat menjual diri. Kamu bisa pegang janjiku.”
Dheana menghela lega. “Terima kasih Bu Paula. Terima kasih banyak”
Paula melihat aura ketakutan di wajah Dheana. Tapi bukan hanya itu yang dapat dilihatnya, Paula pun merasa begitu familiar dengan wajah Dheana.
“Sekali lagi terimakasih, Bu.” Dheana menundukkan kepala
“Saya permisi, mau pulang.” Waktu memang sudah menunjukkan pukul dua belas malam, yang artinya ia sudah bisa pulang seperti biasanya.
“Tunggu!” Langkahnya terhenti saat suara Paula kembali terdengar.
“Iya, Bu.” Dheana menoleh.
“Kamu punya keluarga?” Tanya Paula.
“Punya. Saya punya Ibu dan satu kakak. Kenapa, Bu?” Dheana menyebut keluarga yang masih dimilikinya.
“Nggak, hanya ingin tahu. Kamu boleh pulang.”
Dheana kembali mengangguk, kali ini ia benar-benar meninggalkan ruang kerja Paula..
Jam dua belas malam memang sulit mencari alat transportasi umum seperti angkot atau bus. Dheana kerap menggunakan jasa ojek online dengan harga yang jauh lebih mahal. Selain itu ia pun kerap menerima tatapan tidak menyenangkan dari mereka yang menganggap Dheana adalah salah satu wanita malam.
Seperti yang terjadi malam ini, saat seorang lelaki menjemputnya di dekat Bar. Tatapan lelaki itu langsung tertuju pada beberapa bagian tubuh Dheana, bahkan hanya dengan tatapannya saja Dheana sudah merasa dilecehkan.
“Masih siang udah pulang, nggak ada pelanggan ya Mbak?” Pertanyaannya sungguh tidak sopan, apalagi mereka baru bertemu untuk yang pertama kali.
“Kerjanya memang sudah selesai, Pak.” Jawab Dheana singkat.
“Nggak mau nambah jam kerja?”
“Nggak.”
“Berapa tarifnya?”
Pertanyaannya sudah mulai menjurus dan tidak sopan.
“Dua ratus?”
Dheana menjaga jarak dan sengaja tidak menjawab, berpura-pura tidak mendengar.
“Tiga ratus?”
Jika saja jarak yang ditempuh sudah dekat, mungkin Dheana lebih memilih untuk turun.
“Jangan mahal-mahal, udah di pake banyak orang.”
Jantungnya mulai berdegup kencang, apalagi saat satu tangan lelaki itu menyentuh pahanya.
“Tiga ratus lah,”
“Stop, Pak!” Pinta Dheana.
“Kenapa? Kemurahan? Saya tambah lima puluh tapi kamu harus benar-benar memuaskan.”
“Saya bilang stop, atau saya teriak!” Ancam Dheana. Hanya selang beberapa meter lagi, Dheana melihat lampu merah dan berharap lampu tersebut berubah warna merah.
Harapannya terkabul, saat mereka harus berhenti di lampu merah dan Dheana pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk melarikan diri. Ia lantas turun, “mau kemana kamu?!” Tahan di pak ojek, dengan menarik tangan Dheana.
“Jangan jual mahal! w************n pilih-pilih kamu pikir saya nggak bisa bayar?!” Sepertinya lelaki itu tersinggung.
“Saya nggak jual diri!” Tegas Dheana.
“Mana ada wanita baik-baik pulang jam segini?! Jual mahal, mending kalau cantik. Badan tepos kayak triplek begitu.” cibirnya.
“Balikin helm saya,” lelaki itu menarik kepala Dheana. “Bayar seratus ribu!” Sentaknya.
“Apa?! Bapak kurang ajar terlebih dulu, kenapa saya harus bayar!”
“Bayar atau saya pukul kamu!” Ancamnya.
Melihat seberapa kasarnya lelaki itu dengan posisi sudah sangat larut malam dan perjalanannya masih cukup jauh, Dheana tidak mau membahayakan dirinya sendiri. Ia lantas mengeluarkan uang seratus ribu dan melepas helm yang dikenakannya.
“Jalang sialan!” Umpat lelaki itu, lantas ia pergi meninggalkannya sendiri di pinggir jalan.
“Kamu sialan!” Balas Dheana, setelah memastikan lelaki itu pergi jauh.
Ia tidak berani mengumpat saat mereka masih berdekatan, nyalinya terlalu kecil untuk menghadapi seorang lelaki mata keranjang seperti itu. Banyak kejadian mengerikan akhir-akhir ini dan Dheana masih menyayangi diri dan nyawanya.
Berjalan beberapa saat, Dheana pun bertemu tiga orang pemuda. Hatinya kembali berdegup kencang, bagaimana kalau pemuda itu pun memiliki rencana jahat padanya. Tapi ternyata dugaannya salah, tiga lelaki itu justru berniat mengantarnya sampai ke rumah.
“Sampai Mbak, kami nggak ada motor. Cuman bisa antar jalan kaki.”
“Terima kasih banyak,” Dheana menghela lega, sesaat setelah ia berada di depan pintu gerbang rumah Wisnu.
“Capek ya?” Tanya salah satunya saat melihat Dheana mengusap wajah dengan kedua tangannya. Entah keringat atau air mata yang diidapnya.
“Terimakasih banyak.”
“Sama-sama, Mbak. Kami balik ke markas ya, siapa tahu ada yang butuh teman di jalan lagi.”
“Terimakasih banyak,” tidak ada kata yang bisa diungkapkan Dheana selain terimakasih.
Ia segera masuk kedalam rumah dengan tergesa. Malam hari sendirian ternyata sensasinya jauh lebih mengerikan.
Dheana sampai ke rumah sekitar pukul satu lebih lima belas menit. Bukan hanya sekedar lelah, tapi kakinya pun bergetar entah karena takut atau lapar. Atau bisa jadi keduanya.
Dheana segera menuju lemari pendingin untuk mengambil air minum, tenggorokannya terasa kering.
“Kenapa baru pulang? Kemana saja?” Suara seseorang yang begitu familiar terdengar mengapa indra pendengarannya. Dheana menoleh dan mendapati Wisnu berdiri di ambang pintu kamarnya, menatap penuh selidik ke arahnya.
Bebet hari berlalu tanpa kabar membuat Dheana tidak menyangka bisa melihat lelaki itu lagi.
“Kak Wisnu.” Terkejut sekali senang melihatnya kembali ke rumah. Dheana lantas berjalan cepat, menghampirinya. Memeluk lelaki itu dengan erat.
“Syukurlah kak Wisnu sudah kembali, aku sangat khawatir.” Bisiknya lantas punggung wanita itu bergetar.
Ia menangis?